Mohon tunggu...
Hendi Setiawan
Hendi Setiawan Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

Senior citizen. Pengalaman kerja di bidang transmigrasi, HPH, modal ventura, logistik, sistem manajemen kualitas, TQC, AMS, sistem manajemen lingkungan dan K3, general affair, procurement, security. Beruntung pernah mengunjungi sebagian besar provinsi di Indonesia dan beberapa negara asing. Gemar membaca dan menulis. Menyukai sepakbola dan bulutangkis. Masih menjalin silaturahmi dengan teman2 sekolah masa SD sampai Perguruan Tinggi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pengalaman Berasuransi Sejak 1990

1 April 2015   19:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:40 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Apa motif anda membeli polis asuransi? Asuransi jenis pertanggungan apa yang anda beli? Mengapa kebanyakan orang (dulu) menolak membeli polis asuransi? Pahitnya berasuransi!  Pertanyaan dan pernyataan inilah yang akan saya bagi sebagai pengalaman bagi pembaca di Kompasiana.

Ketika lulus sekolah dan mulai bekerja pada tahun 1978, tak pernah terbersit dalam pikiran untuk melindungi diri dengan polis asuransi, karena masih muda, masih bisa ikut tim PSSI under 23 he he he dan paling pokok memang tak mengerti manfaat asuransi.

Terkadang ketika bepergian naik pesawat terbang, pernah juga membeli polis asuransi yang dijual untuk 'sekali jalan', saya lupa perusahaan asuransi mana yang menjual polis asuransi di bandara Kemayoran dan lalu di Sukarno Hatta pada akhir 1970-an/awal 1980an. Motifnya saat itu bila terjadi kecelakaan fatal, saya masih meninggalkan manfaat asuransi yang cukup besar untuk kedua orangtua saya yang saat itu sudah masuk usia hampir senior citizen.

Asuransi Perlu!

Pertanyaan pertama mengapa (dulu) banyak orang menolak membeli polis asuransi? Informasi banyak orang tak mau melindungi dirinya dengan asuransi, saya dengar dari salesman asuransi sendiri. Motifnya macam-macam : merasa masih sehat, takut uangnya hilang, pertimbangan kemungkinan kecil meninggal usia muda, menabung saja, biaya kesehatan sudah ditanggung kantor, dan paling fatal memang tak pernah tahu manfaat asuransi itu untuk apa serta visi kurang jauh ke depan.

Mengapa asuransi perlu, misalnya ketika kita dirawat di rumah sakit dan memerlukan biaya besar, akan terasa beratnya biaya rumah sakit seandainya tak dilindungi asuransi kesehatan.

Asuransi Yang Saya Ikuti

Saya sendiri waktu muda dulu awalnya sering menolak membeli polis asuransi karena merasa kemungkinan terjadinya hal fatal seperti meninggal dunia relatif kecil terjadi saat usia muda, ditambah lagi setelah bekerja di sebuah perusahaan swasta nasional sejak 1981, jaminan kesehatannya sangat bagus, karyawan juga diikutsertakan  mengikuti tabungan pensiun grup perusahaan dan Jamsostek.

Jadi sebenarnya saya sebagai karyawan dan kepala keluarga muda saat itu relatif cukup terlindungi dengan 'asuransi melekat' yang memang diwajibkan bagi seluruh karyawan tanpa kecuali.  Akan tetapi apakah saya punya keinginan investasi asuransi tambahan? Lama kelamaan mau juga namun dengan  kondisi 'minimal', misalnya mengambil nilai tanggungan yang relatif kecil, diantaranya saya membuka polis asuransi pendidikan untuk anak sulung saya, yang manfaatnya diperoleh ketika ia lulus SD, SMP dan SMA. Pernah juga sekitar lima tahun sebelum pensiun membuka polis asuransi untuk anak bungsu saya yang ketika itu masih usia SD, jumlah pertanggungannya ketika itu lumayan besar,  saya bayar preminya selama lima tahun, tapi sekarang relatif kecil karena termakan inflasi.

Asuransi jiwa pertama kali di luar fasilitas kantor yang saya ikuti adalah ketika tahun 1990 membuka polis asuransi jiwa senilai Rp 10 juta, dengan batas waktu saat usia 55 tahun bila masih hidup uang akan dikembalikan utuh, sedangkan bila meninggal dunia sebelum usia 55 tahun, maka ahli waris akan mendapat santunan sebesar Rp 10 juta ditambah uang sejumlah Rp 10 juta saat masa kontrak asuransi selesai.

Semua asuransi yang saya ceritakan berakhir manis. Ketika pensiun uang santunan Rp 10 juta dari asuransi yang saya buka tahun 1990 saya terima, Jamsostek/tunjangan hari tua juga saya terima sekitar Rp 100 juta, ditambah tabungan pensiun yang mirip perlindungan asuransi saya terima dalam jumlah yang jauh lebih besar dari tunjangan hari tua Jamsostek. Sekarang masih tersisa satu jaminan asuransi untuk anak bungsu saya, yang akan diberikan manfaatnya ketika ia berusia 22 tahun atau bila saya wafat sebelumnya, ditambah asuransi BPJS Kesehatan dan satu polis asuransi kesehatan dari perusahaan asuransi bonafid, yang berlaku sampai usia 65 tahun.

Pahitnya Asuransi

Selain manisnya manfaat asuransi yang saya alami selama saya bekerja sampai pensiun, dalam perjalanan hidup pernah juga kecewa dengan asuransi karena ketidaktelitian saya membaca perjanjian asuransi :

Asuransi jiwa dalam mata uang Dollar Amerika

Pada tahun 1995 saya membuka polis asuransi dalam mata uang Dollar Amerika dari perusahaan X. Perusahaan ini saya percaya betul karena relatif masih satu kelompok dengan perusahaan tempat kerja saya saat itu.

Malapetaka datang ketika pada tahun 1998 kurs Dollar Amerika melonjak sampai Rp 15000 dari semula sekitar Rp 2500. Saya tak sanggup bayar premi dan sayangnya salesman asuransi yang bertransaksi dengan saya pun tidak aktif memberi informasi yang jelas. Seharusnya bila saya mengerti isi perjanjian, saat itu bisa memutuskan kontrak dan uang yang telah saya setor bisa ditarik kembali, namun karena saya juga pasif akhirnya uang yang sudah mengendap lama-lama dianggap habis sebagai uang angsuran premi selama saya absen bayar premi. Uang premi yang saya bayar sejak 1995 - triwulan I 1998 hilang 100%.

Klaim Ditolak

Ketidaknyamanan akibat klaim ditolak saya alami ketika perusahaan asuransi yang sama menolak memenuhi klaim pembayaran perawatan rumah sakit atas nama istri saya. Menurut perjanjian asuransi istri saya mendapat manfaat asuransi mulai 23 Mei 2010, sedangkan isteri saya dirawat mulai 21 Mei sampai dengan 26 Mei 2010. Perusahaan asuransi menolak klaim dengan alasan pertanggungan belum berlaku, sekalipun saya berdalih perusahaan seharusnya menanggung klaim saya untuk biaya rumah sakit istri saya untuk tanggal 23 - 26 Mei 2010. Dalam perjanjian memang ada klausul perjanjian mulai berlaku tiga bulan setelah kontrak ditandatangani, sayangnya istri saya terganggu saraf giginya dua hari sebelum tanggal berlakunya asuransi.

Saya putuskan untuk menghentikan asuransi dan menarik uang premi yang sudah saya setor lunas dua tahun ke depan. Hasilnya hanya separuh uang premi yang bisa ditarik, sisanya dianggap 'hangus', padahal asuransi baru berjalan tiga bulan lebih.

Penolakan klaim sebelumnya saya alami dari perusahaan asuransi swasta lainnya. Pada Januari 2010 saya dirawat di rumah sakit karena gangguan jantung, klaim yang saya ajukan ditolak dengan alasan masa tenggang waktu satu tahun, yang jatuh temponya Maret 2010 belum terpenuhi. Tak banyak cingcong saya terima alasan mereka, sambil melapor ke kantor yang baru saya tinggalkan sebulan karena pensiun. Pihak kantor akhirnya mengganti biaya rumah sakit saya, sekalipun sebenarnya saya sudah pensiun saat itu.

Penolakan klaim asuransi lainnya saya alami ketika suatu hari pada Maret 2010, saya merasa sangat pusing dan napas agak sesak.  Saya dirawat di sebuah rumah sakit swasta, ditangani oleh dokter spesialis jantung. Setelah dua hari dirawat saya boleh pulang karena tak ada gangguan jantung, pusing-pusing yang saya alami adalah vertigo, yang memang sudah lama saya idap.

Klaim biaya perawatan kembali ditolak, kali ini karena dalih sakit jantung tak masuk dalam klausul perjanjian. Saya bilang bahwa saya walaupun dirawat oleh dokter ahli jantung ternyata sakitnya vertigo, bukti status perawatan dari dokter saya berikan. Akhirnya setelah menunggu tiga bulan klaim dibayar juga, mungkin perusahaan asuransi menyelidiki kebenaran sakit saya ke rumah sakit yang merawat saya.  No problem selama kejujuran kita pegang, insya Allah selamat.

Informasi bahwa penyakit jantung tak termasuk penyakit yang ditanggung asuransi baru saya ketahui saat itu, semata-mata karena ketidaktelitian saya membaca kontrak perjanjian asuransi.

Pasang Stent Biaya Pribadi

Biaya perawatan selama hidup yang paling memukul kondisi keuangan saya adalah ketika saya harus pasang stent di pembuluh darah jantung yang menyempit. Biaya pasang tiga stent sangat besar mencapai sekitar Rp 300 juta, lebih mahal dari harga Innova terbaru saat itu.

Pada saat dokter menyarankan pasang stent, saya sudah menyadari bahwa asuransi yang saya miliki tidak mencakup penyakit jantung. Dokter bertanya apakah ada asuransi, saya jawab tak ada, saya akan membayar dengan uang pribadi. Pahit sekali memang biaya pengobatan sebesar ini harus ditanggung sendiri, padahal bila kejadin ini terjadi tiga atau empat bulan sebelumnya, seratus persen biaya pengobatan akan ditanggung kantor.

Polis asuransi yang saya pegang pada dasarnya tetap bermanfaat, ketika awal 2013 saya dirawat di rumah sakit selama lima hari karena gejala tipus, klaim biaya perawatan diterima tanpa banyak argumen, hanya obat-obat yang berkaitan dengan penyakit jantung yang dicoret mereka. Dokter spesialis penyakit dalam yang merawat saya memang memberikan juga obat penyakit jantung selain obat-obat untuk menyembuhkan gejala tipus. Pak Dokter memang saya beritahu bahwa saya selama ini rutin mengkonsumsi obat-obatan tertentu yang berkaitan dengan kesehatan jantung dan pembuluh darah, atas resep dokter spesialis jantung dan pembuluh darah.

Jangan Abaikan Asuransi

Saya pribadi berdasarkan pengalaman berkeyakinan asuransi jiwa, asuransi kesehatan penting untuk dimiliki. Setelah mulai Januari 2014 BPJS Kesehatan diberlakukan Pemerintah Republik Indonesia, saya dan keluarga ikut serta BPJS Kesehatan, termasuk anak-anak saya yang sudah bekerja saya anjurkan melengkapi diri dengan asuransi BPJS Kesehatan, selain asuransi dari tempat bekerja masing-masing.

Tidak ingin mendahului takdir, tapi sebaiknya kita berusaha memproteksi diri agar tidak menyulitkan siapapun ketika sakit dan membutuhkan biaya perawatan yang tak sedikit, asuransilah yang tepat untuk tumpuan masyarakat. Tentu sebelum memutuskan ikut asuransi, secara ilmiah bisa dibuat simulasi analisis "Berasuransi vs Menabung" misalnya, pelajari kelebihan dan kekurangan dari kedua macam 'investasi' tersebut, jenis asuransinya bisa dibagi asuransi jiwa, pendidikan dan kesehatan. Prinsipnya teliti sebelum membeli.

Saya teringat ketika bulan Desember 2013 seorang teman SMA yang tinggal di Amerika Serikat mengikuti anaknya yang sedang studi S3, mengalami kecelakaan fatal, jatuh di tempat parkir hotel karena licin, malangnya tulang ekornya retak atau patah, yang berakibat teman saya lumpuh dari perut ke bawah.

Ia dirawat selama tiga bulan di sebuah rumah sakit di Amerika, biayanya sangat mencengangkan, bila dirupiahkan sekitar Rp 11 milyar. Teman saya walaupun tidak memiliki polis asuransi di Amerika, seluruh perawatannya ditanggung jawatan sosial setempat, karena teman saya tak  mampu membayar biaya sebesar itu.

Asuransi untuk diri pribadi dan keluarga penting, saya anjurkan bukalah polis asuransi jiwa dan kesehatan, untuk saat ini minimal ikutilah asuransi BPJS Kesehatan dan BPJS Tenaga Kerja bila anda masih termasuk golongan usia produktif. Tentu lebih baik bila dilapis dengan polis asuransi jiwa, kesehatan atau pendidikan dari perusahaan asuransi yang terpercaya reputasinya, bila penghasilan kita memungkinkan.

Jangan lupa perhatikan klausul perjanjian asuransi sebaik-baiknya sampai paham.  Seandainya perjanjian ditulis dalam bahasa Inggris, mintalah terjemahannya dari perusahaan asuransi yang akan menjadi mitra kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun