Saya baru tahu hal ini ketika digelar tradisi ini di jalan raya dekat dengan kantor sekretariat umat Budha, dekat Kampus C Universitas Airlangga (Unair), Surabaya, beberapa tahun lalu.
Tentu, acara ini menjadi tontonan masyarakat umum. Mereka dengan sabar menunggu saat dimulainya kegiatan ini hingga selesai.
Apa yang terjadi di sana? Para umat menyediakan berbagai macam makanan yang diberikan kepada para pendeta Budha (biksu dan biksuni). Mereka secara bergantian atau berombongan, berjalan telanjang kaki berkeliling. Menuju pada tempat umat bersiap sedia memberikan sesuatu yang telah dipersiapkan sebelumnya. Seperti mengumpulkan pemberian umat kepada mereka.
Tidak saja orang tua atau warga dewasa. Anak-anak kecil juga terlihat. Mereka juga diajar untuk memberikan --semacam sedekah- sesuatu kepada para biksu. Mereka ini juga sama, wajib melepas alas kaki.
Para biksu ini datang dengan membawa periuk dan membungkuk, supaya umat dapat memasukkan pemberiannya itu pada wadah yang dibawa.
Bagaimana jika wadah itu sudah penuh? Era kekinian, ada 'asisten' yang membantunya.
Sejarah dan Istilah Pindapatta
Bagi non-umat, ada petugas lain yang memberikan semacam brosur mengenai apa itu tradisi Pindapatta. Jadi, selain ada kegiatan yang terlihat, warga umum yang ingin mengetahui "apa dan bagaimana"-nya, bisa membaca dari selebaran yang dibagikan.
Menarik, karena dengan begitu, warga atau masyarakat luas dapat pula belajar mengenai tradisi dari kepercayaan umat beragama lainnya.
Istilah Pindapatta sendiri berasal dari 2 kata bahasa Pali, "pinda" dan "patta/patra". Pinda berarti gumpalan atau bongkahan makanan. Patta berarti mangkuk makan. Pindapatta dapat diartikan pengumpulan makanan dengan menggunakan mangkuk.