Nelayan di sejumlah daerah di Indonesia menghadapi ancaman perampasan ruang laut, seperti di Teluk Balikpapan, karena tidak diakuinya wilayah pemukiman merekadi dalam Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Kalimantan Timur Nomor 2 Tahun 2021 tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Kalimantan Timur Tahun 2021-2041.
Banyak nelayan kecil dan tradisional menghadapi kesulitan ekonomi yang serius. Penghasilan mereka sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, apalagi untuk berinvestasi dalam peralatan atau teknologi yang lebih baik.
Kurangnya Regulasi dan Perlindungan Hukum
Hingga saat ini, Pemerintah Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO 188 yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi kerja para nelayan. Selain itu, implementasi regulasi Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, untuk melindungi nelayan dan awak kapal masih kurang efektif.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia harus segera melihat kembali mandat Undang-Undang ini dan mewajibkan pemerintah untuk menyusun skema perlindungan dan pemberdayaan nelayan.
Dukungan Infrastruktur yang Kurang
Infrastruktur yang mendukung aktivitas nelayan masih sangat kurang. Nelayan membutuhkan akses yang lebih baik ke pasar, teknologi yang dapat meningkatkan produktivitas, dan fasilitas penyimpanan yang memadai.
Investasi dalam infrastruktur pendukung seperti pelabuhan, fasilitas penyimpanan, dan akses ke teknologi modern sangat diperlukan. Ini akan membantu nelayan meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil tangkapan mereka.
Keterbatasan ModalÂ
Nelayan membutuhkan modal untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk bekerja. Keterbatanan modal ini membuat nelayan sulit untuk memenuhi kebutuhan mereka.Masalah pemasaran hasil tangkapan juga menjadi tantangan besar. Nelayan sering kekurangan akses permodalan untuk biaya operasional melaut dan minim informasi mengenai harga pasar.Â