Ada artis, tokoh publik, kehidupan asmaranya terlihat 'baik-baik saja'. Terlihat romantis, pamer kemesraan. Membuat orang yang melihat bisa menjadi 'iri'.
Namun tetiba saja, itu semua berbalik 180 derajat. Ada gosip, berita entertainment, yang menyebutkan ternyata pasangan tadi hendak bercerai. Mereka ternyata punya kasus yang cukup pelik.
Lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan kehidupan sosialnya yang diumbar ke publik? Terlihat mesra, ujung-ujungnya juga bermasalah. Publikpun jadi heran dan bertanya-tanya.
Memangnya, public display of affection (PDA) atau pamer kemesraan di ruang publik itu pantas atau tidak? Apa untung ruginya? Apakah ada manfaatnya atau justru merugikan?
Tanggapan Berimbang
Pamer foto bersama pasangan, mungkin era media sosial kini bukan hal yang tabu lagi. Jangankan yang statusnya sudah sah sebagai suami istri. Masih dalam tahap penjajakan, pacaran pun, tak jarang pamer kemesraan itu ditampilkan.
Menyikapi hal ini, dua kutub jelas nampak. Satunya "iya dan yes" saja. Mendukung, turut mendoakan supaya pasangan tadi bisa langgeng ke tahap berikutnya, dan seterusnya komentar bernada baik yang disampaikan.Â
Pada sisi yang berseberangan, memberi pendapat yang bisa membuat pedas telinga. "Belum apa-apa saja sudah berani begitu. Jangan-jangan sudah diapa-apain nih. Canda papah-mamah..."
Ya, begitulah dunia publik. Tak bisa lagi orang beralasan, "Ini kan privasi saya. Hak saya."
Namun, se-privat-nya alasan yang dikemukakan, kalau sudah menjadi ditampilkan publik, maka konsekuensinya tentu harus siap dengan segala hal yang disampaikan oleh publik. Demikian kira-kira jika hendak menyederhanakan persoalan.
Marah kalau mendapat komentar negatif. Kalau yang positif saja diterima. Tentu ini unfair. Kalau tak ingin mendapat tanggapan yang tak menyenangkan, ya tak perlu sampai PDA. Mudah, kan?!
Sekadar Pembuktian
Pamer kemesraan di ruang publik (PDA) bisa menjadi salah satu alasan bagi pasangan untuk menunjukkan hubungan mereka sebenarnya dalam kehidupan nyata. Tetapi apakah itu mutlak terjadi? Belum tentu juga. Â Bisa juga malah sebaliknya. Guna menutupi rasa cemas akan keberlangsungan sebuah hubungan, maka jurus PDA dilakukan.
PDA dilakukan sebagai cara penyembuhan terhadap adanya faktor kecemasan tersebut. Sebuah upaya validasi bahwa hubungan yang berlangsung di antara pasangan itu adalah baik-baik saja, tidak ada masalah. Respon teman atau penggemar, pengikut dengan memberi tanda "suka' (like) dibutuhkan  sebagai  faktor penguatnya.
Bisa jadi, PDA dilakukan karena sikap posesif. Sebuah sifat yang membuat seseorang merasa menjadi pemilik (tunggal). Ia merasa pasangannya adalah miliknya. Maka, apapun dia lakukan agar ia tidak kehilangan pasangannya. Supaya dengan ia melakukan PDA, publik akan tahu hal itu.
Memang, tidak mudah untuk membedakan apakah PDA dilakukan memang begitulah adanya. Tetapi di balik layar sebuah citra gambar, siapa yang bisa menebak?
Sewajarnya Saja
Ada pasangan yang suka berbagi kebahagiaan alias kemesraan di media sosial. Silakan saja, asalkan tak terlalu berlebihan. Â Sebab hal ini ternyata juga rawan terhadap sebuah hubungan. Misalnya hadirnya orang ketiga yang bisa memicu masalah baru.
Munculnya stalker alias orang yang suka mengintip aktivitas seseorang lewat media sosial, juga bisa saja terjadi. Â Kalau ia ternyata 'sang mantan' yang pernah sakit hati, bisa saja akan merusak hubungan yang sekarang.
Tentu saja, yang tak bisa dihindari adalah hadirnya komentar-komentar negatif oleh para penggemar atau orang yang merasa SKSD (sok kenal sok dekat). Kena nyinyir warganet, luar biasa rasanya...
Harap dpahami juga kalaupun PDA yang kini dilakukan, itu juga sebagai bentuk ekspresi  terhadap kekecewaan terhadap hubungan terdahulu. Seakan hendak mempertunjukkan kalau hubungan yang sekarang itu jauh lebih baik ketimbang sebelumnya. Sekarang ini adalah pasangan yang ideal.
Sikap Balik
Sebagai 'penonton' atau orang yang melihat gejala PDA,  atau yang punya prinsip sebaliknya dengan mereka, tak perlu juga risau, cemas, atau kesal. Sebab setiap orang tentu punya  alasan tersendiri untuk mengungkapkan rasa bahagianya. Walau tak perlu dipertontonkan kepada khalayak, yakin bahwa mereka juga termasuk pasangan yang berbahagia.
Tak perlu mengungkapkan rasa kesal pada teman yang aktif melakukan PDA. Daripada ikut campur urusan mereka, lebih baik fokus pada diri sendiri. Tak perlu iri dengan cara orang lain mengumbar kebahagiaan.
Namanya saja pamer, tentu juga tak baik. Jadi, cukuplah berkonsentrasi untuk diri sendiri dan pasangan kita. Kita bahagia atau tidak, bukanlah orang lain yang menentukan. Tak perlu ikut arus, jika memang itu berseberangan dengan kata hati.
Selamat menikmati kebahagiaan dengan cara masing-masing....
8 April 2021
Hendra Setiawan
*) Inspirasi bacaan:Â kumparan.com, Â tirto.id, Â liputan6.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H