Isu tentang pengaruh media dalam politik menjadi topik yang semakin relevan dan penting untuk diperdepatkan. Hal ini karena media dan politik memiliki kaitan dengan proses reproduksi pengetahuan, diskursus wacana dan reorganisai kekuasaan.
Jika berdebat dalam konteks menjelang menjelang Pemilihan umum 2024 mendatang, tentunya isu simbiotik media dan politik tidak akan habis-hasisnya dipergunjingkan.
Sebagai intrumen yang memiliki peran yang sangat menentukan dalam membentuk persepsi politik publik dan mempengaruhi keputusan publik, media acap kali melahirkan polarisasi dan fragmentasi di akar rumput.
Hasil survei Litbang Kompas (2023) setidaknya dapat mengafirmasi hal ini, bahwasannya di masa Pemilu 2024 terjadi kerentanan keterbelahan dan perpecahan politik. Kerentanan ini merupakan implikasi dari beoperasinya kuasa media dalam politik.
Sejumlah analis para pakar dan pengamat menakar bahwasanya dibalik polarisasi media dalam politik, sebenarnya merupakan polarisasi kuasa ologarki media, yang tengah mereorganisasi kekuasaan dengan membentuk wacana dan diskursus pengetahuan.
Oligarki dan Media Dalam Kacamata Kuasa Politik
Oligarki adalah sistem pemerintahan di mana kekuasaan berpusat pada sekelompok kecil individu atau keluarga dengan kekayaan dan pengaruh yang sangat besar. Menurut Jeffrey Winters oligarki adalah upaya politik untuk mempertahankan kekayaan atau kemakmuran.
Winters menggambarkan bahwa, munculnya pola ketimpangan yang makin dalam di sejumlah negara demokrasi, termasuk Indonesia menunjukan dominasi oligarki ke dalam demokrasi. Kuasa oligarki kemudian membuat kualitas demokrasi mengalami kemunduran.
Oligarki bisa muncul dalam demokrasi karena beberapa hal diantaranya, pertama, Kemapuan mayarakat sipil masih terbatas dan tidak mampu mengimbangi kapasistas dimiliki kelompok oligarki.
Gerakan sipil menjadi gerakan yang soliter dan kadang liar, karena kehilangan sambunganya dengan negara, salah satu instrument penghubung antara masyarakat sipil dengan negara yakni parpol telah terkartelisasi kuasa oligarki (Hargens, 2023).
Kedua, konsentrasi kekayaan yang terpusat di tangan sekolompok kecil orang, yakni elit negara, elit parpol, pengusaha/pemodal. Kekayaan itu dapat digunakan untuk berbagai agenda, temaksuk reorganisasi kekuasaan dan modal, disamping juga terjadi di tengah transaksional sistem politik.