Being single is not a crime
Setiap orang yang mencapai usia yang dianggap sudah layak untuk menikah pasti pernah bersinggungan dengan masalah jodoh. Entah karena pertanyaan tentang pernikahan dan jodoh ini berasal dari diri sendiri, dari anggota keluarga atau bahkan dari orang lain yang baru saja kenal.
Para lajang lelah dibombardir dengan pertanyaan “Kapan kawin?”. Pertanyaan kapan kawin seringkali membuat para lajang enggan untuk datang pada acara kumpul keluarga besar.
Dalam kehidupan sosial, pernikahan dianggap sebagai suatu fasa kehidupan yang penting dan sakral. Pernikahan selain mengikat tali kasih sepasang kekasih, juga bertujuan untuk memperoleh keturunan.
Bagi agama tertentu, menikah bahkan dianggap sebagai perwujudan ibadah. Tidak heran jika banyak orang yang menggangap hidup manusia tidak lengkap jika tidak menikah.
Stigma Sosial-Budaya
Para lajang seringkali mendapat tekanan secara sosial. Masyarakat memandang negatif orang yang melajang. Oleh karena menikah dianggap sebagai representasi orang dewasa dalam kehidupan sosial, maka para lajang sering dianggap sebelah mata karena mereka belum menikah dan memiliki keluarga.
Seolah-olah para lajang tidak memiliki tempat dalam masyarakat. Ini merupakan salah satu penyebab banyak orang tua yang merasa malu jika anaknya yang berusia dewasa masih belum nikah.
Acara-acara sosial juga tidak banyak yang ramah kaum lajang. Ambil contoh, kalau ke acara pesta perkawinan atau kondangan, orang-orang akan memandang aneh saat seseorang datang sendirian.
Akhirnya para lajang meminta teman atau orang lain yang dia kenal untuk mememani agar dia tidak datang sendirian dan menjawab pertanyaan banyak orang “Kok datang sendirian?”.
Di tempat makan, seseorang datang untuk makan sendiri masih terasa aneh bagi orang lain. Apalagi kalau tempat makan itu ramai dikunjungi orang.
“Untuk berapa orang, Kak?”
“1 orang.”
Pelayan akan meminta si lajang duduk di pojokan agar tidak terlihat menyedihkan oleh orang-orang yang melihat. Padahal bisa jadi si lajang ingin duduk di tempat strategis yang menghadap ke luar ruangan untuk menikmati pemandangan sekitar.
Berbagai macam stigma sosial diberikan kepada orang yang melajang, mulai dari dianggap terlalu pemilih atau pilih-pilih tebu, jual mahal, tidak laku, keras kepala, terlalu mandiri, egois, gila karir, perawan tua atau bujang lapuk, dan lain-lain.
Bahkan tidak jarang orang-orang mempertanyakan orientasi seksual para lajang. Di media sosial, berbagai macam meme tentang lajang bertebaran dan dibuat sebagai lelucon.
Bahkan di Tiongkok, perempuan lajang berusia 25 tahun ke atas dianggap perempuan sisa (leftover woman). Perempuan sisa dianggap sebagai aib keluarga karena tidak mengikuti aturan hidup yang ideal: menikah, punya anak, dan membangun keluarga. Orang tua pun memasarkan anak-anak gadis mereka di pasar jodoh dengan harapan agar mereka dapat menikah.
Ada banyak sebab orang memilih menjadi lajang. Ada orang-orang yang memiliki keinginan untuk menikah tetapi belum mendapatkan pasangan yang cocok dan memilih menunda pernikahan untuk fokus mengejar pendidikan dan karir. Golongan ini masuk dalam kategori lajang temporary voluntary single.
Ada juga yang ingin menikah dan secara aktif mencari pasangan namun belum mendapatkan pasangan yang sesuai dan memilih menunda pernikahan sampai mendapatkan pasangan yang cocok. Golongan ini termasuk dalam kategori lajang temporary involuntary single.
Ada juga yang memilih melajang sebagai pilihan hidup. Entah dengan alasan memenuhi panggilan religiusitas seperti para pastor, biarawan dan biarawati. Atau karena memang merasa nyaman dengan kehidupan melajang seperti yang banyak terjadi di negara-negara maju.
Ada juga yang merasa trauma karena hubungan yang gagal/patah hati, mengalami pelecehan seksual, ataupun keluarga yang broken home. Golongan ini masuk dalam kategori lajang stable voluntary single.
Kepercayaan bahwa jodoh di tangan Tuhan dan Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, membuat orang-orang mempertanyakan hubungan orang yang melajang dengan Tuhan dan kualitas keimanannya.
Tidak mungkin Tuhan ingkar janji. Jika orang yang melajang belum menikah, pasti ada yang salah dengan dirinya. Para lajang pun dinasihati untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.
Para lajang juga dinasihati untuk berbenah diri dan memantaskan diri agar jodohnya datang. Pertanyaannya, apakah memang para lajang ini memang kurang pantas?
Ada banyak jomblo berkualitas atau high quality jomlo seperti Ira Kusno, Raline Shah dan Nicholas Saputra. Banyak juga para pengangguran yang menikah yang justru membuat repot keluarga karena tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarganya.
Nasihat lain yang diberikan kepada para lajang adalah harus lebih membuka diri dan memperluas pergaulan. Tidak jarang lajang disarankan mengikuti kegiatan-kegiatan keagamaan untuk menjemput jodoh. Para jomlo diajak mengikuti pengajian di mesjid atau paduan suara pemuda dan kebaktian doa di gereja.
Di dalam budaya patriaki, stigma negatif orang yang hidup melajang lebih berat ditanggung bagi perempuan. Laki-laki tidak menikah dianggap tidak seburuk perempuan lajang. Laki-laki lajang masih dapat diterima masyarakat dengan pembenaran dia sedang mempersiapkan diri untuk kehidupan keluarga yang lebih mapan.
Sebaliknya, perempuan melajang dianggap memalukan bagi keluarga. Kodrat perempuan dikaitkan dengan melahirkan anak membuat perempuan yang belum menikah dianggap menyalahi kodratnya.
Orang-orang sekitar akan memperingatkan bahwa “jam biologis” untuk melahirkan anak ada waktunya. Peringatan akan ada kesulitan melahirkan di usia yang lebih tua menjadi momok bagi para perempuan lajang. Berbeda dengan laki-laki yang tidak memiliki “jam biologis”.
Anggapan bahwa perempuan lajang tidak menarik perhatian lawan jenis juga dialamatkan kepada perempuan lajang. Perempuan lajang diasumsikan bertingkah laku menyebalkan seperti jutek dan bawel, sehingga lawan jenis tertarik. Atau sebaliknya, perempuan lajang terlalu pendiam dan kaku.
Penampilan perempuan lajang pun turut dikomentari sebagai penyebab kejomloannya. Orang-orang sekitar pun menyarankan agar perempuan lajang berdandan ataupun menguruskan badan agar terlihat menarik.
Berbeda dengan laki-laki lajang, tuntutan untuk tampil menarik ini tidak dibebankan kepada mereka. Masyarakat menggangap sepanjang laki-laki memiliki banyak materi dan hidup mapan, perempuan secantik apapun tidak akan menolak.
Saat ini, sudah lebih banyak perempuan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan jenjang karir yang tinggi. Kemajuan ini ternyata ikut mempengaruhi jodoh bagi perempuan karena sulit mendapatkan laki-laki yang sepadan.
Budaya patriaki melanggengkan hipergami dimana laki-laki harus memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan perempuan yang dinikahinya.
Hal ini membuat laki-laki lebih memilih perempuan yang kedudukannya lebih rendah dari dirinya. Perempuan yang memiliki pendidikan tinggi dan penghasilan tinggi dianggap lebih susah diatur dan dikendalikan.
Oleh karena kehidupan lajang dianggap tidak lengkap dan tidak bahagia, orang-orang di sekitarnya merasa “terpanggil” untuk membantu para lajang usia matang agar menemukan jodohnya.
Berbagai bantuan ditawarkan, baik secara terang-terangan maupun dalam senyap. “Jodoh di tangan Tuhan. Tapi manusia juga perlu berusaha.” Kata-kata ini yang sering diucapkan kepada para lajang.
Berbagai upaya dilakukan agar para lajang segera menikah, seperti menjadi anggota biro jodoh zaman kiwari seperti Tinder, mendatangi orang “pintar” untuk mengetahui siapa jodohnya, dan menjodohkan para lajang.
Tidak jarang tekanan sosial agar setiap orang menikah membuat orang yang melajang akhirnya menyerah dan berkompromi, bahkan sampai mengorbankan idealisme dan perasaan.
Dengan anggapan cinta akan bertumbuh seiring waktu, para lajang pun akhirnya bersedia dijodohkan. Padahal membuat cinta bertumbuh tidak mudah dan dibutuhkan usaha dari kedua belah pihak. Belum lagi karena didesak untuk segera menikah, para lajang tidak memiliki waktu yang cukup untuk saling mengenal satu sama lain.
Banyak hal yang krusial dalam pernikahan yang terlewatkan untuk didiskusikan sebelum menikah, seperti visi hidup, kebiasaan masing-masing pribadi, manajemen keuangan, jumlah anak yang diinginkan dan cara mendidik anak, relasi dengan keluarga besar, manajemen konfilk, dll.
Jika hal-hal ini tidak dibicarakan secara terbuka, maka sering terjadi pertengkaran karena perbedaan pendapat. Hubungan cinta yang tidak kuat juga menyebabkan kehidupan rumah tangga menjadi hambar dan tidak bahagia. Akibatnya, perjodohan berakhir dengan perceraian.
Anggapan masyarakat seseorang berbahagia dan mencapai kepuasaan hidup jika dia sudah menikah dan memiliki keluarga. Orang yang hidup melajang dianggap kesepian dan tidak bahagia.
Padahal banyak orang yang menikah yang kesepian. Entah karena alasan kesibukan dengan pekerjaan sehingga kesulitan meluangkan waktu untuk pasangan, komunikasi yang tidak terbuka, atau kurangnya dukungan emosional. Tidak ada jaminan juga bahwa orang menikah akan bahagia.
Kehidupan melajang tidak melulu penuh dengan penderitaan seperti yang diperkirakan oleh orang banyak. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BPS, para lajang memiliki indeks kebahagian yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang sudah menikah.
Dilansir dari klikdokter.com, ada beberapa manfaat dari hidup melajang.
Pola hidup sehat
Berdasarkan hasil penelitian, para lajang lebih peduli dengan kesehatan dibandingkan dengan orang-orang yang sudah menikah. Para lajang memanfaatkan waktunya untuk berolahraga secara teratur dan mengkonsumsi makanan sehat.
Hasil penelitian yang dilakukan pada tahun 2013 di Inggris mengungkapkan pasangan yang menikah cenderung mengalami kenaikan berat badan dalam kurun waktu empat tahun setelah menikah.
Memiliki Teman Dekat Lebih Banyak
Para lajang memiliki waktu luang yang lebih banyak sehingga dapat menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga dan para sahabat. Dibandingkan dengan orang yang menikah, para lajang memiliki lebih banyak teman dekat.
Para lajang sering menjadi tempat curhat bagi teman-temannya yang sudah menikah. Tidak jarang para lajang menjadi om dan tante kesayangan bagi keponakannya.
Keuangan Lebih Baik
Para lajang tidak memiliki tanggungan sebanyak orang yang berkeluarga. Dengan demikian, lebih banyak uang yang bisa ditabung ataupun membeli aset berharga.
Tidur Lebih Nyenyak
Berdasarkan survei yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 2017, orang yang melajang tidur lebih lama dan lebih nyenyak dibandingkan dengan mereka yang sudah menikah. Para lajang tidak terganggu dengan kebiasaan pasangan seperti mendengkur, menarik selimut, berpindah-pindah posisi tidur, atau pun suara anak menangis.
Mengembangkan Potensi
Para lajang dapat menggunakan waktu yang dimiliki untuk mengembangkan potensi baru seperti mempelajari keahlian baru yang menunjang karir, menekuni hobi, melakukan hal-hal yang bersifat filantropis, ataupun melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Lebih Berani Mengambil Risiko
Orang yang masih lajang bisa mengambil tawaran menarik meski berisiko, seperti mengambil pekerjaan yang berada di kota ataupun negara lain, memulai bisnis baru, ataupun mengganti karir. Berbeda dengan yang sudah menikah, risiko dapat mempengaruhi atau menyeret keluarganya ke dalam keadaan yang merugikan.
Me Time
Para lajang memiliki waktu luang yang lebih banyak untuk melakukan aktivitas me time. Entah melakukan solo traveling sepuasnya ke tempat-tempat impian, melakukan perawatan diri dan relaksasi di spa atau salon, ataupun sekedar membaca buku. Dengan melakukan me time, pikiran menjadi lebih segar dan siap untuk kembali produktif. Tidak jarang saat melakukan traveling, para lajang mendapat pengalaman baru yang memperkaya perspektif tentang hidup.
Melatih Tanggung Jawab
Orang yang hidup melajang terlatih untuk mengambil tanggung jawab terhadap diri sendiri. Hal ini menjadi modal untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar di kemudian hari.
Melajang adalah pilihan hidup yang harus dihormati. Melajang bukanlah sesuatu yang buruk asalkan dapat melakukan yang terbaik bagi dirinya dan orang-orang di sekitarnya.
Melajang tidak membuat seseorang menjadi “kurang manusia". Mungkin kita harus berhenti menanyakan kapan kawin kepada para lajang karena ini sudah masuk ke ranah privasi. Mari kita hargai pilihan orang-orang entah mereka mau memilih untuk menikah ataupun tetap melajang.
Jika akhirnya orang yang melajang memutuskan untuk mencari pasangan hidup dan menikah, sebaiknya keputusan itu atas kemauan sendiri dan merasa sudah siap.
Bukan atas desakan orang tua dan keluarga ataupun karena tidak tahan atas nyinyiran orang-orang di sekitarnya. Pada akhirnya, yang menjalani rumah tangga adalah dirinya sendiri, bukan orang tuanya ataupun orang-orang lain di sekitarnya.
Kalau si lajang meminta bantuan untuk mencarikan jodoh, bantulah dia menemukan jodohnya karena peduli akan kebahagiaannya. Bukan karena menganggap hidupnya menyedihkan atau tidak bahagia.
Bukan juga karena menganggap hidupnya tidak normal dan memaksanya mengikuti jalan hidup yang sama seperti banyak orang, yakni menikah dan berkeluarga.
Untuk orang-orang yang tetap memilih melajang, entah karena alasan memenuhi panggilan religiusitas ataupun alasan pribadi lainnya, nikmati keputusan yang dibuat. Jangan hiraukan apa kata orang.
Akhirnya, entah menikah ataupun melajang, kita tidak perlu orang lain untuk membuat kita bahagia. Kita sendiri yang bertanggung jawab atas kebahagiaan diri kita sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H