Waspada Cawe-Cawe "Predatory Parties" dalam Pilkada 2024
Sebanyak 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota akan memilih gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota, pada Pilkada Serentak 27 November 2024 mendatang.Â
Pilkada memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin daerah yang akan mengatur berbagai aspek kehidupan, yang kemudian diyakini akan berkontribusi bagi penguatan demokrasi Indonesia.
Salah satu kontribusi Pilkada terhadap penguatan demokrasi adalah meningkatkan akuntabilitas pemimpin daerah. Akuntabilitas pemimpin penting untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil sesuai dengan kepentingan publik dan tidak hanya menguntungkan segelintir kelompok.
Pilkada yang berlangsung secara jujur dan adil menciptakan rasa kepercayaan di antara warga negara terhadap sistem politik, memperkuat legitimasi pemerintah, dan mengurangi potensi konflik sosial. Proses ini memperkuat prinsip-prinsip demokrasi dengan memastikan adanya partisipasi publik dalam pengambilan keputusan politik.Â
Kendati demikian, di tengah semarak menyambut Pilkada, muncul kekhawatiran terjadinya fenomena "predatory parties" yang kian merajalela.Â
Fenomena predatory parties mengacu pada elit partai-partai politik yang membuka jalan bagi pemodal besar untuk menguasai kontestasi politik dengan imbalan dukungan finansial atau manfaat lainnya.
Salah satu ciri utama dari "predatory parties" adalah ketergantungan yang besar pada dana kampanye dari pemodal atau perusahaan besar. Tidak dapat dipungkiri, pampanye politik, terutama dalam skala besar seperti pilkada serentak, membutuhkan biaya yang sangat tinggi.Â
Biaya ini mencakup iklan, logistik, bahan kampanye, dan mobilisasi massa. Dalam kondisi ini, banyak partai politik dan calon kepala daerah yang tergoda untuk menerima dana dari pemodal besar.
Sebagai imbalannya, mereka memberikan akses khusus kepada para donatur ini untuk mempengaruhi kebijakan dan keputusan politik.
Pendanaan kampanye dari pemodal besar ini adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, dukungan finansial tersebut bisa membantu partai dan calon dalam memenangkan pemilihan.Â
Di sisi lain, mereka terikat pada kepentingan pemodal yang mungkin tidak sejalan dengan kepentingan publik. Hal ini bisa mengakibatkan kebijakan yang lebih menguntungkan pemodal daripada masyarakat luas, memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi.
Kebijakan Pro-Bisnis: Kesejahteraan atau Kerugian Publik?
Setelah terpilih, elit partai-partai ini cenderung memberlakukan kebijakan yang sangat menguntungkan bagi bisnis besar dan pemodal. Kebijakan pro-bisnis ini, alih-alih mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi, seringkali dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kepentingan publik atau lingkungan.Â
Pemodal besar seringkali diberi kesempatan untuk mempengaruhi peraturan daerah yang mengatur sektor-sektor strategis seperti energi, telekomunikasi, dan pertambangan. Kebijakan yang menguntungkan pemodal besar, maka pejabat publik akan menerima kickback sebagai  bentuk balas jasa.
Misalnya, izin untuk proyek infrastruktur besar atau eksploitasi sumber daya alam mungkin diberikan tanpa evaluasi dampak lingkungan yang memadai. Akibatnya, masyarakat setempat bisa mengalami kerugian yang signifikan, baik dari segi kesehatan, lingkungan, maupun mata pencaharian.
Kebijakan pro-bisnis ini juga dapat menyebabkan terpinggirkannya usaha kecil dan menengah, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi lokal. Dengan demikian, ketimpangan ekonomi semakin melebar, karena hanya segelintir orang yang mendapatkan manfaat dari kebijakan tersebut.
Regulasi yang berpihak pada pemodal besar ini dapat menciptakan privatisasi dan konsensi dalam menggadaikan aset-aset publik. Proses ini sering dilakukan melalui proses yang transparan dan seringkali dilakukan dengan cara kong-kalingkong.Â
Misalnya, privatisasi perusahaan daerah atau pemberian hak pengelolaan sumber daya alam bisa diberikan kepada pemodal besar dengan harga murah dan tanpa pertimbangan yang memadai terhadap dampaknya bagi masyarakat.
Privatisasi dan konsesi ini bisa mengakibatkan hilangnya akses publik terhadap layanan penting atau sumber daya yang seharusnya menjadi milik bersama.Â
Misalnya, privatisasi air minum bisa menyebabkan kenaikan tarif yang memberatkan masyarakat. Demikian juga, konsesi untuk penambangan atau pengelolaan hutan bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah dan mengancam mata pencaharian masyarakat lokal.
Ciri utama lainnya dari predatory parties adalah untuk melindungi kepentingan mereka dari pengawasan dan akuntabilitas, predatory parties seringkali berusaha melemahkan institusi-institusi demokratis. Misalnya APH (Aparat Penegak Hukum) seperti peradilan, kepolisian dan lembaga anti-korupsi, termasuk media massa dan masyarakat sipil (NGO/LSM).
Mereka mungkin mencoba mengendalikan atau mengintimidasi lembaga-lembaga ini untuk menghindari penyelidikan atau hukuman atas tindakan korupsi mereka. Selain itu, mereka mungkin berusaha mengendalikan media untuk mengendalikan narasi publik dan mencegah laporan kritis tentang tindakan mereka.
Penutup
Fenomena predatory parties tentunya merusak integritas pemerintahan dan mengurangi kepercayaan publik terhadap proses politik. Masyarakat menjadi skeptis terhadap niat baik pejabat publik dan merasa bahwa keputusan yang dibuat tidak berdasarkan kepentingan umum, tetapi lebih kepada keuntungan pribadi dan kelompok tertentu.
Karenannya, menghadapi fenomena predatory parties dalam Pilkada Serentak 2024, masyarakat Indonesia perlu waspada dan berpartisipasi aktif dalam pemilihan.Â
Pengawasan terhadap proses politik dan transparansi dalam pendanaan kampanye adalah langkah penting untuk mengurangi pengaruh pemodal besar. Selain itu, memperkuat institusi demokratis dan menegakkan hukum secara tegas terhadap praktik korupsi dan konflik kepentingan sangat diperlukan untuk melindungi demokrasi dan kesejahteraan publik.
Masyarakat juga harus kritis terhadap kebijakan yang diusulkan oleh calon kepala daerah dan memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-benar menguntungkan kepentingan publik.
Hanya dengan partisipasi aktif dan kesadaran kolektif, Indonesia bisa menghindari jeratan predatory parties dan memastikan bahwa proses demokrasi berjalan dengan adil dan transparan, untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H