Sikap latah, pasif dan apatis, membuat warga menjadi hamba dan buta politik. Apapun yang dilakukan oleh elit politik, mereka terima dengan loyal dan diam.Â
Jika ada warga yang melek politik, mereka diam dan mendiamkan jika terjadi penyimpangan dan tidak mau menantang melakukan pengaduan atau advokasi terhadap penyimpangan dan kejahatan politik.
Dengan demikian, menjelang momentum kontestasi Pilkada serentak 2024 mendatang, potensi praktik politik transaksional dan politisasi identitas yang diperkirakan bakal cukup tinggi dibandingkan dengan Pilpres 2024, hanya dapat dicegah jika warga selalu aktif (cityzen active).Â
Aktivisme wagra dapat dilakukan dengan beberapa cara:
Pertama, masyarakat perlu menumbuhkan kesadaran kritis dan literasi politik dalam konteks Pilkada. Pemahaman yang mendalam tentang proses demokrasi yang sehat dan bermutu harus ditanamkan sejak dini, baik melalui pendidikan formal maupun informal. Masyarakat perlu diedukasi agar tidak mudah terpengaruh oleh praktik-praktik politik transaksional dan politisasi identitas.
Kedua, masyarakat harus berani menolak dan melawan segala bentuk praktik politik transaksional dan politisasi identitas dalam Pilkada. Sikap tegas dan konsisten dalam menentang hal tersebut harus ditunjukkan, baik secara individu maupun kolektif. Partisipasi aktif dalam mengawasi jalannya proses Pilkada, melaporkan pelanggaran, dan menuntut pertanggungjawaban dari para pelaku menjadi kunci penting.
Ketiga, masyarakat perlu memperkuat basis civil society dan gerakan masyarakat sipil yang menjadi pilar penting dalam menjaga checks and balances dalam proses demokrasi di daerah. Organisasi-organisasi masyarakat sipil dapat berperan sebagai pengawas, kritikus, dan aktor perubahan dalam memperjuangkan praktik politik yang bersih dan bermartabat selama penyelenggaraan Pilkada.
Keempat, masyarakat harus menggunakan hak pilihnya dengan bijak dan bertanggung jawab dalam Pilkada. Pemilih harus mengedepankan pertimbangan rasional dan objektif dalam memilih calon kepala daerah, bukan semata-mata tertarik pada iming-iming materi atau terbuai oleh sentimen identitas. Masyarakat perlu memilih pemimpin yang memiliki integritas, kapabilitas, dan visi yang jelas untuk membangun daerah.
Kelima, masyarakat perlu mendorong reformasi sistem Pilkada yang lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas. Hal ini meliputi penguatan regulasi terkait pembiayaan kampanye, pengawasan yang ketat terhadap praktik politik uang, serta pemberlakuan sanksi yang tegas bagi para pelanggar. Reformasi sistem ini diharapkan dapat menciptakan lingkungan Pilkada yang lebih sehat dan bermartabat.
Keenam, masyarakat perlu mengembangkan budaya politik yang sehat dan beradab dalam konteks Pilkada. Hal ini meliputi penghargaan terhadap perbedaan pendapat, sikap toleransi, dan penghindaran dari segala bentuk kampanye negatif dan fitnah yang dapat memicu konflik dan polarisasi. Budaya politik yang sehat akan mencegak terjadinya politik transaksional dan politisasi identitas