Strategi Machiavellianisme dalam Pilkada: Bagaimana Elit Menavigasi Kekuasaan.
Genderang Pilkada serentak 2024 tengah berbunyi di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota se-Indonesia. Meski masih cukup waktu, gelagat hingga manuver bakal calon dan partai politik tampak riuh rendah menyambut pesta demokrasi.
Gelagat hingga manuver bakal calon sesuatu yang wajar, karena di tengah ingar-bingar hawa panas politik, persaingan untuk mendulang kemenangan dalam kontestasi Pilakada mendatang adalah imperatif mutlak.
Kendati demikian, dalam konteks persaingan politik yang intens ini, strategi yang digunakan oleh kandidat dalam Pilkada serentak 2024 perlu dilihat melalui lensa teori politik Machiavellian.
Machiavellianisme mengacu pada seperangkat prinsip yang menekankan pragmatisme, manipulasi, dan penggunaan kekuatan dalam politik, yang berakar dari karya Niccolò Machiavelli, terutama "The Prince" (Terjemahan C. Woekirsari, 1987).
Dalam "The Prince", Machiavelli berargumen bahwa penguasa harus siap menggunakan segala cara, termasuk kekerasan dan tipu daya untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Prinsip dasar Machiavellianisme mencakup pragmatisme ekstrem, di mana tujuan (mempertahankan kekuasaan) membenarkan cara apa pun, serta fokus pada efektivitas daripada moralitas dan kebaikan (Mukhtar, 2018).
Menurut Machiavelli moralitas yang sering kali digunakan oleh penguasa untuk mendapatkan legitimasi politik, sehingga Ia memisahkan antara moral dan politik, ada garis demarkasi antara budi baik moralitas penguasa dan politik (Putra, 2015)
Sebagian besar kritikus politik menganggap pragmatisme politik Machiavellian telah menggerogoti kehidupan berbangsa dan bernegara. Prinsip etik dan moral politik yang dipisahkan dari praksis berpolitik telah melahirkan cacat demokrasi, karena Machiavelli dianggap telah memberi resep yang kejam dan tidak bermoral kepada para pemimpin untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan (Putra, 2023).
Namun, bagi pendukung Machiavelli menganggap bahwa pemikirannya sebenarnya menekankan pentingnya fleksibilitas dan pragmatisme dalam politik, bukan sekadar tindakan tidak bermoral. Keberhasilan politik tidak selalu sesuai dengan norma moral tradisional.
Ilustrasi "setan" (orang jahat) dan "malaikat"(orang baik) dalam “The Prince” menunjukkan distingsi tentang sifat pemimpin dalam berkuasa dan berpolitik. Machiavelli menyatakan bahwa seorang pemimpin, selain berwujud seperti "malaikat" agar dicintai rakyatnya, juga lebih baik ditakui seperti "setan" (Saptamaji, 2024).
Kekuasaan bagi Machiavelli adalah segalanya. Seorang pemimpin harus siap melakukan apa pun untuk mempertahankan dan memperluas kekuasaannya, sekalipun harus menjelma menjadi "setan". Kesuksesan dalam bepolitik dan berkuasa ditentukan oleh kekuatan dan kemampuan untuk bertindak secara efektif, bukan oleh moralitas atau kebaikan.
Strategi Machiavellianisme dalam Pilkada
Meskipun Indonesia memang telah mencapai kemajuan dalam hal stabilitas politik dan partisipasi politik melalui Pilkada langsung, tetapi rupanya pragmatisme Machiavellian mengakar kuat dalam kehidupan demokrasi Indonesia, dan menjadi siklus kompleks yang terus berulang (Putra, 2023).
Dalam konteks Pilkada, elit politik sering menerapkan strategi Machiavellianisme untuk mengamankan kemenangan. Strategi dan taktik yang umum dilakukan adalah memanfaatkan elektabilitas dan popularitas.
Hal ini sering kali melibatkan pengadaan survei untuk mengukur opini publik dan menyesuaikan pesan kampanye sesuai dengan hasil survei tersebut. Meskipun kadang kalanya, survei "titipan" harus ditempuh sebagai jalan menaikan citra, popularitas dan elektabilas.
Survei ini memiliki dua tujuan: memberikan wawasan tentang preferensi pemilih dan memproyeksikan citra tak terkalahkan atau populer, yang dapat mempengaruhi pemilih yang masih ragu atau skeptis.
Penggunaan survei dengan cara ini sejalan dengan prinsip Machiavellian, di mana penggunaan manipulasi untuk mempengaruhi opini publik dengan menonjolkan citra budi baik.
Di era digital, media sosial menjadi alat yang sangat efektif dan kampanye digital menjadi sangat diperlukan untuk tujuan ini. Calon dan atau partai politik menggunakan platform seperti Facebook, Instagram, dan Twitter untuk menyebarkan pesan mereka, sering kali dengan memanfaatkan algoritma untuk memastikan pesan mereka sampai kepada audiens yang ditargetkan, terutama demografi muda.
Mereka juga tidak ragu menggunakan influencer atau tokoh masyarakat untuk mendukung kampanye mereka, baik secara terbuka maupun tersembunyi. Video, gambar, dan meme yang dirancang dengan cermat dapat dengan cepat menjadi viral, menciptakan kesan yang kuat dan sering kali sulit dibantah oleh pesaing lain.
Lanskap visual kota selama periode Pilkada didominasi oleh baliho, poster, dan pamflet. Kampanye visual ini dirancang dengan cermat untuk menyampaikan pesan harapan, kemajuan, dan kebijaksanaan. Para calon sering menggunakan gambar senyum dan kutipan dari tokoh terkemuka atau teks keagamaan untuk meyakinkan pemilih.
Pada tataran kelembagaan partai politik, juga aktif membangun koalisi dan aliansi lintas partai. Koalisi ini penting untuk mengamankan basis dukungan yang luas dan untuk mengumpulkan sumber daya.
Proses pembentukan koalisi sering kali merupakan negosiasi yang kompleks, yang sering lali koalisi partai-partai didasarkan pada kesepakatan pragmatis daripada kesamaan ideologi.
Partai-partai politik akan mendukung calon yang lebih mungkin menang, meskipun secara ideologis berbeda, karena keuntungan yang bisa mereka peroleh jika calon tersebut terpilih.
Jika kontestasi mengikutsertakn petahana, maka petahana memiliki keuntungan besar dalam Pilkada karena akses mereka terhadap sumber daya negara.
Dalam beberapa kasus, sumber daya ini digunakan untuk membangun citra positif dan meningkatkan popularitas. Misalnya, proyek-proyek infrastruktur yang diumumkan dan diresmikan menjelang Pilkada dapat meningkatkan dukungan publik.
Selain itu, penggunaan aparatur negara untuk mendukung kampanye secara tidak langsung, meskipun bertentangan dengan prinsip netralitas birokrasi, masih sering terjadi.
Strategi Machiavellianisme selalu kejam seperti "setan". Penggunaan taktik negatif dan black campaign adalah contoh nyata bagaimana politisi mencoba saling menjatuhkan.
Penyebaran hoaks, fitnah, dan informasi yang menyesatkan adalah senjata yang sering digunakan. Strategi ini sering kali dilakukan melalui akun-akun anonim atau media yang kurang dikenal, sehingga sulit untuk melacak sumbernya dan menahan pelaku utama bertanggung jawab.
Taktik kejam seperti "setan" ala Machiavellianisme juga mencakup penggunaan cara-cara yang kurang etis, seperti politik uang atau money politics. Praktik ini jamak terjadi dalam Pilkada, di mana suara dibeli dengan imbalan uang atau barang.
Penutup: Intelektual Organik sebagai Kontra Kandidat Machiavellianisme
Demikian beberapa trategi Machiavellianisme dalam praktik politik saat ini cukup relevan untuk dipelajari dan dipahami, khusunya oleh masyarakat umum. Sehingga dapat mencari celah untuk menangkal "setan" yang berpolitik dengan cara "anti politik" yang bergentayangan dalam kontestasi demokrasi elektoral.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa, dalam karya Machiavelli mengingatkan kita tentang moralitas semu dan pencitraan tidak boleh dijadikan sebagai indikator utama dalam memilih pemimpin, karena secara praktek politik moralitas hanya digunakan sebagai tameng kepentingan.
Perlu disadari bahwa, kandidat elit yang disodorkan oleh partai yang akan bertarung dalam Pilkada adalah dominan elit penguasa, selain memiliki koneksi kekerabatan dengan dinasti, juga sebagai bagian dari oligarki.
Dengan demikian, jika para elit ini menggunakan trategi Machiavellianisme untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, maka borok moralitas yang tampak semu tersebut perlu dibongkar dan ditelanjangi.
Oleh karena itu, rakyat sebagai subyek kedaulatan dan kekuasaan, perlu meradikalisasi dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga mencapai tingkat yang optimal dalam menghadapi struktur hegemoni elit.
Dalam tataran praktis, perlu membangun kesadaran kolektif dalam masyarakat, dengan fokus pada pembentukan blok politik dan sosial yang solid. Mendorong partisipasi publik yang aktif (cityzen active), membangun konsensus politik kerakyatan dengan menyodorkan kandidat alternatif sebagai kontra kandidat Machiavellianisme.
Meminjam konsep Antonio Gramsci tentang intelektual organik, maka kandidat alternatif pilihan rakyat adalah mereka yang tidak hanya memiliki keahlian intelektual, tetapi juga terhubung erat dengan rakyat kelas pekerja. Mereka muncul dengan memahami kepentingan serta aspirasi dari kelompok masyarakat.
Intelektual organik, selain berfungsi sebagai mediator demokratik, juga memiliki peran penting dalam membangun kesadaran dan hegemoni politik. Menggunakan pendekatan yang lebih partisipatif dan demokrasi inklusif, melibatkan dialog dan pendidikan politik untuk membangun kesadaran kolektif dan dukungan masyarakat yang kuat.
Karena tidak ada yang pasti di negara ini, selain dinasti dan oligarki yang terlihat semakin tak tahu diri. Maka rakyat harus membangun kekuatannya sendiri.
Referensi:
Febri Putra, G. (2015). Everything Is Permitted: Sebuah Ulasan Singkat Il Principe Karya Machiavelli. Jurnal POETIKA, 3(1), 75–78. https://doi.org/10.22146/poetika.10436
Machiavelli, N. (1987). Sang Penguasa: Surat seorang negarawan kepada pemimpin republik (C. Woekirsari, Trans.). Jakarta: PT. Gramedia.
Mukhtar. (2018). Penguasa Dan Kekuasaan Dalam Pandangan Komunikasi Politik Machiavelli. KOMUNIKOLOGI Jurnal Pengembangan Ilmu Komunikasi Dan Sosial, 2(1), 56–76.
Putra, A. M. (2023). Machiavelli: Praktik demokrasi dan kemanusiaan. Kompas.id. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/opini/2023/11/28/machiavelli-praktik-demokrasi-dan-kemanusiaan
Saptamaji, R. (2024). Strategi Machiavellian untuk Pilkada 2024. Kumparan. Diakses dari https://kumparan.com/rolip-saptamaji/strategi-machiavellian-untuk-pilkada-2024-232Udi02ujC
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H