Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sahabat, Bagiku Engkau Saksi dari Sebagian Perjalananku

6 Juni 2020   05:00 Diperbarui: 6 Juni 2020   05:02 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Fraster salah satu gangster terkenal di sekolahnya. Ia tidak peduli terhadap nilai merah di buku latihan matematikanya. Ia sudah tahu akan menjalankan ritual cambuk oleh ayahnya sendiri di malam hari. Sebelum tindakan kejam itu menimpanya, ia berlari ke lapangan bola kaki. Sekolah yang terbatas dengan fasilitas itu, hanya mampu menyediakan ruang kelas dan sedikit lapangan untuk upacara setiap senin. Torone siswa yang baru saja pindah di hari ini merasa tersiksa dengan kadar ADHnya yang selalu turun 5 jam sekali. 

"Bu, bolehkah saya izin ke toilet?" tanya Torone menahan ketidaksanggupan kantong kemihnya. 

Guru yang mengajar Matematika tersenyum sinis lalu melanjutkan dengan angka-angka yang semakin sulit untuk dipecahkan. Pelajaran aljabar di siang hari membuat para siswa berhamburan pada salah seorang anak laki-laki yang pandai berhitung. Namun, di sudut ruang kelas kembali terdengar suara laki-laki yang sudah ngotot ingin mengeluarkan cairan yang tidak digunakan tubuhnya kembali.

"Bu... Bole..h" Pembicaraannya terbata saat penggaris panjang melayang di atas sebuah meja belajar.

Ibu Samakin melekatkan pandangannya pada sebuah kerumunan besar yang sedang menikmati sontekan. "Saya belum memberikan instruksi!"

Anak-anak berhamburan keluar kelas menghindari penggaris panjang melayang di jari tangan mereka. Tersisa dua murid yang duduk dengan wajah tertunduk di dalam kelas. "Kenapa tidak lari? Kalian tidak takut dengan saya!" Ibu Samakin menggertak kedua murid yang tertunduk di ruangan sepi itu. Ibu Samakin menunjuk Torone dengan mata melotot "Mengapa kamu masih di sana?"

Torone menangis dengan kencang. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan sembari mendumel dengan suara kecil. Ibu Samakin mendekati anak laki-laki yang beradaptasi dengan kondisi kelas. "Jangan mendekat!" Torone berteriak dengan kencang. Ia mengulang kata yang sama agar Bu Samakin tidak mendekati tempat duduknya. Bu Samakin penasaran dengan sikap Torone padanya. Sewindu ia mengajar di Sekolah Gerakan Muda, kali pertama seorang anak melarang ia melakukan sesuatu adalah hari pertama mengajar. Tidak lain lagi pelakunya adalah Fraster. Selanjutnya, murid kedua yang menghalang langkahnya untuk melakukan apa pun yang diinginkannya adalah anak baru yang menangis tersedu-sedu seperti kehilangan celengannya. 

"Sade, kamu mencium aroma yang aneh?" tanya Bu Samakin?

"Bau pesing, Bu?"

"Iya, seperti itu"

"Bu, baunya di mana?"

"Kamu ini bagaimana sih?" Bu Samakin geram dengan pertanyaan anak satu-satunya yang rajin belajar di pelajaran Matematika di kelasnya.

"Bu Samakin pipis di celana ya?" Sade semakin penasaran dengan jawaban Bu Samakin.

"Sade!" Bu Samakin mengejar Sade sampai depan pintu kelas.

Ruangan kelas Matematika menjadi senyap. Meskipun terdapat dua insan bernapas di dalamnya. Torone berdiri menggendong tasnya mendekati Bu Samakin agar berpamit pulang ke rumah. Bu Samakin menutup mulut menyadari seorang anak laki-laki berjalan dengan celana yang basah. Aroma yang dibaui oleh hidungnya, diterjemahkan oleh otaknya sebagai bau pesing berasal dari anak laki-laki yang meminta izin untuk ke toilet di sesi pembelajarannya. Tidak ada rasa bersalah dari Bu Samakin, Ia mundur dan mengulang perkataan Torone, "Jangan Mendekat!" Namun, anak laki-laki ini merasa bersalah bila tidak menjabat tangan Bu Samakin sebelum kembali ke rumahnya. Bu Samakin mengulang kaliamat imperatif yang sama, "Jangan Mendekat!"

Murid-murid yang asyik menikmati waktu bermainnya di luar satu per satu mengintip di balik jendela kelas. Seketika ruangan itu dipenuhi oleh mata siswa dari berbagai tingkatan kelas. Torone segera memegang tangan Bu Samakin dan naikkannya ke jidatnya. Torone berani melangkah pulang ke rumah karena merasa telah berpamitan dengan guru Matematikanya sekaligus wali kelasnya. Suara siswa-siswa yang melihat perbuatan Torone bersiul-siul sebagian lainnya menyerukan "Terima..terima..terima!" Bu Samakin bingung dengan perilaku siswa dalam kelasnya sepanjang hari ini. Kabar tentang Fraster belum kunjung datang setelah menerima buku latihan Matematika yang dibagikan oleh ketua kelasnya.

Anak-anak Sekolah Gerakan Muda bergegas pulang ke rumah mereka masing-masing. Anak perempuan tidak sabar bercerita dengan ibunya bahwa seorang kakak kelasnya jatuh cinta kepada gurunya. Anak laki-laki berunding untuk membuat Torone tidak betah melanjutkan sekolah di Gerakan Muda. Kabarnya berhadapan dengan rumah Torone, Fraster tinggal di sana. Ia sedang asyik memutar bola basket di tangannya saat ia mendengarkan pagar di depan rumahnya telah terbuka. Fraster bergegas mengantarkan titipan dari orang yang tidak di kenalnya kepada Torone.

"Hei, baru pindahan ya?"

"Iya nih"

"Cepat amat lu pulang"

"Iya, tadi gue ga ada dapat izin ke toilet"

"Sekolah di Gerakan Muda?"

"Iya"

"Gue Fraster, anak Gerakan Muda 8A"

"Torone, anak pindahan. Eh, aku masuk dulu ya ga betah dengan ini." Torone menunjuk celananya yang masih menyimpan aroma pesing.

Iya melambaikan menutup pagar rumahnya. Namun, ia lupa untuk mengambil titipannya kepada kenalan barunya.

"Hei, titipannya!" teriaknya pada Fraster.

Fraster menepok jidat karena belum melakukan serah terima barang. "Kok, lu tau ini buat kalian" Torone menjelaskan bahwa ia tidak sengaja melihat nama ayahnya tertera pada barang tersebut. Sekali lagi Torone melongok keluar pagar, "Terima kasih ya, kalau mau ngobrol datang aja ya. Rumah terbuka untuk orang seperti kamu." Fraster tersenyum dengan lebar. Ini kali pertama Fraster mengenal laki-laki yang berusia 14 tahun tidak merasa malu buang air kecil di celana. 

Mengingat kisah perjalanan mereka di SMP tidak mudah untuk menjadi edan lagi. Fraster samar-samar melihat bayangan Torone sedang mengambil potret sebuah bangunan. Bangunan yang tidak asing bila ada kata kunci Paris. "Seperti dugaanku" Fraster mengejutkan Torone. Fraster memulai untuk berkisah tentang kehidupannya.

Aku sudah berkelana di seluruh Asia Tenggara. Hari ini aku menemui engkau lagi, seperti sebuah mimpi. Saat itu, aku mengirimkan kepadamu sebuah pesan teks yang menjadi kenyataan di hari ini. Torone terlihat sangat gagah bagi Fraster, meskipun Fraster yang menjadi pemimpin gangster kala itu. Fraster memiliki kumis tipis dan brewok yang tebal. Jaket kulit yang dikenakannya adalah satu-satunya hadiah ulang tahun yang dijaganya dengan baik. Tidak lain lagi, pemberinya adalah Bu Samakin. Sejak Fraster dan Torone terlibat dalam kasus besar di sekolah. Bu Samakin menjadi lebih peduli terhadap pertumbuhan dan kasus-kasus yang melibatkan mereka. Torone hampir saja membuat Fraster jantungan. Ia memberikan kejutan sembari mengguncang tubuh Fraster yang berhenti dengan obrolan pertemuan mereka di suatu negara. Tentunya bukan negara yang mereka diami saat masih kanak-kanak. Fraster melanjutkan bahwa semua kepunyaannya telah hilang. Ia dan ayahnya menghadapi permasalahan yang rumit. Hal ini tidak lain lagi dari keputusan yang telah dibuat ayahnya untuk menggadaikan rumah mereka. Fraster memilih untuk membawa setengah dari uang tabungan ayahnya untuk melanjutkan hidup. Entah bagaimana dengan ibunya dan seorang adiknya laki-laki yang memilih untuk menyambung hidup bersama eyangnya. Ia juga sadar bahwa adiknya tidak seayah dengannya. Ia bergurau kepada Torone tentang kepergiannya ke luar negeri dengan sepengetahuan Bu Samakin. Ia menyempatkan waktu untuk mendapat izin dan restu dari wanita yang sudah lebih dekat dengannya dari pada ibunya sendiri. Alasannya meminta restu Bu Samakin agar merasa bersalah bila mayatnya tidak berpulang ke negerinya sendiri. 

Torone tertawa dengan sangat keras membuat para pengunjung yang juga turut berdestinasi di Menara Eiffel memalingkan wajah. Ia tahu betul bagaimana sikap Fraster. Mungkin kemustahilan bila ia menghadap Bu Samakin dan memohon izin untuk bepergian. Seyakin Torone bahwa kepergian Fraster adalah luka yang pulih bagi Bu Samakin. Wanita yang tidak mengenal lelah itu mungkin dapat sedikit lega untuk mendengarkan kicauan dari tetangga. Apa pun yang terjadi dan peristiwa yang melibatkan murid didiknya pasti ada kaitannya dengannya. Bu Samakin memarahi kami karena salah satu alasan yang kuat, Ia ingin kami menjadi manusia dewasa. Hidup dalam pilihan-pilihan yang beradab dan berahlak mulia. Giliran Torone yang membuat Fraster tenggelam dalam kepedihan yang dalam. Mendengar cerita Torone memberikan aura positif bagi Fraster, setidaknya Ia memiliki seseorang yang jauh lebih berbeban berat.

Awalnya, Torone diiming-imingkan oleh ayahnya untuk melanjutkan pekerjaan ayahnya. Arsitektur tentu adalah jawaban yang mudah baginya, . Modalnya dalam menggambar, mendesain, dan memadukan warna adalah keunggulannya di sekolah. Namun, peristiwa yang mendukakan hatinya tidak pernah dapat dilupakannya. Ibunya yang telah sekarat di ruangan putih dengan deretan pisau menikam tubuh ibunya karena stres terpaksa meninggal dalam pelukan Torone. Ibunya senang sekali melihat bangunan-bangunan tinggi meskipun hanya dalam sebuah foto. Ayah yang dekat dengan bangunan itu tidak pernah mengizinkan ibu untuk keluar dari rumah. Alasan yang sungguh tidak dapat dimaklumi. Ayah malu dengan penampilan ibu. Ibu memang tidak sebaik penampilan ibu-ibu yang ditemukan di dalam rumah setiap orang. Sejak ibu kecil, ia merasakan cukup banyak penganiayaan karena kondisi orang tua yang keras dalam memperlakukan anaknya. Namun, bagiku Ia adalah ibu yang memberiku dengan tulus kasih sayangnya dan mengingatkanku tentang arti sebuah perjuangan. Ia tidak mengeluh bila keinginannya tidak dapat dipenuhi. Ia tidak marah bila dihina oleh ayah setiap hari. Ia juga tidak menuntutku untuk melakukan apa pun yang ia inginkan, bukan seperti ayah. Ekspetasi yang dibuat tinggi membuat aku melayang untuk menggapainya. Ibu yang selalu mengajariku di rumah. Memperkenalkanku pada warna sesekali cerita kesakitan yang membuatku terharu. 

Torone diusir oleh  ayahnya dari rumah karena memenuhi permintaan istri baru ayahnya. Ia mendatangi pusara ibunya dan bertekad untuk mengambil banyak foto bangunan tinggi untuk memperlihatkan pada ibunya. Perjalanannya ke Paris merupakan hasil dari bayaran yang diterimanya dari penyiaran radio yang sekalian memperkenalkannya pada informasi tentang hal-hal menarik dan kabar terbaru dari setiap daerah. Setelah mengambil gambar pada Canton Tower yang berada di Cina. Torone menuju Paris dan bertemu dengan Fraster di sini.

Fraster dan Torone memilih untuk melanjutkan perjuangan bersama-sama. Di bawah kaki menara Eiffel mereka berpose seperti  meruntuhkan menara tersebut. Janji yang mereka buat dengan pose edan itu hanya diketahui oleh mereka dan saksi bisu, Menara Eiffel. Di apit oleh sebuah menara yang tinggi, usia mereka sudah matang untuk melanjutkan hidup. Peristiwa yang luar biasa akan memandu jejak-jejak kebaikan yang terbentuk dari kelamnya cinta kasih yang mereka terima dari rumah. Rumah tempat berpulang telah hadir di bawah sebuah menara. Rumah bagi jiwa-jiwa yang tertutup dukungan dari keluarga mendapat semangat dari sahabat yang merangkul dalam rasa yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun