Mohon tunggu...
Hen AjoLeda
Hen AjoLeda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kepala Daerah dan Dinamika Penyusunan APBD, Proses Demokrasi yang Rentan Korupsi dan Kolusi

13 Juli 2024   22:27 Diperbarui: 13 Juli 2024   22:36 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber Gambar: Kompas.com

Kepala Daerah dan Dinamika Penyusunan APBD: Proses Demokrasi yang Rentan Korupsi dan Kolusi

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 merupakan proses demokrasi yang esensial dalam memilih pemimpin daerah yang berkompeten. 

Salah satu tugas utama pemimpin daerah terpilih adalah mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang menjadi dasar pembiayaan proyek dan program daerah.

APBD merupakan rancangan keuangan tahunan yang disusun oleh pemerintah daerah dan harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). 

Sebagai dokumen keuangan tahunan, APBD bertujuan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat dan kesejahteraan umum dan berfungsi sebagai pedoman utama untuk menentukan pengeluaran dan pendapatan daerah, yang kemudian diatur dalam Peraturan Daerah. 

Selain itu, APBD juga memainkan peran penting dalam pengambilan keputusan, perencanaan pembangunan daerah, serta perizinan pengeluaran di masa yang akan datang. Tanpa penyusunan APBD, proyek-proyek jangka panjang yang direncanakan di daerah dapat terhenti.

Celah Korupsi dan Kolusi Penyusunan APBD

Dalam proses penyusunan atau perubahan APBD, seringkali muncul permasalahan yang kompleks, termasuk korupsi dan kolusi.

Riset yang dilakukan oleh Gabriel Lele (2020) menunjukkan bahwa korupsi dan kolusi dalam penyusunan atau perubahan APBD seringkali disebabkan oleh celah dalam kelembagaan demokrasi. 

Sistem demokrasi yang ada memberikan ruang bagi aktor-aktor politik untuk melakukan korupsi. 

Dalam penelitiannya, Gabriel Lele mengamati kasus-kasus korupsi dan kolusi yang terjadi pada periode 1999-2019 baik di tingkat nasional maupun daerah, termasuk kasus korupsi Wisma Atlet dan E-KTP, yang melibatkan pejabat tinggi dan anggota parlemen.

Kehadiran banyak pemegang veto dalam proses penyusunan atau perubahan anggaran (APBD) yang memerlukan persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif menyebabkan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesepakatan, serta memerlukan negosiasi intensif sebelum keputusan dapat diambil. 

Mekanisme checks and balances yang diharapkan dapat mencegah penyalahgunaan kekuasaan justru seringkali menjadi hambatan dalam proses kebijakan, karena semua pemegang veto harus sepakat agar APBD dapat disetujui.

Keharusan adanya kesepakatan bersama seringkali menimbulkan kebuntuan (deadlock) dalam proses penyusunan anggaran. Sehingga untuk menghindari kebuntuan dan memastikan bahwa dokumen anggaran dapat disahkan tepat waktu, pihak eksekutif seringkali tidak punya pilihan selain meminta dukungan parlemen. 

Dukungan ini kemudian dimanfaatkan oleh parlemen untuk meminta "uang ketok palu", yang merupakan bentuk korupsi berjemaah yang melibatkan aktor eksekutif dan legislatif.

Dalam beberapa kasus, seperti korupsi Wisma Atlet,korupsi E-KTP dan korupsi keuangan daerah yang diamati oleh Gabriel Lele, miliaran rupiah mengalir ke sejumlah pejabat tinggi dan anggota parlemen sebagai hasil dari praktik korupsi ini.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa korupsi dalam penyusunan atau perubahan APBD tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menciptakan ruang kolusi antara aktor eksekutif dan legislatif untuk menggerogoti keuangan negara.

Model korupsi seperti ini menunjukkan bahwa korupsi tidak berdiri sendiri, melainkan dilakukan melalui atau dengan menggunakan kerangka kelembagaan demokrasi yang ada. 

Lembaga eksekutif dan legislatif, melalui kementerian, dinas, fraksi, dan komisi, telah menjelma menjadi pusat korupsi. Korupsi ini lahir sebagai bentuk transaksi untuk mengatasi tuntutan mengambil kebijakan secara cepat dan berhadapan dengan kepentingan yang berbeda.

Kekuasaan veto yang dimiliki oleh parlemen telah diubah menjadi instrumen efektif untuk memojokkan dan memaksa eksekutif bertransaksi. 

Dalam kondisi ini, eksekutif sering kali merasa terdesak dan terpaksa untuk melakukan transaksi koruptif demi mempercepat proses kebijakan dan menghindari kebuntuan yang berlarut-larut.

Kekuasaan veto yang dimiliki oleh parlemen seharusnya menjadi mekanisme untuk mengawasi dan menyeimbangkan kekuasaan eksekutif. Namun kekuasaan ini sering disalahgunakan untuk meyandera eksekutif, agar kebijakan yang diusulkan dapat berjalan.

Praktik korupsi dalam transaksi antara eksekutif dan legislatif memiliki dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat dan negara. 

Pertama, korupsi menyebabkan pemborosan anggaran negara. Anggaran yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, kesehatan, dan program-program sosial lainnya, justru mengalir ke kantong-kantong pribadi pejabat yang korup.

Kedua, korupsi merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. Masyarakat yang mengetahui praktik-praktik korupsi yang terjadi di lembaga eksekutif dan legislatif akan kehilangan kepercayaan terhadap institusi pemerintah. 

Ketidakpercayaan ini berdampak negatif pada stabilitas politik dan sosial, serta menghambat upaya pemerintah untuk menjalankan program-program pembangunan.

Ketiga, korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi. Investasi asing dan domestik akan berkurang ketika para investor melihat bahwa korupsi merajalela di suatu negara. 

Mereka khawatir bahwa investasi mereka tidak akan aman dan mereka harus membayar suap untuk mendapatkan izin usaha atau perlindungan hukum. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan dan kesejahteraan masyarakat tidak meningkat.

Rekomendasi yang Perlu Dilakukan

Penyusunan APBD seharusnya menjadi proses yang transparan dan akuntabel, di mana kepentingan masyarakat diutamakan. Namun, dalam praktiknya, celah kelembagaan dalam sistem demokrasi kita seringkali dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik untuk melakukan korupsi. 

Korupsi dalam penyusunan APBD menunjukkan bahwa demokrasi kita masih memiliki kelemahan yang signifikan dalam hal pengawasan dan pelaksanaan kebijakan anggaran.

Untuk mengatasi masalah ini, maka perlunya memperjelas konsentrasi dan fragmentasi kekuasaan, artinga memperjelas hak veto masing- masing lembaga (eksekutif dan legislatif). Pengaturan keseimbangan kekuasaan yang lebih jelas antara eksekutif dan legislatif, terutama mengenai hak veto dalam "persetujuan bersama" sesuai UUD 1945, dianggap penting dalam upaya pemberantasan korupsi di tingkat makro (Lele, 2020).

Selanjutnya, transparansi dalam penyusunan APBD adalah kunci untuk mengurangi peluang korupsi. Pemerintah daerah harus membuka akses informasi kepada publik mengenai rencana anggaran, alokasi dana, dan realisasi anggaran. 

Masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengawasan anggaran melalui forum-forum diskusi, musyawarah, dan konsultasi publik. Dengan demikian, masyarakat dapat memberikan masukan, kritik, dan kontrol terhadap penggunaan dana publik.

Media massa memiliki peran strategis dalam mengawasi dan menginformasikan proses penyusunan APBD kepada publik. Media harus berperan sebagai watchdog yang mengawal transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah. Selain itu, media juga harus memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya partisipasi dalam pengawasan anggaran.

Keterlibatan organisasi masyarakat sipil (OMS) harus aktif terlibat dalam mengawasi penyusunan dan realisasi APBD. OMS dapat melakukan advokasi, penelitian, dan kampanye untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas anggaran. Masyarakat sipil juga dapat memberikan pelatihan dan edukasi kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban mereka dalam mengawasi penggunaan dana publik.

Kesimpulan

Meskipun APBD merupakan instrumen penting untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, proses penyusunan dan perubahan anggaran masih rentan terhadap praktik korupsi dan kolusi berjemaah. 

Reformasi kelembagaan yang komprehensif dan penegakan hukum yang ketat diperlukan untuk memastikan bahwa anggaran daerah dikelola secara transparan dan akuntabel. 

Transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyusunan dan perubahan APBD harus ditingkatkan dengan melibatkan partisipasi publik termasuk masyarakat sipil dan media yang lebih luas.

Dalam konteks Pilkada serentak 2024, masyarakat perlu lebih selektif dalam memilih pemimpin daerah yang berkomitmen untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi. Pemimpin yang terpilih harus mampu mengelola APBD dengan baik dan transparan, serta memprioritaskan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun