Di sisi lain, mereka terikat pada kepentingan pemodal yang mungkin tidak sejalan dengan kepentingan publik. Hal ini bisa mengakibatkan kebijakan yang lebih menguntungkan pemodal daripada masyarakat luas, memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi.
Kebijakan Pro-Bisnis: Kesejahteraan atau Kerugian Publik?
Setelah terpilih, elit partai-partai ini cenderung memberlakukan kebijakan yang sangat menguntungkan bagi bisnis besar dan pemodal. Kebijakan pro-bisnis ini, alih-alih mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi, seringkali dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kepentingan publik atau lingkungan.Â
Pemodal besar seringkali diberi kesempatan untuk mempengaruhi peraturan daerah yang mengatur sektor-sektor strategis seperti energi, telekomunikasi, dan pertambangan. Kebijakan yang menguntungkan pemodal besar, maka pejabat publik akan menerima kickback sebagai  bentuk balas jasa.
Misalnya, izin untuk proyek infrastruktur besar atau eksploitasi sumber daya alam mungkin diberikan tanpa evaluasi dampak lingkungan yang memadai. Akibatnya, masyarakat setempat bisa mengalami kerugian yang signifikan, baik dari segi kesehatan, lingkungan, maupun mata pencaharian.
Kebijakan pro-bisnis ini juga dapat menyebabkan terpinggirkannya usaha kecil dan menengah, yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi lokal. Dengan demikian, ketimpangan ekonomi semakin melebar, karena hanya segelintir orang yang mendapatkan manfaat dari kebijakan tersebut.
Regulasi yang berpihak pada pemodal besar ini dapat menciptakan privatisasi dan konsensi dalam menggadaikan aset-aset publik. Proses ini sering dilakukan melalui proses yang transparan dan seringkali dilakukan dengan cara kong-kalingkong.Â
Misalnya, privatisasi perusahaan daerah atau pemberian hak pengelolaan sumber daya alam bisa diberikan kepada pemodal besar dengan harga murah dan tanpa pertimbangan yang memadai terhadap dampaknya bagi masyarakat.
Privatisasi dan konsesi ini bisa mengakibatkan hilangnya akses publik terhadap layanan penting atau sumber daya yang seharusnya menjadi milik bersama.Â
Misalnya, privatisasi air minum bisa menyebabkan kenaikan tarif yang memberatkan masyarakat. Demikian juga, konsesi untuk penambangan atau pengelolaan hutan bisa mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah dan mengancam mata pencaharian masyarakat lokal.
Ciri utama lainnya dari predatory parties adalah untuk melindungi kepentingan mereka dari pengawasan dan akuntabilitas, predatory parties seringkali berusaha melemahkan institusi-institusi demokratis. Misalnya APH (Aparat Penegak Hukum) seperti peradilan, kepolisian dan lembaga anti-korupsi, termasuk media massa dan masyarakat sipil (NGO/LSM).
Mereka mungkin mencoba mengendalikan atau mengintimidasi lembaga-lembaga ini untuk menghindari penyelidikan atau hukuman atas tindakan korupsi mereka. Selain itu, mereka mungkin berusaha mengendalikan media untuk mengendalikan narasi publik dan mencegah laporan kritis tentang tindakan mereka.