Mekanisme checks and balances yang diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan justru seringkali menjadi hambatan dalam proses kebijakan, karena semua pemegang veto harus sepakat agar APBD dapat disetujui.
Keharusan adanya kesepakatan bersama seringkali menimbulkan kebuntuan (deadlock) dalam proses penyusunan anggaran. Sehingga untuk menghindari kebuntuan dan memastikan bahwa dokumen anggaran dapat disahkan tepat waktu, pihak eksekutif seringkali tidak punya pilihan selain meminta dukungan parlemen.Â
Dukungan ini kemudian dimanfaatkan oleh parlemen untuk meminta "uang ketok palu", yang merupakan bentuk korupsi berjemaah yang melibatkan aktor eksekutif dan legislatif.
Dalam beberapa kasus, seperti korupsi Wisma Atlet,korupsi E-KTP dan korupsi keuangan daerah yang diamati oleh Gabriel Lele, miliaran rupiah mengalir ke sejumlah pejabat tinggi dan anggota parlemen sebagai hasil dari praktik korupsi ini.
Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa korupsi dalam penyusunan atau perubahan APBD tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menciptakan ruang kolusi antara aktor eksekutif dan legislatif untuk menggerogoti keuangan negara.
Model korupsi seperti ini menunjukkan bahwa korupsi tidak berdiri sendiri, melainkan dilakukan melalui atau dengan menggunakan kerangka kelembagaan demokrasi yang ada.Â
Lembaga eksekutif dan legislatif, melalui kementerian, dinas, fraksi, dan komisi, telah menjelma menjadi pusat korupsi. Korupsi ini lahir sebagai bentuk transaksi untuk mengatasi tuntutan mengambil kebijakan secara cepat dan berhadapan dengan kepentingan yang berbeda.
Kekuasaan veto yang dimiliki oleh parlemen telah diubah menjadi instrumen efektif untuk memojokkan dan memaksa eksekutif bertransaksi.Â
Dalam kondisi ini, eksekutif sering kali merasa terdesak dan terpaksa untuk melakukan transaksi koruptif demi mempercepat proses kebijakan dan menghindari kebuntuan yang berlarut-larut.
Kekuasaan veto yang dimiliki oleh parlemen seharusnya menjadi mekanisme untuk mengawasi dan menyeimbangkan kekuasaan eksekutif. Namun kekuasaan ini sering disalahgunakan untuk meyandera eksekutif, agar kebijakan yang diusulkan dapat berjalan.
Praktik korupsi dalam transaksi antara eksekutif dan legislatif memiliki dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat dan negara.Â