Partai-partai politik akan mendukung calon yang lebih mungkin menang, meskipun secara ideologis berbeda, karena keuntungan yang bisa mereka peroleh jika calon tersebut terpilih.
Jika kontestasi mengikutsertakn petahana, maka petahana memiliki keuntungan besar dalam Pilkada karena akses mereka terhadap sumber daya negara.Â
Dalam beberapa kasus, sumber daya ini digunakan untuk membangun citra positif dan meningkatkan popularitas. Misalnya, proyek-proyek infrastruktur yang diumumkan dan diresmikan menjelang Pilkada dapat meningkatkan dukungan publik.Â
Selain itu, penggunaan aparatur negara untuk mendukung kampanye secara tidak langsung, meskipun bertentangan dengan prinsip netralitas birokrasi, masih sering terjadi.
Strategi Machiavellianisme selalu kejam seperti "setan". Penggunaan taktik negatif dan black campaign adalah contoh nyata bagaimana politisi mencoba saling menjatuhkan.Â
Penyebaran hoaks, fitnah, dan informasi yang menyesatkan adalah senjata yang sering digunakan. Strategi ini sering kali dilakukan melalui akun-akun anonim atau media yang kurang dikenal, sehingga sulit untuk melacak sumbernya dan menahan pelaku utama bertanggung jawab.
Taktik kejam seperti "setan" ala Machiavellianisme juga mencakup penggunaan cara-cara yang kurang etis, seperti politik uang atau money politics. Praktik ini jamak terjadi dalam Pilkada, di mana suara dibeli dengan imbalan uang atau barang.
Penutup: Intelektual Organik sebagai Kontra Kandidat Machiavellianisme
Demikian beberapa trategi Machiavellianisme dalam praktik politik saat ini cukup relevan untuk dipelajari dan dipahami, khusunya oleh masyarakat umum. Sehingga dapat mencari celah untuk menangkal "setan" yang berpolitik dengan cara "anti politik" yang bergentayangan dalam kontestasi demokrasi elektoral.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa, dalam karya Machiavelli mengingatkan kita tentang moralitas semu dan pencitraan tidak boleh dijadikan sebagai indikator utama dalam memilih pemimpin, karena secara praktek politik moralitas hanya digunakan sebagai tameng kepentingan.
Perlu disadari bahwa, kandidat elit yang disodorkan oleh partai yang akan bertarung dalam Pilkada adalah dominan elit penguasa, selain memiliki koneksi kekerabatan dengan dinasti, juga sebagai bagian dari oligarki.
Dengan demikian, jika para elit ini menggunakan trategi Machiavellianisme untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan, maka borok moralitas yang tampak semu tersebut perlu dibongkar dan ditelanjangi.