Tidak dapat kita pungkiri bahwa, fenomena praktik politik transaksional dan politisasi identitas telah mengakar dan mewarnai proses demokrasi di Indonesia untuk waktu yang cukup lama, sehingga kemudian begitu melekat dalam dinamika perpolitikan di level lokal.
Politik transaksional, atau yang lebih dikenal sebagai "politik uang", menjadi momok yang kerap menghantui penyelenggaraan Pilkada di berbagai daerah.
Praktik jual-beli suara dengan memberikan imbalan material kepada pemilih seolah menjadi tradisi yang sulit dihindari. Para calon kepala daerah kerap kali menghalalkan segala cara, termasuk menggunakan uang untuk memenangkan kontestasi politik.
Di sisi lain, politisasi identitas juga turut mewarnai panggung Pilkada di tanah air. Isu-isu sensitif seputar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) kerap dikapitalisasi oleh para calon untuk memperoleh dukungan massa.Â
Akibatnya, perpecahan dan disharmoni sosial kerap kali muncul ke permukaan, memupuk polarisasi politik kepentingan di tengah masyarakat. Kedua praktik ini tentu saja bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang sehat dan berkualitas.Â
Namun demikian, selain sepenuhnya kita menyalahkan para elit  yang terlibat dalam praktik-praktik tersebut, tetapi perlu mengoreksi cara kita (masyarakat) dalam berpolitik, yang selama ini turut menyuburkan praktik-praktik tersebut.
Dalam konteks ini, menurut penulis, tulisan bung Agus Sutisna diatas, mengingatkan kita soal pentingya perhatian masyarakat (publik) untuk fokus pada setiap rangkaian pelaksanaan Pilkada. Tingginya kontrol publik akan menangkal potensi kecurangan dan kejahatan elektoral yang akan terjadi.
Active Citizens
Tingginya kontrol publik (masyarakat) dalam menangkal potensi kecurangan dan kejahatan elektoral bisa terjadi jika warga selalu aktif (cityzen active), sebagaimana rumusan paradigma Democratic Citizenship tentang partisipasi warga merupakan jantung dalam setiap proses demokrasi.
Cityzen active adalah kunci untuk memperkuat kontrol warga terhadap kekuasaan politik agar lebih professional, akuntabel, dan mempersempit celah-celah patologis.
Secanggih apapun regulasi, pengawasan yang dilengkapi dengan juklak-juknis dan aplikasi, tidak serta merta membuat membuat demokrasi bekerja maksimal, profesional dan akuntabel, jika warganya latah, pasif dan apatis.