Inovasi, perubahan, tidak harus hasil temuan besar teknologi atau temuan di laboratorium canggih. Bisa juga merupakan perbaikan atas suatu produk atau proses berdasarkan perbaikan kecil yang dilakukan secara terus menerus.
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman sebagai praktisi bidang manajemen selama puluhan tahun, saya menangkap tiga konsep manajemen inovasi secara garis besar : Konsep Jawa (1940-an), Konsep Jepang (1980-an) dan Konsep Barat (1990-an).
Konsep Manajemen Jawa 1940-an
Saya sebut demikian karena merupakan ajaran Ki Hajar Dewantara, Menteri Pendidikan pertama Republik Indonesia setelah Republik Indonesia merdeka tahun 1945. Beliau mengajarkan agar melakukan tiga hal untuk perbaikan : niteni, nirokake, nambahi.
Boleh saja kita belajar sesuatu pada orang lain, untuk diterapkan pada diri kita atau organisasi kita, bila cocok. Pertama niteni, artinya memperhatikan dengan teliti, detil. Lalu nirokake atau meniru, Â bisa juga menjiplak. Namun supaya ada nilai tambahnya ya jangan 100% menjiplak, lakukan perbaikan agar ada kekhasan kita, ini yang disebut nambahi.
Konsep Manajemen Jepang 1980-an
Saya sebut demikian dari sudut pandang saya yang baru mengenal Konsep Total Quality Controltahun 1983, beberapa tahun kemudian mengenal Konsep Kaizen yang saat itu ditafsirkan perubahan kecil secara terus menerus, continuous improvement.
Di perusahaan tempat kerja saya -sebut saja AG- sejak 1981 atau 1982 diterapkan Konsep TQC secara massal dan sejak akhir 1984 diselenggarakan Konvensi TQC atau Konvensi Manajemen Kualitas, yang dilaksanakan setiap tahun sampai saat ini.
TQC, Kaizen yang diterapkan dalam pekerjaan karyawan prinsipnya adalah perubahan terus menerus, continuous improvement, mirip dengan Konsep niteni, nirokake dan nambahi.
Benchmark (1990-an)
Konsep Barat ini secara praktis mulai dipelajari di sebuah grup perusahaan -sebut saja AI- tahun 1991 atau 1994. Saat itu AI mengundang Singapore Airlines, yang ketika itu dikenal sebagai perusahaan penerbangan kelas dunia, berkat kesuksesan menerapkan konsep manajemen modern, Customer Satisfaction.
Bagaimana agar sukses Singapore Airlines dapat ditiru dan diterapkan? Caranya ya itu benchmark. Bisa melakukan kunjungan ke perusahaan yang akan "ditiru", atau mengundang manajer perusahaan tersebut untuk menjelaskan di perusahaan yang ingin belajar. Saya kebagian belajar di kelas, di AI, dipandu seorang manajer dari Singapore Airlines.
Jepang Tak Segan Benchmark Indonesia
Indonesia belajar TQC dan Kaizen dari Jepang. Tepatnya AG tempat saya kerja waktu itu belajar dari induknya AI yang berkantor Pusat di Jakarta dan FX yang berpusat di Tokyo.
Tahun 2007, manager in charge Kaizen di FX regional Asia Pasifik merasa heran atau mungkin terkejut mengetahui AG "masih" melaksanakan Konvensi TQC dan Kaizen secara kontinu sejak 1984 sampai saat itu, tahun 2007.
Pada sebuah rapat para manajer Sistem Manajemen Kualitas dan Manajemen Lingkungan FX regional Asia Pasifik di Chengdu, China, tahun 2007, yang juga dihadiri person in charge bidang tersebut di FX Tokyo, mereka minta AG mempresentasikan penerapan TQC dan Kaizen di AG.
Apa yang dilakukan FX dan FX regional Asia Pasifik adalah benchmark. Tak segan sebuah "perusahaan induk" belajar sesuatu dari "anaknya".
Konsep Niteni-Nirokake-Nambahi maupun Konsep TQC-Kaizen dan Benchmark butuh kebesaran jiwa dari yang sedang belajar untuk memperbaiki kualitas. Harus legowo, mau menerima masukan dari pihak lain. Pada dasarnya siapapun manusia atau perusahaan tak ada yang sempurna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H