Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

UU Desa dan Tantangan dalam Pembangunan Desa

6 Mei 2024   02:23 Diperbarui: 6 Mei 2024   14:16 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UU Desa dan Tantangan dalam Pembangunan Desa

Pemerintah resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 

Revisi UU Desa memuat sejumlah sejumlah perubahan diantaranya, masa jabatan Kepala Desa dan BPD diperpanjang menjadi 8 tahun, dengan kemungkinan bagi mereka yang telah menjabat 2 periode untuk mencalonkan diri lagi. 

Pelantikan Kepala Desa yang belum dilakukan akan disesuaikan dengan revisi. Dana desa langsung masuk ke rekening desa, dan hak penghasilan serta tunjangan lainnya diberikan kepada Kepala Desa, BPD, dan perangkat desa. 

Syarat calon kepala desa ditingkatkan, sementara kewenangan pembangunan desa diperluas untuk mencakup kebutuhan primer. Dana desa juga mengalami peningkatan, sementara kewenangan pengelolaannya diperluas (https://nasional.kompas.com, 28 Maret 2024).

Banyak pihak yang memberi apresiasi, karena dengan revisi ini diharapkan dapat mempercepat dan memperkuat pembangunan desa melalui perpanjangan masa jabatan kepala desa, peningkatan dana desa, serta pengalokasian dana desa secara langsung ke rekening desa.

Namun ada juga yang sangsi atas revisi UU Desa ini, lantaran karena data dan fakta menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan dan kemiskinan di desa masih tinggi. Penurunan ini terbilang lambat, bahkan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Kemiskinan dan Kesenjangan di Pedesaan

Beberapa pihak yang melihat bahwa, meskipun revisi Undang-Undang Desa telah disahkan, tingkat ketimpangan di desa masih tinggi. 

Menurut data BPS tahun 2024, ketimpangan di desa pada tahun 2014 adalah 0,34 dan turun sedikit menjadi 0,313 pada tahun 2023. Artinya, penurunan ketimpangan di desa berlangsung sangat lambat, hanya berkurang sebesar 0,027 dalam 10 tahun (Kompas.id, 04 April 2024).

Hal yang sama terjadi pada indikator kemiskinan di desa. Angka kemiskinan turun dari 13,76 persen pada tahun 2014 menjadi 12,36 persen pada tahun 2023, atau hanya mengalami penurunan sebesar 1,4 persen dalam kurun 10 tahun terakhir. Data kemiskinan dan kesenjangan ini menunjukkan bahwa pembangunan desa melalui dana desa belum mencapai sasaran yang diharapkan (Kompas.id, 04 April 2024).

Pembangunan di desa belum merata, dan keuntungan dari pembangunan desa lebih cenderung dinikmati oleh sebagian kecil orang, sehingga tidak memberikan dampak signifikan pada penguatan ekonomi desa. Selain itu, tidak adanya prioritas yang jelas dalam pembangunan desa juga menjadi masalah karena masalah data yang tidak akurat.

Tingkat ketimpangan yang tinggi dan kemiskinan yang meluas di pedesaan, seperti yang dilaporkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa klaim "perubahan UU Desa dapat mewujudkan desa yang lebih maju, madiri dan sejahtera untuk memberikan kotribusi guna terwujudnya cita-cita Indonesia Emas 2045" sungguh amat diragukan.

Sumber Gambar: https://nttzoom.com/
Sumber Gambar: https://nttzoom.com/

Menurut penulis, revisi ini tampaknya masih meninggalkan celah yang mengabaikan realitas ketimpangan struktural yang mengakar di pedesaan.

Ketimpangan Struktural dan Relasi Kuasa

Di balik citra "gotong royong" dan kehidupan yang harmonis di pedesaan, tersembunyi realitas ketimpangan struktural. Praktik pengambil-alihan tenaga oleh majikan terhadap pekerja, ketimpangan relasi kuasa antara pekerja miskin dan pejabat pemerintahan desa, serta korupsi yang merajalela dalam pengelolaan Dana Desa (DD) adalah sebagian dari permasalahan yang masih menghantui pedesaan Indonesia (Habibi, 2023).

Fakta menunjukkan bahwa pengambil-alihan tenaga oleh majikan terhadap pekerja masih dominan di pedesaan (Habibi, 2023). Pandangan romantisme tentang 'gotong royong' yang sering diiklankan oleh pemerintah, akademisi, dan sebagian LSM, tidak selalu mencerminkan keadaan sesungguhnya. 

Yang terjadi di desa seperti akses terhadap pekerjaan yang layak dan upah yang adil masih sering terjadi. Hubungan yang tidak setara antara pekerja miskin di pedesaan dengan pejabat pemerintahan desa, yang seringkali juga merupakan tuan tanah, menciptakan ketergantungan dan lingkaran kemiskinan bagi pekerja, sementara para pejabat desa menikmati kekuasaan dan sumber daya yang tidak merata.

Selain itu, korupsi menjadi permasalahan serius yang seolah diabaikan dalam revisi UU Desa kali ini. Dalam beberapa tahun terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, telah terjadi 851 kasus korupsi dana desa (DD) dengan 973 orang pelaku. Separo atau 50 persen di antara pelaku itu adalah kepala desa (www.dpd.go.id, 2023).

Penyelesaian masalah korupsi di desa, seringkali diletakkan sebagai permasalah teknis semata. Teknikalisasi masalah korupsi sebagai upaya menyederhanakan isu kompleks korupsi menjadi satu dimensi teknis semata, dan sengaja mengabaikan persoalan-peroalan struktural dan politis, menggantikannya dengan hal-hal yang bersifat personal, moralis, dan teknis.

Dengan lain perkataan bahwa, teknikalisasi permasalahan korupsi di desa cenderung mengabaikan fakta bahwa struktur kelembagaan desa, selalu dipengaruhi oleh relasi sosial, khususnya relasi kekuasaan. 

Pengabaian terhadap fakta relasi sosial-kekuasaan di desa, kemudian direspon dengan solusi-solusi teknis, seperti penguatan kapasitas kelembagaan desa, penguatan manajemen dan tatakeloa implementasi dana desa, pendidikan moral dan etika pejabat desa.

Tentunya sulit bagi pekerja miskin di pedesaan untuk mengontrol penyelewengan Dana Desa (DD) karena ketidaksetaraan relasi kuasa dan ketergantungan yang mereka hadapi. 

Pekerja miskin pedesaan sering terjebak dalam hubungan patron-klien dengan pejabat desa yang juga tuan tanah. Mereka sangat bergantung pada pekerjaan yang diberikan oleh pejabat ini, sehingga sulit untuk menentang atau mengkritik penyelewengan pembangunan desa.

Relasi kuasa yang tidak seimbang ini menciptakan situasi di mana pekerja miskin pedesaan tidak memiliki posisi tawar yang cukup untuk mengawasi pembangunan desa dan pengelolaan dana desa oleh pejabat desa. Mereka rentan terhadap eksploitasi jika berani mengkritik (Habibi, 2023).

Kesimpulan

Dengan demikian, revisi UU Desa kali ini tampaknya masih belum menyentuh akar permasalahan ketimpangan struktural yang mengakar di pedesaan. 

Perpanjangan masa jabatan kepala desa dan peningkatan dana desa bisa jadi hanya akan memperkuat posisi tawar para pejabat desa dalam relasi kuasa yang sudah tidak setara. 

Desa bukan hanya sekadar entitas administratif, tetapi juga arena relasi kuasa sosial-politik yang kompleks. Tanpa adanya upaya untuk memperbaiki struktur relasi kuasa di pedesaan agar pekerja miskin memiliki posisi tawar yang lebih kuat, refromasi agraria, serta mekanisme pengawasan yang kuat, peluang untuk memperkuat praktik korupsi dan eksploitasi justru semakin terbuka.

Pembangunan desa yang berkelanjutan dan inklusif hanya dapat dicapai jika revisi UU Desa mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat pedesaan secara holistik, termasuk keadilan ekonomi, akses terhadap sumber daya, dan perlindungan terhadap praktik eksploitasi dan mengatasi akar permasalahan ketimpangan di pedesaan. 

Jika tidak, UU Desa perubahan hanya akan menjadi tambal sulam kebijakan yang timpang dan mengabaikan realitas kehidupan masyarakat pedesaan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun