Mohon tunggu...
Helma Mardiana
Helma Mardiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa yang memiliki minat tinggi dalam bahasa Indonesia khususnya dalam kepenulisan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sistem Kasta: Pemicu Ketimpangan Sosial dalam Naskah Drama Bila Malam Bertambah Malam Karya Putu Wijaya

20 Desember 2023   09:42 Diperbarui: 20 Desember 2023   10:02 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perhatikan kutipan dialog di bawah ini:

Gusti Biang: "Jawab saja dengan singkat. Benar kau mau mengawininya? Jawab Ngurah. Jawab!"

Ngurah: "Ya,, titiyang akan mengawininya."

Gusti Biang: "Ngurah! Kau sudah diguna-gunanya."

Ngurah: "Kami saling mencintai ibu."

Gusti Biang: "Cinta? Ibu dan ayahmu kawin tanpa cinta. Apa itu cinta? Yang ada hanyalah kewajiban menghormati leluhur yang telah menurunkanmu, menurunkan kita semua di sini. Kau tak boleh kawin dengan dia, betapapun kau menghendakinya. Aku telah menyediakan orang yang patut untukmu. Jangan membuatku malu. Ibu telah menjodohkan kau sejak kecil dengan Sagung Rai."

Gusti Biang: "Kalau ingin kau pelihara perempuan sudra itu karena nafsumu, terserahlah. Boleh kau pelihara sebagai selir. Kau boleh berbuat sesukamu, sebab aku telah memeliharanya sejak kecil. Tetapi untuk mengawininya dengan upacara itu tidak bisa."

             Dalam kutipan tersebut, Gusti Biang tegas melarang anaknya, Ngurah, untuk menikah dengan Nyoman yang berada dalam kasta sudra. Tindakan ini menunjukkan sikap diskriminatif Gusti Biang terhadap kaum sudra. Lebih dari itu, Gusti Biang terlibat dalam praktik perbudakan dan penindasan terhadap Nyoman dan Wayan, memanfaatkan kekuasaannya dalam ranah ekonomi, sosial, dan budaya. Situasi ini menciptakan perasaan teralienasi di kalangan Nyoman dan Wayan, yang pada akhirnya memicu perlawanan mereka untuk memperjuangkan hak kelas mereka. Hal ini bisa dilihat dalam petikan dialog sebagai berikut:

Nyoman: "Gusti Biang, tiyang bosan merendahkan diri, dulu tiyang menghormati Gusti karena usia Gusti lanjut. Tiyang mengikuti semua apa yang Gusti katakan, apa yang Gusti perintahkan meskipun tiyang sering tidak setuju. Tetapi Gusti sudah keterlaluan sekarang. Orang disuruh makan tanah terus-menerus, Gusti anggap tiyang tak lebih dari cacing tanah. Semutpun kalau diinjak menggigit, apalagi manusia, Gusti yang seharusnya agung, luhur, menjadi tauladan tapi seperti …"

Gusti Biang: "Seperti apa?"

Nyoman: "Orang kebanyakan saja mempunyai kasih sayang dan menghargai orang lain. Tapi Gusti, di mana letak keagungan Gusti? Cobalah Gusti berjalan di jalan raya seperti sekarang, Gusti akan ditertawakan oleh orang banyak. Sekarang orang tidak lagi diukur dari keturunan tapi kelakuan dan kepandaianlah yang menentukan. Sekarang tidak hanya bangsawan, semua orang berhak dihormati kalau baik. Begitu mestinya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun