Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kepala Daerah dan Dinamika Penyusunan APBD, Proses Demokrasi yang Rentan Korupsi dan Kolusi

13 Juli 2024   22:27 Diperbarui: 13 Juli 2024   22:36 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mekanisme checks and balances yang diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan justru seringkali menjadi hambatan dalam proses kebijakan, karena semua pemegang veto harus sepakat agar APBD dapat disetujui.

Keharusan adanya kesepakatan bersama seringkali menimbulkan kebuntuan (deadlock) dalam proses penyusunan anggaran. Sehingga untuk menghindari kebuntuan dan memastikan bahwa dokumen anggaran dapat disahkan tepat waktu, pihak eksekutif seringkali tidak punya pilihan selain meminta dukungan parlemen. 

Dukungan ini kemudian dimanfaatkan oleh parlemen untuk meminta "uang ketok palu", yang merupakan bentuk korupsi berjemaah yang melibatkan aktor eksekutif dan legislatif.

Dalam beberapa kasus, seperti korupsi Wisma Atlet,korupsi E-KTP dan korupsi keuangan daerah yang diamati oleh Gabriel Lele, miliaran rupiah mengalir ke sejumlah pejabat tinggi dan anggota parlemen sebagai hasil dari praktik korupsi ini.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa korupsi dalam penyusunan atau perubahan APBD tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menciptakan ruang kolusi antara aktor eksekutif dan legislatif untuk menggerogoti keuangan negara.

Model korupsi seperti ini menunjukkan bahwa korupsi tidak berdiri sendiri, melainkan dilakukan melalui atau dengan menggunakan kerangka kelembagaan demokrasi yang ada. 

Lembaga eksekutif dan legislatif, melalui kementerian, dinas, fraksi, dan komisi, telah menjelma menjadi pusat korupsi. Korupsi ini lahir sebagai bentuk transaksi untuk mengatasi tuntutan mengambil kebijakan secara cepat dan berhadapan dengan kepentingan yang berbeda.

Kekuasaan veto yang dimiliki oleh parlemen telah diubah menjadi instrumen efektif untuk memojokkan dan memaksa eksekutif bertransaksi. 

Dalam kondisi ini, eksekutif sering kali merasa terdesak dan terpaksa untuk melakukan transaksi koruptif demi mempercepat proses kebijakan dan menghindari kebuntuan yang berlarut-larut.

Kekuasaan veto yang dimiliki oleh parlemen seharusnya menjadi mekanisme untuk mengawasi dan menyeimbangkan kekuasaan eksekutif. Namun kekuasaan ini sering disalahgunakan untuk meyandera eksekutif, agar kebijakan yang diusulkan dapat berjalan.

Praktik korupsi dalam transaksi antara eksekutif dan legislatif memiliki dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat dan negara. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun