Pekerja miskin pedesaan sering terjebak dalam hubungan patron-klien dengan pejabat desa yang juga tuan tanah. Mereka sangat bergantung pada pekerjaan yang diberikan oleh pejabat ini, sehingga sulit untuk menentang atau mengkritik penyelewengan pembangunan desa.
Relasi kuasa yang tidak seimbang ini menciptakan situasi di mana pekerja miskin pedesaan tidak memiliki posisi tawar yang cukup untuk mengawasi pembangunan desa dan pengelolaan dana desa oleh pejabat desa. Mereka rentan terhadap eksploitasi jika berani mengkritik (Habibi, 2023).
Kesimpulan
Dengan demikian, revisi UU Desa kali ini tampaknya masih belum menyentuh akar permasalahan ketimpangan struktural yang mengakar di pedesaan.Â
Perpanjangan masa jabatan kepala desa dan peningkatan dana desa bisa jadi hanya akan memperkuat posisi tawar para pejabat desa dalam relasi kuasa yang sudah tidak setara.Â
Desa bukan hanya sekadar entitas administratif, tetapi juga arena relasi kuasa sosial-politik yang kompleks. Tanpa adanya upaya untuk memperbaiki struktur relasi kuasa di pedesaan agar pekerja miskin memiliki posisi tawar yang lebih kuat, refromasi agraria, serta mekanisme pengawasan yang kuat, peluang untuk memperkuat praktik korupsi dan eksploitasi justru semakin terbuka.
Pembangunan desa yang berkelanjutan dan inklusif hanya dapat dicapai jika revisi UU Desa mampu mengakomodasi kebutuhan masyarakat pedesaan secara holistik, termasuk keadilan ekonomi, akses terhadap sumber daya, dan perlindungan terhadap praktik eksploitasi dan mengatasi akar permasalahan ketimpangan di pedesaan.Â
Jika tidak, UU Desa perubahan hanya akan menjadi tambal sulam kebijakan yang timpang dan mengabaikan realitas kehidupan masyarakat pedesaan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H