Mohon tunggu...
Hen Ajo Leda
Hen Ajo Leda Mohon Tunggu... Buruh - pengajar dan pegiat literasi, sekaligus seorang buruh tani separuh hati

menulis dan bercerita tentang segala hal, yang ringan-ringan saja

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Mengatasi "Post-Election Syndrome", Manajemen Psikologi Pasca-pemilu

18 Februari 2024   11:45 Diperbarui: 19 Februari 2024   19:15 820
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Mengatasi "Post Election Syndrome". (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com)

Pasca pemilu 14 Februari 2024, Kementrian Kesehatan Ri (Kemenkes) telah menyiapkan  pertolongan luka psikologis buat galeg gagal pemilu, berupa jasa konsultasi dan terapi psikologi. 

Sementara di beberapa daerah, semisalnya di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Dadi Makassar telah menyiapkan sebanyak hampir 100 kamar untuk menampung calon anggota legislatif yang gagal dalam kontestasi (kompas.com, 2024).

Langkah Kemenkes dan Rumah Sakit merupakan bentuk dari Preventive Maintenance (PM) untuk perawatan mental atau psikologi manusia, yang dalam ilmu psikologi disebut sebagai "Preventive Mental Health Care" atau perawatan kesehatan mental preventif. 

Konsep ini menekankan pentingnya pemulihan kesehatan mental untuk mencegah masalah mental yang mungkin muncul di masa depan.

Dalam konteks pasca pemilu 2024 yang sengit dan penuh emosi serta menguras energi dan biaya, peserta pemilu (caleg) khususnya yang gagal meraup dukungan pemilih, sering kali mengalami masalah mental dan psikologis. 

Indikasi masalah mental dan psikologi caleg gagal berupa depresi, stres ringan, sters berat hingga ganguan jiwa, jatuh sakit mendadak, marah/emosional, bersikap nyeleneh/irasional, atau tindakan melanggar hukum.

Dalam kajian psikologi politik, sejumlah indikasi masalah mental-psikologis para caleg gagal ini diistilahkan sebagai Post-Election Syndrom (PES) atau sindrom pasca pemilu. 

Istilah ini mengacu pada pola perilaku dan sikap (mental-psikologis) yang muncul setelah pemilu, di mana beberapa individu atau kelompok cenderung mengadopsi sikap reaktif dan terkadang radikal terhadap hasil pemilu. 

Pada intinya bahwa Post-Election Syndrom (PES) menggambarkan kondisi psikologis para caleg atau kandidat yang mengalami gangguan jiwa dan pikiran akibat tekanan politik akibat kekalahan yang dialaminya.

Kategori Post-Election Syndrom (PES) atau sindrom pasca pemilu ditunjukan dalam beragam bentuk, di antaranya: 

  • Post-Election Stress (PES); 
  • Post-Election Depression (PED); 
  • Post-Election Stress Syndrome (PESS); 
  • Post-Election Loss Syndrome (PELS); 
  • Post-Election Depression Syndrome (PEDS); 
  • Post Election Traumatic Syndrome (PETS); 
  • Post-Election Selection Trauma (PEST); 
  • Post-Election Stress Disorder (PESD); 
  • Post-Election Stress Syndrome (PESS); 
  • Post Election Selection Syndrome (PESS);
  • Post-Election Withdrawl Syndrome (PEWS); 
  • Post-Election Stress and Trauma Syndrom (PESTS); 
  • Post-Election Traumatic Stress Disorder (PETSD) (Sumber: kompas.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun