Judul berita yang mengagetkan publik terjadi sekitar seminggu lalu, pada akhir Februari 2021. Singkat ceritanya, di Surabaya, ada pegawai BCA yang melakukan salah transfer dana kepada salah satu nasabahnya.
Dalam pemberitaan terkemudian mencuat kabar bahwa pihak bank seakan tak mau tahu penjelasan dari si nasabah. Pokoknya ia harus mengembalikan uang salah transfer sebesar 51 juta itu secara utuh.
Dari versi nasabah diperoleh keterangan, ia hanya bisa melakukan hal itu dengan cara menyicil setiap bulannya. Sebab besaran total dana itu tidak ia miliki. Sebab, mulanya ia menyangka dana transfer-an tadi adalah komisi dari bisnis jual beli mobil yang tengah dijalankannya.Â
Dari peristiwa ini, tentu saja menimbulkan polemik di mata masyarakat, yang pada umumnya juga awam dan hanya sekadar membaca berita. Hukum di Indonesia kelihatan tidak memihak  pada yang lemah. Korporasi bisa semena-mena terhadap persona. Tentu, yang lemah tidak punya daya untuk melawan. Jadi apes buat nasabah karena ujung-ujungnya harus menjalani persidangan.
Hari-hari selanjutnya, tersiar kabar lagi yang berbeda rupa. Ternyata pihak pelapor adalah pegawai bank yang sudah tidak bekerja lagi di kantor tersebut. Urusan pegawai dengan bank sudah selesai. Tapi urusan personal dia dengan si nasabah masih berjalan.
Naiknya kasus ini ke tingkat persidangan disebabkan si nasabah tadi dianggap tidak memiliki itikad baik dalam menyelesaikan persoalan pengembalian dana secara utuh. Tidak didapat kata sepakat pada kasus yang bersamaan dengan dimulainya pandemi covid-19 di Indonesia.
Permintaan pengembalian dana sudah dilakukan bulan Maret 2020. Namun bagi si nasabah, uang yang masuk ke rekeningnya itu dianggapnya sebagai berkah, saat pekerjaan sudah mulai goncang.Â
Lama tak ada titik temu, niat pengembalian dana baru akan terlaksana Oktober 2020, pada saat kasus sudah masuk ranah kepolisian pada Agustus 2020.
Proses hukum ini dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 85 UU No 3/2011 tentang Transfer Dana, yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menguasai dan mengakui sebagai miliknya dana hasil transfer yang diketahui atau patut diketahui bukan haknya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp 5 miliar.
Di luar fakta hukum yang terjadi di atas, persoalan sosial kemanusiaan sepertinya juga membelit kasus ini. Sang istri yang mengasuh tiga anak nasabah yang masih balita, mengalami kesulitan keuangan sejak tulang punggung keluarga mereka terjerat kasus hukum. Hidup mereka secara finansial dibantu oleh tetangga dan saudara.
Aturan Rumit?
Kasus salah trannfer yang melibatkan perusahaan besar semacam bank, memang berbeda jauh dengan salah transfer pulsa misalnya. Pihak yang salah input, jelas yang rugi.
Bedanya, jarang ada orang yang mendapat 'dana siluman' tadi dimintai kembali pulsa yang sudah diterimanya. Jadi yang salah kirim anggap saja beramal, bersedekah. Pihak yang menerima sedang kecipratan rejeki, hehe...
Padahal kalau ada niat baik, dan sama-sama mengerti, sebenarnya juga tak masalah. Tapi barangkali karena nilainya dianggap tak banyak, dan merasa mungkin tak ada hasilnya, jadi ya cukup dibatin, "Ikhlaskan saja...". Tapi tetap dengan mendongkol, ya... :)
***
Kembali pada kasus yang terjadi ini, memang sepertinya pihak nasabah yang mendapat dana salah tranfer akan mendapat beban tambahan. Sebab, ia yang akhirnya turut ribet dengan urusan bank, walaupun awal mula kasusnya berawal dari kesalahan bank itu sendiri.
Mau bagaimana lagi, karena aturan hukum yang ada demikian. Kecuali ada "terobosan hukum" baru untuk memperkecualikan nasabah yang punya itikad baik. Ada alasan "pemaaf" atau "pembenar" seperti dalam Hukum Pidana. Sementara di sisi lain, misalnya 'salah transfer' tadi ternyata digunakan untuk sarana tindak kejahatan perbankan. Misanya, untuk pencucian uang. Jadi ada perlindungan hukum yang sebanding.
Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No. 3 Tahun 2011 tentang Transfer Dana, pengertian "Transfer Dana" adalah rangkaian kegiatan yang dimulai dengan perintah dari Pengirim Asal yang bertujuan memindahkan sejumlah Dana kepada Penerima yang disebutkan dalam Perintah Transfer Dana sampai dengan diterimanya Dana oleh Penerima.
Dana yang dimaksud tersebut (Angka 4) dapat berupa: Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
a. Â Uang tunai yang diserahkan oleh Pengirim kepada Penyelenggara Penerima;Â
b. Â Uang yang tersimpan dalam Rekening Pengirim pada Penyelenggara Penerima;Â
c. Â Uang yang tersimpan dalam Rekening Penyelenggara Penerima pada Penyelenggara Penerima lain;Â
d. Â Uang yang tersimpan dalam Rekening Penerima pada Penyelenggara Penerima Akhir;
e. Â Ung yang tersimpan dalam Rekening Penyelenggara Penerima yang dialokasikan untuk kepentingan Penerima yang tidak mempunyai Rekening pada Penyelenggara tersebut; dan/atau
f. Â Fasilitas cerukan (overdraft) atau fasilitas kredit yang diberikan Penyelenggara kepada Pengirim.
***
Pada pengertian "Perintah Transfer Dana", Angka 5 memuat penegasan sebagai perintah tidak bersyarat dari Pengirim kepada Penyelenggara Penerima untuk membayarkan sejumlah Dana tertentu kepada Penerima.
Perintah Transfer Dana dapat disampaikan secara tertulis atau elektronik (Pasal 7 Ayat 1). Hal tersebut harus memuat sekurang-kurangnya informasi (Pasal 8 Ayat 1) antara lain:
a. Identitas Pengirim Asal;
b. Identitas Penerima;
c. Identitas Penyelenggara Penerima Akhir;
d. Â Jumlah Dana dan jenis mata uang yang ditransfer;
e. Tanggal Perintah Transfer Dana; dan
f. Â Informasi lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Transfer Dana wajib dicantumkan dalam Perintah Transfer Dana.
***
Nah, daripada urusannya jadi tambah runyam, ada baiknya jika suatu saat mendapat 'rejeki nomplok' begitu, jangan bersenang-senang dulu. Cek dan teliti, sumbernya dari mana. Pihak perbankan dalam hal ini wajib membantu nasabah. Justru kalau mereka tidak mau membantu, mereka yang akan mendapat sanksi hukum.
Ingat ya, ini pemahaman yang penting dan mendasar. Jangan pernah berdalih, "Saya tidak tahu ada peraturan seperti itu." Argumentasi seperti ini tidak menjadikan alasan seseorang bisa lepas dari jerat hukum.
Asas Fiksi Hukum beranggapan bahwa ketika suatu peraturan perundang-undangan telah diundangkan, maka pada saat itu setiap orang dianggap tahu hukum (presumption iures de iure) dan ketentuan tersebut berlaku mengikat. Sehingga ketidaktahuan seseorang akan hukum, tidak dapat membebaskan/memaafkannya dari tuntutan hukum (ignorantia jurist non excusat).
Semoga buat pihak yang berperkara, persoalan ini bisa menemukan titik baiknya. Kasihan buat pihak lain terkait, jadi ikut terseret secara tidak langsung.
5 Maret 2021
Hendra Setiawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H