Active Citizens,  Pilar Utama Penangkal Praktik Politik Transaksional dan Politisasi Identitas Menjelang Pilkada 2024
Menarik ketika membaca tulisan artikel bung Agus Sutisna pada laman kompasiana tanggal 04 Mei 2024 tentang Membaca Kembali Plus-Minus Pilkada Serentak, dikatakan bahwa dalam momentum Pemilihan Umum 2024, masyarakat cenderung fokus pada Pilpres dan cenderung mengabaikan Pilegnya.Â
Rendahnya perhatian masyarakat, juga bisa terulang dalam konteks rangkaian proses Pilkada 27 November 2024 medatang. Dalam situasi minus kontrol publik, di mana keterlibatan dan pengawasan publik terhadap proses politik minim, potensi kecurangan dan kejahatan elektoral dapat terjadi secara terbuka dan leluasa (kompasiana.com, 04 Mei 2024).
Setiap fase Pilkada, dari tahapan pencalonan hingga penetapan hasil, akan rentan terhadap manipulasi dan pelanggaran hukum yang dapat mengancam integritas demokrasi.
Potensi kecurangan dan kejahatan elektoral dalam setiap fase Pilkada serentak dapat terwujud dalam beragam bentuk, misalnya manipulasi pencalonan, kampanye hitam dan propaganda, pembelian suara (money politic), politisasi identitas, intimidasi terhadap pemilih dan saksi, manipulasi penghitungan suara, serta pengaruh politik dalam penetapan hasil.
Kilas balik pada data pemetaan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI tahun 2023 tentang Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Umum 2024 bahwa, menunjukkan bahwa terdapat potensi kerawanan di 34 provinsi dan 514 kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.Â
Beberapa provinsi dikategorikan sebagai rawan tinggi, sedang, dan rendah. Provinsi-provinsi dengan tingkat kerawanan tinggi meliputi Jakarta dengan skor 88,95, Sulawesi Utara (87,48), Maluku Utara (84,86), Jawa Barat (77,04), dan Kalimantan Timur (77,04).Â
Sementara itu, terdapat 21 provinsi dalam kategori rawan sedang, seperti Banten (66,53), Lampung (64,61), Riau (62,59), Papua (57,27), dan Nusa Tenggara Timur (56,75). Delapan provinsi lainnya masuk dalam kategori rendah, termasuk Kalimantan Utara (20,36), Kalimantan Tengah (18,77), Jawa Timur (14,74), Kalimantan Barat (12,69), dan Jambi (12,03) (https://indonesiabaik.id, 18, Januari 2023).
Bahkan Bawaslu RI kemudian mewanti-wanti, bahwa potensi kecurangan dan kejahatan elektoral Pilkada 2024 akan lebih tinggi dibandingkan Pilpres 2024 lalu (https://www.antaranews.com, 15 Maret 2024).
Politik Transaksional dan Politisasi Identitas
Dua potensi kecurangan dan kejahatan elektoral dalam Pilkada 2024 medatang yang perlu disoroti adalah Politik Transaksional dan Politisasi Identitas.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa, fenomena praktik politik transaksional dan politisasi identitas telah mengakar dan mewarnai proses demokrasi di Indonesia untuk waktu yang cukup lama, sehingga kemudian begitu melekat dalam dinamika perpolitikan di level lokal.
Politik transaksional, atau yang lebih dikenal sebagai "politik uang", menjadi momok yang kerap menghantui penyelenggaraan Pilkada di berbagai daerah.
Praktik jual-beli suara dengan memberikan imbalan material kepada pemilih seolah menjadi tradisi yang sulit dihindari. Para calon kepala daerah kerap kali menghalalkan segala cara, termasuk menggunakan uang untuk memenangkan kontestasi politik.
Di sisi lain, politisasi identitas juga turut mewarnai panggung Pilkada di tanah air. Isu-isu sensitif seputar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) kerap dikapitalisasi oleh para calon untuk memperoleh dukungan massa.Â
Akibatnya, perpecahan dan disharmoni sosial kerap kali muncul ke permukaan, memupuk polarisasi politik kepentingan di tengah masyarakat. Kedua praktik ini tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat dan berkualitas.Â
Namun demikian, selain sepenuhnya kita menyalahkan para elit  yang terlibat dalam praktik-praktik tersebut, tetapi perlu mengoreksi cara kita (masyarakat) dalam berpolitik, yang selama ini turut menyuburkan praktik-praktik tersebut.
Dalam konteks ini, menurut penulis, tulisan bung Agus Sutisna diatas, mengingatkan kita soal pentingya perhatian masyarakat (publik) untuk fokus pada setiap rangkaian pelaksanaan Pilkada. Tingginya kontrol publik akan menangkal potensi kecurangan dan kejahatan elektoral yang akan terjadi.
Active Citizens
Tingginya kontrol publik (masyarakat) dalam menangkal potensi kecurangan dan kejahatan elektoral bisa terjadi jika warga selalu aktif (cityzen active), sebagaimana rumusan paradigma Democratic Citizenship tentang partisipasi warga merupakan jantung dalam setiap proses demokrasi.
Cityzen active adalah kunci untuk memperkuat kontrol warga terhadap kekuasaan politik agar lebih professional, akuntabel, dan mempersempit celah-celah patologis.
Secanggih apapun regulasi, pengawasan yang dilengkapi dengan juklak-juknis dan aplikasi, tidak serta merta membuat membuat demokrasi bekerja maksimal, profesional dan akuntabel, jika warganya latah, pasif dan apatis.
Sikap latah, pasif dan apatis, membuat warga menjadi hamba dan buta politik. Apapun yang dilakukan oleh elit politik, mereka terima dengan loyal dan diam.Â
Jika ada warga yang melek politik, mereka diam dan mendiamkan jika terjadi penyimpangan dan tidak mau menantang melakukan pengaduan atau advokasi terhadap penyimpangan dan kejahatan politik.
Dengan demikian, menjelang momentum kontestasi Pilkada serentak 2024 mendatang, potensi praktik politik transaksional dan politisasi identitas yang diperkirakan bakal cukup tinggi dibandingkan dengan Pilpres 2024, hanya dapat dicegah jika warga selalu aktif (cityzen active).Â
Aktivisme wagra dapat dilakukan dengan beberapa cara:
Pertama, masyarakat perlu menumbuhkan kesadaran kritis dan literasi politik dalam konteks Pilkada. Pemahaman yang mendalam tentang proses demokrasi yang sehat dan bermutu harus ditanamkan sejak dini, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Masyarakat perlu diedukasi agar tidak mudah terpengaruh oleh praktik-praktik politik transaksional dan politisasi identitas.
Kedua, masyarakat harus berani menolak dan melawan segala bentuk praktik politik transaksional dan politisasi identitas dalam Pilkada. Sikap tegas dan konsisten dalam menentang hal tersebut harus ditunjukkan, baik secara individu maupun kolektif. Partisipasi aktif dalam mengawasi jalannya proses Pilkada, melaporkan pelanggaran, dan menuntut pertanggungjawaban dari para pelaku menjadi kunci penting.
Ketiga, masyarakat perlu memperkuat basis civil society dan gerakan masyarakat sipil yang menjadi pilar penting dalam menjaga checks and balances dalam proses demokrasi di daerah. Organisasi-organisasi masyarakat sipil dapat berperan sebagai pengawas, kritikus, dan aktor perubahan dalam memperjuangkan praktik politik yang bersih dan bermartabat selama penyelenggaraan Pilkada.
Keempat, masyarakat harus menggunakan hak pilihnya dengan bijak dan bertanggung jawab dalam Pilkada. Pemilih harus mengedepankan pertimbangan rasional dan objektif dalam memilih calon kepala daerah, bukan semata-mata tertarik pada iming-iming materi atau terbuai oleh sentimen identitas. Masyarakat perlu memilih pemimpin yang memiliki integritas, kapabilitas, dan visi yang jelas untuk membangun daerah.
Kelima, masyarakat perlu mendorong reformasi sistem Pilkada yang lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas. Hal ini meliputi penguatan regulasi terkait pembiayaan kampanye, pengawasan yang ketat terhadap praktik politik uang, serta pemberlakuan sanksi yang tegas bagi para pelanggar. Reformasi sistem ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan Pilkada yang lebih sehat dan bermartabat.
Keenam, masyarakat perlu mengembangkan budaya politik yang sehat dan beradab dalam konteks Pilkada. Hal ini meliputi penghargaan terhadap perbedaan pendapat, sikap toleransi, dan penghindaran dari segala bentuk kampanye negatif dan fitnah yang dapat memicu konflik dan polarisasi. Budaya politik yang sehat akan mencegak terjadinya politik transaksional dan politisasi identitas
Pada akhirnya, perubahan mendasar dalam praktik politik dalam Pilkada di Indonesia hanya dapat terwujud jika masyarakat turut berperan aktif dalam melakukan pengawasan, kotrol, koreksi dan perbaikan. Kita tidak dapat sepenuhnya bergantung pada para elit politik, tetapi harus mengambil peran dan tanggung jawab untuk memperbaiki cara kita berpolitik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H