Mohon tunggu...
hendra setiawan
hendra setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar Kehidupan. Penyuka Keindahan (Alam dan Ciptaan).

Merekam keindahan untuk kenangan. Menuliskan harapan buat warisan. Membingkai peristiwa untuk menemukan makna. VERBA VOLANT, SCRIPTA MANENT.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Virus Mematikan Bernama Hoaks

16 Maret 2021   20:20 Diperbarui: 16 Maret 2021   20:34 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hoaks (hoax) atau kabar bohong. Ini adalah virus lain yang juga berbahaya seperti halnya Covid-19, yang kini juga bermutasi dalam puluhan jenis.

Hoaks adalah informasi yang sesungguhnya tidak benar, tetapi dibuat seolah-olah benar adanya. Ia tidak sekadar misleading alias menyesatkan. Namun, informasi yang termasuk dalam fake news itu juga tidak memiliki landasan faktual, namun disajikan seolah-olah sebagai serangkaian fakta.

Jika Covid-19 menjadi ancaman di dunia nyata, maka virus hoaks ini menjadi ancaman, baik di dunia maya dan nyata.

Banyak hal bisa diproduksi menjadi hoaks. Pintar-pintarnya mereka yang memutarbalikkan fakta dan membuat narasi jahat itu. Celakanya, tak banyak orang yang siap menghadapi ini semua.

Ragam Hoaks

Dari beragam jenis informasi yang mudah ditemukan lewat media internet atau media sosial, biasanya hoaks berisikan antara lain:

1. Virus Aplikasi 

Biasanya peringatan ini tetiba muncul begitu saja di komputer atau smartphone. Padahal sebenarnya tidak demikian. Efek kejut dan ketakutan memang diharapkan oleh si pembuat, biasanya hacker.

2. Pesan Berantai

Ini sih paling sering dijumpai, karena paling gampang dimobilisasi. Biasanya ada pesan tersurat "SEBARKAN". Kalau mendapat hal seperti ini, hapus saja. Jangan ikut menyebarkan.

3. Iklan Terselubung

Hadiah gratis. Siapa tak mau? Tapi tautan alias link yang diberikan oleh "Nama Pemberi" tadi ternyata isinya berupa survey online. Jengkel? Tentu saja!

Hati-hati jika mendapatkan yang seperti ini. Apalagi jika isian tadi menyuruh memberikan alamat email. Lebih baik jangan diteruskan. Mana ada hadiah gratis dengan syarat yang macam-macam begitu? Kalau niat baik, pasti syaratnya juga tak neko-neko, yang sewajarnya biasa. 

4. Kisah Berbumbu

Ini istilah dari 'penulis' saja. Maksudnya, ada kalanya hoaks itu diberikan narasi yang seram. "Awas, bahaya, jangan, hati-hati, ....."

Meskipun mungkin tujuannya baik sebagai pengingat, tetapi jika ada motif lain terselubung, juga bisa membahayakan. Misalnya untuk tujuan ekonomi, penglaris dagangan, dan semacamnya.

Modus lain dengan memanipulasi foto dengan tujuan merebut simpati publik. "Tolong, bantulah, ..." Lalu, donasi kirim ke no. rekening ....

Ini juga perlu diwaspadai. Ada aturan yang jelas kok mengenai lembaga yang bisa atau boleh melakukan pengumpulan dana dari masyarakat. Tidak sembarangan, ada ijin dari pejabat yang berwenang.

Kalau pihak pengirimnya saja masih samar, terselubung, atau jangan-jangan terafiliasi ke jaringan teroris, ya niat baiknya malah jadi salah sasaran.

5. Narasi Post-Truth (Pasca Kebenaran)

Dalam hal ini, hoaks dibangun atas dasar kebenaran yang bias, yaitu ketika fakta bukan lagi menjadi sumber yang utama. Justru aspek narasi atau cerita dibuat dengan kecenderungan melibatkan emosi sebagai pembentuk opini publik.

 

Dampak Negatif

Hoaks jelas berakibat negatif. Jelasnya, adalah bisa merugikan waktu dan dana dengan percuma. Secara sadar atau tidak, itu yang terjadi.

Secara matematis, perhitungan ini menurut situs cmsconnect.com, membaca kabar hoaks bagi perusahaan, kerugian yang bisa dikeluarkan minimal mencapai Rp 10 juta per tahun. Sementara buat individu bisa mencapai Rp 200 ribu per tahun.

Perhitungan ini bisa terjadi bila setiap individu/pekerja menghabiskan waktu 10 detik perhari untuk membaca email atau pesan hoaks. Wah, lumayan juga...

 

Modus Hoaks

Hoaks yang disebarkan ke pengguna media sosial bisa juga karena motif ekonomi. Misalnya pembukaan lowongan CPNS (sekarang istilahnya berganti ASN: Aparatur Sipil Negara) besar-besaran dalam skala nasional. Siapa yang tak tergiur? Apalagi membandingkan sekarang nilai gaji dan tunjangan ASN begitu mengagumkan.

Perlu dan penting diwaspadai adalah hoaks yang sifatnya bisa memicu kepanikan massal. Pihak yang dijadikan sasaran terkadang hanya bisa bersifat reaktif. Tak bisa proaktif, walaupun sebenarnya sudah diberikan penjelasan yang benar.

Jadi misalnya, ada isu "A", maka dijawab dengan isu "Lawan A". Muncul isu "B", dibalas lagi dengan "Lawan B". Begitu seterusnya.

Hoaks Sebagai Alat 

Pada tulisan sebelumnya, (Petaka 13) adalah contoh peristiwa kecil gegara hoaks yang berimbas pada gejolak di belahan negara lain. Isu agama dan etnis, memang gampang dimainkan. Termasuk juga di Indonesia. Kerusuhan massal kerapkali juga terjadi dan sering juga terulang.

Hoaks ternyata juga bisa dipakai menjadi alat propaganda pemicu perang antarnegara. Selain ada motif bisnis atau sisi finansial di sebagian lainnya. Beberapa kasus (SUMBER) ini misalnya perang AS dan Spanyol di Amerika Selatan tahun 1889 yang isunya dihembuskan pengusaha media Morning Journal.

Adolf Hitler. Siapa yang tak kenal nama ini? Perang Jerman versus Polandia pada September 1939 dimulai dari hembuasan isu militer Polandia menembaki tentara Jeman pada 05.45 pagi.

Vietnam Utara pada Agustus 1964 juga merasakan serangan AS yang bermula dari kabar yang berhembus. Insiden penembakan kapal perang USS Maddox di Teluk Tonkin, mendorong Kongres AS menerbitkan resolusi yang menjadi landasan hukum pasukan AS untuk menyerang negara ini.

Terhangat yang masih belum bisa dilupa adalah klaim AS pada Irak yang memiliki senjata biologi dan kimia (pemusnag massal) pada Februari 2003. Invasi militer pun dilaksanakan. 

Cerdas Tangkal Hoaks

Pembuat hoaks begitu pintar memanfaatkan situasi dan sentimen sosial dan politik. Isu Covid-19 saja sudah ada 36 kasus yang ter-identifikasi oleh KemenKominfo (SUMBER). Tentu, angka ini bisa terus bertambah.

Sebaga pengguna internet atau media sosial, perlu juga mengimbangi penyebaran hoaks dengan cara dan langkah yang cerdas pula. Cara mengantisipasi dan menekan laju penyebaran hoaks bisa dilakukan antara lain dengan menilai ragam informasi yang beredar. Di antaranya:

1. Judul Bombastis atau Provokatif

Sensasional seperti itu bisa saja diwaspadai. Terkadang, informasi yang disampaikan berasal dari media resmi. Namun sebagian isinya telah diubah agar sesuai persepsi yang dikehendaki oleh pembuatnya.

2. Identitas Abal-Abal

Jika ada situs atau website yang mencantumkan tautan, apakah namanya terpercaya? Maksudnya sudah terverifikasi sebagai institusi pers resmi atau hanya mengaku demikian. Catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs yang mengklaim sebagai portal berita. Byuh... banyak banget, kan?!

3. Fakta atau Manipulasi

Informasi yang didapatkan jika berasal dari sumber resmi, tentu lebih layak dipercaya ketimbang opini yang tidak jelas muaranya.

Demikian juga foto atau video yang ditampilkan. Apakah itu benar atau sekadar editan, manipulasi belaka. Bukan membuat sendiri, hanya menyomot sumber lain, lalu dikesankan berbeda dari yang semestinya.

4. Grup Belajar

Buat tambahan. Tak ada salahnya mengikuti grup atau fanpage anti hoaks. Dari situ kita juga bisa belajar menyaring dan membantu klarifikasi jika ada teman yang membagikan konten yang sejenis.

Atau kalau perlu, bisa juga melaporkan pada media sosial masing-masing, seperti report status (facebook, twitter, instagram). Kalau ke KemenKominfo bisa melalui email: aduankonten@mail.kominfo.go.id.

Kalau tak mau repot, bisa juga melihat CEK FAKTA untuk mencari tahu apa saja berita yang beredar yang termasuk kategori hoaks. Ada beragam media partner yang terlibat di sini. 

Informasi palsu atau hoaks di situs ini diulas dan diberi kategori "Salah" berdasarkan: Misleading Content, False Context, Manipulated Content, Fabricated Content,  dan Impostor Content.

Mari bersama cerdas bermedia. Lawan virus bernama Hoaks. Stop rusuh, jadilah kembali kita sebagai bangsa yang beradab.

16 Maret 2021

Hendra Setiawan

*) Bacaan yang lain dari: liputan6, merdeka 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun