Aturan main hukum di manapun adanya di seluruh dunia, sebenarnya gampang dipelajari oleh yang awam sekalipun. Salah satunya adalah bahwa hukum yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh mengalahkan aturan yang ada di atasnya.
Artinya, jika peraturan tingkat sekolah berani menyatakan demikian, maka landasan hukum di atasnya juga berbunyi hal yang sama.
Pembuatan aturan hukum itu ada tata caranya, dan itu tidak bisa dibuat seenaknya sendiri. Tanpa asas dan dasar landasan hukum yang jelas, maka aturan itu jelas bersikap sewenang-wenang dan arogan.
"Gak habis thinking,"Â begitu kira-kira bahasa meme yang kerap digunakan warganet ketika menyikapi hal-hal yang konyol dan menghebohkan.
Singkat cerita, setelah viral digencarkan oleh warganet, dan dibantu pemberitaan yang masif oleh media mainstream, akhirnya pihak sekolah negeri ini -atas nama kepala sekolahnya- pun meminta maaf. Dan cuma begitu saja ending-nya.
Minimal itu yang bisa dibaca dalam pemberitaan media. Terlepas dari sikap dan ancaman dari mendikbud untuk melanjutkan kasus ini sebagai bentuk tindakan disiplin ketatanegaraan.
Nah, apa yang terjadi seandainya tidak ada orang tua murid yang berani "melawan" tindakan yang disebut ombudsman sebagai 'mal administrasi'? Kejadian ini akan tertutup dan terus saja terjadi.
Bayangkan sudah 15 tahun terjadi? Era presiden, mendikbud, gubernur, walikota, disdik, dan seterusnya... tentu sudah tidak ada yang abadi masih menjabat sejak tahun 2005 itu. Awal mula kasus terjadi.
Sah-sah saja jika sekolah dikelola oleh yayasan yang mengatasnamakan agama tertentu. Mereka punya aturaran khusus kepada siswa/i lain yang berbeda keyakinan. Itu masih dalam wajar saja.
 Tetapi ini berstatus "negeri". Artinya, pembiayaan dan hal-hal lain yang terkait dengan aktivitas pembelajaran, mereka itu mendapatkan fasilitas oleh negara. Dibiayai oleh APBN, APBD. Dana negara yang di antaranya juga berasal dari pajak yang dibayarkan oleh warga negara.