Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kapitalisme dan Eksploitasi Lansia: Antara Retorika Pemberdayaan dan Realitas Penindasan

12 Oktober 2024   21:02 Diperbarui: 12 Oktober 2024   21:06 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber Gambar: KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Kapitalisme dan Eksploitasi Lansia: Antara Retorika Pemberdayaan dan Realitas Penindasan

Dalam beberapa tahun terakhir, ada fenomena yang semakin sering diberitakan mengenai lansia yang tetap bekerja, dengan narasi yang kerap kali positif. 

Sebuah contoh mencolok muncul dalam liputan media tentang kafe di Jakarta yang mempekerjakan lansia, dengan sorotan yang mengangkat pemberdayaan mereka. 

Nada pemberitaan ini seolah menampilkan lansia yang masih mampu berkontribusi sebagai suatu hal yang positif dan menginspirasi, bahkan dianggap sebagai simbol dari ketahanan, resiliensi dan produktifitas. 

Namun, di balik retorika tersebut, terdapat pertanyaan mendasar tentang apakah fenomena ini benar-benar mencerminkan pemberdayaan atau justru bentuk lain dari eksploitasi dalam sistem kapitalisme yang semakin masif di era modern? 

Lansia Bekerja: Eksploitasi yang Disamarkan sebagai Pemberdayaan

Kapitalisme selalu lihai dalam memanfaatkan narasi yang dapat mempengaruhi persepsi publik. Dalam hal ini, bekerja di usia lanjut kerap kali dikemas dalam istilah-istilah seperti "pemberdayaan" atau "kesempatan untuk tetap produktif." 

Di balik narasi positif ini, kita perlu bertanya: mengapa lansia yang seharusnya menikmati masa pensiun dan ketenangan di hari tua, malah dipaksa untuk tetap bekerja? Apakah ini benar-benar karena mereka ingin, atau karena kebutuhan ekonomi yang tidak dapat dihindari?

Indonesia, seperti banyak negara lainnya, masih menghadapi tantangan besar dalam memastikan kesejahteraan lansia. Jaminan sosial yang terbatas dan pensiun yang tidak memadai sering kali memaksa orang tua untuk tetap bekerja di usia lanjut demi mengalas perut dan menunda agar tidak mati lebih cepat. 

Dalam konteks ini, apa yang disebut "pemberdayaan" tampak lebih sebagai upaya untuk menutupi kenyataan pahit bahwa banyak lansia bekerja bukan karena pilihan, tetapi karena tidak ada alternatif lain. 

Fenomena ini adalah bentuk eksploitasi baru yang dibungkus dalam bahasa yang lebih manis, yang pada dasarnya menempatkan beban kapitalisme di atas kelompok yang seharusnya paling dilindungi.

Pemerintah tampak seolah-olah mendukung narasi ini melalui kebijakan usia pensiun yang semakin panjang. Contohnya, bagi Dosen alias buruh intelektual atau peneliti, usia pensiun dapat mencapai 65-70 tahun. 

Kebijakan ini mencerminkan logika kapitalisme yang terus menuntut produktivitas tanpa batasan usia, seolah-olah manusia adalah sumber daya yang bisa terus dieksploitasi hingga titik terlemah sekalipun. 

Alih-alih melindungi pekerja lansia dari eksploitasi, negara dan media justru mendukung pandangan bahwa seseorang harus tetap produktif sampai usia lanjut, tanpa mempertimbangkan kualitas hidup mereka.

Kapitalisme Digital: Eksploitasi di Era Teknologi

Eksploitasi dalam kapitalisme tidak hanya terjadi pada lansia, tetapi juga merambah ke seluruh spektrum usia dalam bentuk tuntutan produktivitas yang semakin tinggi, terutama di era digital. 

Di masa kini, batasan antara waktu kerja dan waktu pribadi semakin kabur. Teknologi yang seharusnya memudahkan kehidupan justru menjadi alat untuk memperpanjang jam kerja secara tidak langsung. 

Seorang pekerja, baik di sektor formal maupun informal, kerap kali merasa terpaksa untuk terus terhubung dengan pekerjaan bahkan di luar jam kerja formal, demi memenuhi target penjualan, menulis laporan, atau mengejar tenggat waktu publikasi akademis di jurnal internasional seperti Scopus.

Fenomena ini sering kali digambarkan sebagai "fleksibilitas kerja" yang memungkinkan pekerja untuk mengatur waktu mereka sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi adalah pekerja justru semakin sulit untuk benar-benar melepaskan diri dari pekerjaan. 

Perusahaan menggunakan teknologi untuk memaksimalkan produktivitas pekerja dengan menghilangkan batasan fisik kantor dan jam kerja. Para pekerja tampak seolah-olah baik-baik saja dalam kondisi ini, tetapi kenyataannya mereka semakin terperangkap dalam sistem yang menguras tenaga dan waktu pribadi mereka tanpa henti.

Dalam kultur kerja modern ini, kelelahan bahkan dianggap sebagai tanda produktivitas. Karyawan yang kelelahan, begadang untuk menyelesaikan pekerjaan, atau yang selalu terhubung dengan gawai seolah-olah dianggap sebagai pekerja yang berdedikasi tinggi. 

Kondisi ini memanifestasikan bentuk eksploitasi yang lebih halus namun sangat merusak. Kapitalisme menggunakan retorika produktivitas dan dedikasi untuk menormalisasi kondisi kerja yang tidak sehat dan tidak manusiawi, di mana kesejahteraan individu dikorbankan demi keuntungan korporasi.

Lanskap Eksploitasi yang Lebih Luas

Jika kita memperluas perspektif ini, fenomena lansia yang tetap bekerja hingga usia lanjut dan eksploitasi digital di era modern adalah bagian dari lanskap yang lebih luas dari eksploitasi tenaga kerja di bawah sistem kapitalisme global. 

Di satu sisi, narasi pemberdayaan lansia menunjukkan bagaimana kapitalisme terus berupaya untuk mencari sumber tenaga kerja yang baru, bahkan di kelompok usia yang seharusnya dilindungi. 

Di sisi lain, eksploitasi pekerja di era digital menunjukkan bagaimana teknologi, yang seharusnya menjadi alat pembebasan, justru dijadikan alat untuk memperpanjang eksploitasi tenaga kerja.

Dalam kondisi ini, sangat penting bagi kita untuk merenungkan bagaimana seharusnya peran negara dan kebijakan publik dalam menghadapi tantangan ini. Negara tidak boleh berperan sebagai fasilitator dari eksploitasi kapitalisme, melainkan harus menjadi pelindung yang memastikan kesejahteraan semua warganya, terutama yang paling rentan, termasuk lansia yang seharusnya menikmati masa pensiun dengan tenang dan bahagia, dan pekerja di era digital yang harus dilindungi dari jam kerja yang tidak manusiawi.

Karena itu, segala retorika dan praktik yang menormalisasi eksploitasi perlu ditolak, serta menuntut kebijakan negara yang melindungi kesejahteraan dan hak asasi manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun