Perjuangan yang dilakukan oleh Nyoman dan Wayan dalam naskah tersebut memiliki tujuan untuk menegaskan kepada Gusti Biang bahwa superioritas sosial atau kasta tidak dapat dijadikan dasar untuk menindas individu dengan kasta yang dianggap lebih rendah. Nyoman, dengan keberaniannya, merusak norma sosial yang dianggap sakral oleh Gusti Biang, menegaskan bahwa penghormatan sekarang bukan semata-mata karena garis keturunan atau kasta, tetapi lebih karena kecerdasan dan moralitas seseorang. Dengan kata lain, perlawanan ini menyampaikan pesan bahwa penghargaan seharusnya bukan hanya ditentukan oleh kedudukan sosial atau kasta, melainkan juga oleh keahlian dan kebaikan hati setiap orang.
Setelah perlawanan yang dilakukan oleh Wayan dan Nyoman, menjadi jelas bahwa kasta ksatria saat ini tidak lagi menjadi standar utama untuk penghormatan. Kriteria ini tidak lagi relevan dan dianggap tidak signifikan, karena penghargaan kini lebih ditentukan oleh kebaikan hati dan tingkat pendidikan seseorang. Secara khusus, dalam konteks perkawinan, norma yang membatasi kasta ksatria untuk menikah hanya dengan sekelas atau setingkatnya telah terbukti ketinggalan zaman. Hal ini menunjukkan bahwa kriteria-kriteria kasta tersebut tidak lagi memegang peranan penting, dan cinta serta karakter yang baik lebih diutamakan daripada pembatasan kasta yang kaku.
Bagian akhir naskah drama menampilkan kejutan menarik, di mana Gusti Biang ternyata juga menjadi korban dampak sistem kasta. Diceritakan bahwa dalam masa lalunya, Gusti Biang mengalami cinta terlarang atau cinta lintas kasta dengan Wayan, pelayannya. Namun, karena tekanan budaya, Gusti Biang akhirnya harus melepaskan cintanya dan mengikuti norma dengan menikah dengan seorang bangsawan bernama I Gusti Ngurah Ketut Mantri. Hal ini terlihat dari kutipan dialog berikut:
Wayan: "Diam! Diam! Sudah waktunya menerangkan semua ini sekarang. Dia sudah cukup tua untuk tahu. Ngurah, Ngurah mungkin mengira ayah Ngurah yang sejati, sebab dia suami sah ibu. Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia seorang penjilat, musuh gerilya. Dia bukan lelaki jantan, dia seorang wandu. Dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugas sebagai seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi semua itu menjadi rahasia ... sampai … Kau lahir, Ngurah, dan menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada ibu Ngurah, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati."
Wayan: "Dia pura-pura saja tidak tahu siapa laki-laki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling mencintai sejak kecil, sampai tua bangka ini. Hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolakku, lalu dia kawin dengan bangsawan, penghianat itu, semata-mata hanya soal kasta. Meninggalkan tiyang yang tetap mengharapkannya. Tiyang bisa ditinggalkannya, sedangkan cinta itu semakin mendalam."
Wayan: "Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya. Seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu menganggap tiyang gila, pikun, tuli, hidup. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tak bisa dibeli lagi.
Fakta ini mencerminkan ironi dan kekejaman yang terkandung dalam sistem kasta, mempengaruhi seluruh lapisan masyarakat. Meskipun dampak penderitaan lebih sering terlihat di kalangan kelas bawah, kenyataannya adalah bahwa kelas atas pun tidak luput dari kerugian. Sistem kasta, dengan segala pembatasan dan norma yang ditetapkan, menciptakan tekanan dan keterbatasan bahkan di kalangan bangsawan. Dalam hal ini, sistem kasta tidak hanya merugikan kelompok tertentu, tetapi menyiratkan bahwa penderitaan dan dampak negatifnya dapat melibatkan seluruh masyarakat, termasuk mereka yang berada di puncak struktur sosial.
Dalam karya "Bila Malam Bertambah Malam", Putu Wijaya, sebagai penulis, dengan halus menyuarakan kritik terhadap norma pernikahan sekasta dalam masyarakat feodal Bali. Dalam pandangan Putu Wijaya, norma tersebut dianggap konyol dan tidak sesuai dengan realitas zaman sekarang. Saat ini, pandangan bahwa tatanan pernikahan sekasta, yang mungkin pernah diterima pada masa lampau, telah kehilangan relevansinya. Putu Wijaya secara tegas mengajak untuk mengubah paradigma saat ini, menegaskan bahwa kini adalah saatnya bagi manusia untuk mengambil inisiatif dalam menentukan jalan hidup mereka. Dalam hal ini, Putu Wijaya menyuarakan pentingnya kebebasan, menegaskan bahwa tidak ada lagi tempat untuk perbudakan, baik dalam hal pilihan pasangan hidup maupun dalam hak dan kebebasan individu secara lebih luas. Dengan demikian, tulisan ini tidak hanya mencerminkan kritik terhadap norma pernikahan tertentu, tetapi juga menyuarakan aspirasi untuk kebebasan di dalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H