Mohon tunggu...
Hellobondy
Hellobondy Mohon Tunggu... Pengacara - Lawyer, Blogger, and Announcer

A perpetual learner from other perspectives. Find me on IG : nindy.hellobondy Blog : Hellobondy.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saipul Jamil dan Kesempatan Kedua, Mungkinkah?

14 September 2021   20:20 Diperbarui: 14 September 2021   20:33 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Senyumnya merekah hingga ke telingga, karangan bunga dikalungkan ke kepalanya, tak lupa bucket bunga berwarna di tangan kananya. Sebuah mobil mewah berwarna merah dengan cap terbuka menemani arak-arak seorang laki-laki paruh baya yang dulu sering menghias layar kaca.  Bak seorang pahlawan yang habis berperang, media pun berlomba mengundang bahkan menyediakan beberapa judul yang mungkin akan segera mengudara

Tidak sayang, Laki-laki itu bukanlah seseorang yang habis menang sebuah medali untuk bangsanya, ia adalah laki-laki yang pernah menghancurkan kehidupan anak dan keluarganya. Ia dipenjara karena melakukan pencabulan, dan kini ia akan segera berkeliaran menyapa kita semua. Sebuah ironi yang sesungguhnya.

Apa media ini kehabisan berita, sehingga mendewakan kebebasan pelaku kekerasan seksual. "Berhati lembut Saipul Jamil tak dendam ke pada pria muda yang membuatnya masuk penjara", "Kisah pilu Syaipul Jamil di penjara" dan masih sederet judul yang membuat ingin pindah ke Mars. 

Coba kalau memberitakan korban senang sekali menyudutkan, "Tukang Kayu jadi Polisi gadungan Sukses hamili 1 bidan dan 5 janda" Sangking lugunya tak ahu jika Istrinya sudah tidak orisinil". Miris!

Tobat dan kesempatan kedua, mungkinkah?

Aku pun bertanya-tanya, apa memang benar manusia bisa berubah? "Aku janji gak akan mengulanginya lagi" tapi ternyata perbuatan itu dilakukan secara terus menerus. Contohnya saja pada pelaku perselingkuhan. 

Tapi, banyak sekali di media, dulu mantan napi kini jadi ustad, dulu anak punk kini jadi pengusaha. Entahlah, terkadang aku bertanya-tanya apa ukuran tobat ini?

Tapi, tentu saja perubahan akan terjadi jika memang itu disadari oleh pelaku itu sendiri dan berubah untuk kebaikanya. Lalu bagaimana dengan mantan napi yang baru lepas lalu tak lama ia Kembali lagi tertangkap?. Apa yang salah?

Tidak sedikit yang memberi dukungan pada artis ini, bahkan beberapa pemberitaan malah lebih menjijikan, pelaku merasa tidak dendam terhadap korban. 

Begini, ranah maaf hanya menjadi milik korban dan keluarga, dan saya yakin ini adalah proses seumur hidup bagaiamana korban berdamai dengan keadaan. 

Tapi memberikan panggung untuk pelaku tentu sebuah prilaku yang tidak mudah dimaafkan.

Bukan rahasia umum, lapas kita mengalami over capacity. Belum lagi terbatas anggaran dan lainnya. Sedangkan hukuman kita hanya menggunakan satu-satunya media penghukuman yakni penjara. 

Apakah penjara kita sudah layak? Memiliki treatment yang berbeda untuk setiap kasus? Lalu bagaimana efisiensinya? Sungguh masih tanda tanya besar.

Bagaimana dengan kekerasan seksual? Pelaku dipenjara, keluar penjara malah disambut genggap gempita dan masih bisa melanjukan hidupnya bahkan menjadi idola. Bagaimana dengan korban? 

Banyak dari dampingan saya merasa ia sudah tidak berharga, tidak layak hidup Bahagia, masa depannya hancur, dikucilkan dari keluarga dan lingkungan. Bahkan luka itu akan ia bawa seumur hidupnya bahkan untuk generasi selanjutnya. Luka korban adalah luka kita semua, tidak hanya korban si artis yang akan merasa terluka melihat ia tertawa dan diterima masyarakat tapi semua penyintas akan terluka.

Di Korea Selatan, Pelaku perkosaan anak Bernama Cho dihukum 15 tahun penjara dan dipotong 3 tahun bebas, masih di Korea Pria 24 tahun bernama Son Jong-woo telah dibebaskan setelah 18 bulan berada dalam penjara dengan kasus menjalankan situs pornografi anak terbesar di dunia. 

Gelombang masyarakat memprotes pemotongan hukuman para pelaku kekerasan seksual, hingga akhirnya pemerintah mendirikan pos polisi di dekat rumah pelaku, dan pelaku dilarang mendekati sekolah ataupun tempat  bermain di mana anak-anak berada.

Heranya, di negeri ini pelaku pedofil mendapatkan tempat bahkan untuk konten "edukasi" katanya. Apa negeri ini kurang orang-orang yang kompeten di bidangnya? Dokter, pengacara, psikolog, guru, dosen yang memiliki prespektif korban yang baik. Lalu apa yang akan diajarkan oleh "pedofilia"? bukankah ia akan melihat potensi "korban" berikutnya?.

Saya sempat berbincang dengan psikolog klinis dan sharing mengenai kasus ini, menurut Diana Putri Arini, S.Psi., M.A., M.Psi di beberapa negara ada yang menggunakan kursi listrik untuk pelaku pedofil dengan memperlihatkan foto anak dan melihat reaksi pelaku dengan tujuan menimbulkan trauma pada pelaku, namun metode ini masih sangat diperdebatkan. 

Ia menambahkan agar tidak lupa memberikan pemulihan trauma kepada korban dan keluarga korban. Dibutuhkan sebuah riset yang panjang dan metode pemulihan untuk pelaku dan korban.

Di Amerika pernah terjadi 'Skandal terbesar dalam sejarah', hampir 100.000 orang menjadi korban di organisasi pramuka di AS, para korban menuntut ganti rugi. Artinya, bisa saja ada alternatif untuk pemulihan korban dan tidak hanya berorientasi pada pelaku.

Reformasi Mental Mulai dari Rumah Hingga Penjara

Sejak kecil kita sudah diberi wejangan bahwa hati-hati terhadap lelaki, menutup diri, tidak boleh mencari "perhatian" yang bisa "mengundang". Kita semua dilatih dan dididik untuk tidak menjadi korban, namun kita lupa bahwa mendidik generasi untuk tidak menjadi pemerkosa, dengan mengenalkan Pendidikan Kesehatan seksual dan reproduksi yang komperhensif.

Tentu saja setiap keluarga memiliki pendekatan yang berbeda, sudah saatnya kita berani mengenalkan bahwa setiap tubuh butuh dihormati, tidak boleh sembarang disentuh ataupun menyentuh tubuh orang lain, ajarkan konsen dan bagaiamana dampak jika kita melanggar konsen tersebut.

Sayangnya, ketabuan membutakan mata kita melihat realitas bahwa Pendidikan sex komperhensif bukanlah hal yang menakutkan. Selain itu, pihak-pihak dari pembuat kebijakan dan pelaksana sudah saatnya menyadari bahwa perlindungan atas setiap tubuh adalah bentuk penghormatan dan kewajiban negara terhadap warganya.

Lalu, barulah kita memasuki di mana reformasi Lembaga pemasyarakatan yang menjadi fenomena gunung es, setiap hari orang ditangkap diadili namun berapa banyak yang selesai di "sekolahkan"?. Berapa banyak mantan napi yang Kembali lagi ke lapas? Berapa banyak mantan napi yang bisa hidup membaur di masyarakat.

Satu lagi yang tidak bisa lepas adalah bagaimana Lembaga pemasyarakatan melakukan treatment untuk setiap penghuninya?. Jika setiap penyakit memiliki spesifik dokter spesialis, artinya setiap treatment dan diagnose juga berbeda, demikian juga untuk pelaku pedofil dan jenis kejahatan lainnya.

Ini tentu PR yang Panjang untuk negara kita, tapi kita bisa mulai dari diri kita untuk mengedukasi dan tidak memberi panggung pada pelaku kejahatan seksual

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun