Kamis (21/1/2021), sidang paripurna DPR secara bulat menyetujui Listyo Sigit jadi Kapolri. Begitu isu utama, headline media online yang beredar.
Jauh sebelum penunjukan calon  tunggal ini oleh Presiden Joko Widodo, nama Listyo sempat diguncang oleh isu agama oleh salah satu LSM besar yang mengatasnamakan agama.
Namun pada akhirnya kenyataan berkata lain. Artinya isu itu sudah tidak relevan lagi. Presiden tak mau diatur oleh isu murahan seperti itu.
Hal ini seakan hendak menyatakan kepada publik bahwa setiap warga negara punya kesempatan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Jokowi bergeming atas hak prerogatifnya.
Angin segar yang berhembus itu rupanya tidak berjalan lama. Kabar baik  bagi anak negeri seakan menguap seketika, sesaat  (22/1) menyeruak kabar yang menyebutkan ada sebuah sekolah negeri tingkat menengah atas SMK-Negeri) yang memberikan peraturan wajib. Bahwa siswi sekolah negeri tersebut harus menggunakan pakaian muslim; dallam hal ini maksudnya adalah jilbab.
Tentu saja karena merasa tidak sreg (nyaman) dengan hal ini, ada orang tua murid yang kemudian mem-posting ke media sosial. Saat berada di sekolah, melalui fasiltas aplikasi facebook miliknya, dilakukanlah "siaran langsung". Rekaman video dan foto lantas menyebar dan diunggah ulang. Dan  hal ini tentu saja karena makin banyak yang membagikannya, lantas menjadi viral.
Kejadian yang terjadi di Padang, Sumatra Barat, membuka ingatan kembali soal hingar bingar Gubernur Sumatra Barat yang meminta Menkominfo melakukan pencabutan aplikasi Alkitab berbahasa Minang di Playstore.
Flashback
Kalau ditelusuri lagi data forensik digital di google, ternyata masalah seperti ini sudah menjamur lama dan dipublikasikan keresahan warga yang dianggap "minoritas"itu sejak tahun 2008.
Salah satu yang terekam adalah tulsan dari Mohamad Guntur Romli, Aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Karya tulisnya ini sudah dipblikasikan di Jurnal Perempuan edisi 60, November 2008.
Pada awal laporannya, dituliskan demikian sebagai pengantarnya.
"Padang, Sumatra Barat adalah satu daerah yang menerapkan Perda Syariah. Salah satunya mengatur kewajiban berjilbab bagi seluruh siswi di semua sekolah negeri/swasta, baik dari tingkat SD/MI, SLTP/MTS hingga SLTA/SMK/MA. Peraturan ini berasal dari Instruksi Walikota Padang, Fauzi Bahar, yang ditetapkan mulai 7 Maret 2005. Sejak saat itu kontroversi pun meledak. Sebagaimana Perda-Perda atau aturan-aturan yang berbasis pada syariah di daerah-daerah lain, sasaran utama dari Instruksi Walikota Padang ini pada dua kelompok: perempuan dan non-muslim.
Dalam acara Topik Minggu di SCTV, 9 Agustus 2006, Walikota Padang, Fauzi Bahar memberikan alasan-alasan yang konyol di balik penerapan kewajibab jilbab itu. Menurutnya, ada beberapa keuntungan yang didapat.Â
Pertama, murid SD, SMP, hingga SMA terhindar dari gigitan nyamuk "Aedes aegypti" (jenis nyamuk yang dapat membawa virus dengue penyebab penyakit demam berdarah) dengan berbusana muslimah.Â
Kedua, anak-anak gadis tidak gengsi masuk sekolah karena setelah mereka berjilbab tidak perlu malu karena tidak memakai perhiasan, baik kalung atau anting.Â
Ketiga, sejak diterapkannya kewajiban jilbab, wilayah Padang telah aman dari penjambretan, karena perempuannya telah tertutup. Fauzi Bahar juga menambahkan dengan memberi contoh lain yaitu wilayah di Bukit Tinggi yang cuacanya dingin, maka perempuan yang naik motor tidak akan kedinginan atau masuk angin karena berjilbab!"
 Ada Apa Dunia Pendidikan?
Ada apa dengan dunia pendidikan kita?  Mengapa ada peraturan yang sedemikian naif dan  diskriminatif? Apa yang menjadi dasar hukumnya, sekolah bisa merancang peraturan yang konyol macam begini?
Apakah dari kementerian pendidikan memang menyetujui? Lantas apa guna konstitusi yang menjamin kebebasan penduduknya dalam beragama dan menjalankan aktivitas keagamaannya?
Aneka ragam pertanyaan jelas membuncah seantero jagad nusantara. Mereka yang masih bisa berpikir secara nalar sehat dan cerdas.
Aturan main hukum di manapun adanya di seluruh dunia, sebenarnya gampang dipelajari oleh yang awam sekalipun. Salah satunya adalah bahwa hukum yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh mengalahkan aturan yang ada di atasnya.
Artinya, jika peraturan tingkat sekolah berani menyatakan demikian, maka landasan hukum di atasnya juga berbunyi hal yang sama.
Pembuatan aturan hukum itu ada tata caranya, dan itu tidak bisa dibuat seenaknya sendiri. Tanpa asas dan dasar landasan hukum yang jelas, maka aturan itu jelas bersikap sewenang-wenang dan arogan.
"Gak habis thinking,"Â begitu kira-kira bahasa meme yang kerap digunakan warganet ketika menyikapi hal-hal yang konyol dan menghebohkan.
Singkat cerita, setelah viral digencarkan oleh warganet, dan dibantu pemberitaan yang masif oleh media mainstream, akhirnya pihak sekolah negeri ini -atas nama kepala sekolahnya- pun meminta maaf. Dan cuma begitu saja ending-nya.
Minimal itu yang bisa dibaca dalam pemberitaan media. Terlepas dari sikap dan ancaman dari mendikbud untuk melanjutkan kasus ini sebagai bentuk tindakan disiplin ketatanegaraan.
Nah, apa yang terjadi seandainya tidak ada orang tua murid yang berani "melawan" tindakan yang disebut ombudsman sebagai 'mal administrasi'? Kejadian ini akan tertutup dan terus saja terjadi.
Bayangkan sudah 15 tahun terjadi? Era presiden, mendikbud, gubernur, walikota, disdik, dan seterusnya... tentu sudah tidak ada yang abadi masih menjabat sejak tahun 2005 itu. Awal mula kasus terjadi.
Sah-sah saja jika sekolah dikelola oleh yayasan yang mengatasnamakan agama tertentu. Mereka punya aturaran khusus kepada siswa/i lain yang berbeda keyakinan. Itu masih dalam wajar saja.
 Tetapi ini berstatus "negeri". Artinya, pembiayaan dan hal-hal lain yang terkait dengan aktivitas pembelajaran, mereka itu mendapatkan fasilitas oleh negara. Dibiayai oleh APBN, APBD. Dana negara yang di antaranya juga berasal dari pajak yang dibayarkan oleh warga negara.
Penyalahgunaan kepentingan dan tindakan diskriminatif ini tentu jelas bertolak belakang dari semboyan kebhinnekaan kita.
Pembiaran kasus-kasus seperti ini, lama-lama akan menumpuk. Imbasnya ada pada generasi yang akan datang.
Bahaya intoleransi dan radikalisme yang kini hendak dikikis habis pemerintahan Jokowi, rasanya memang bukan jalan yang mudah.
Â
 Hendra Setiawan
 26-01-2020                Â
Â
*) Selanjutnya:Â "Bahaya di Balik Seragam"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H