Setelah berpamitan, Pak Hendra berjalan menuju kubikel Tari. Berdua mereka keluar dari ruangan. Di dalam lift, mereka hanya diam. Memang selama pandemi dilarang berbicara dalam lift.
Tapi suasana diam kali ini lebih karena rasa canggung. Setelah keluar dari lift, Pak Hendra dan Tari menuju speed gates, lalu berjalan ke arah pintu ke luar.
“Good luck ya, Pak Hendra”.
“Terima kasih, Tari,” kata Pak Hendra sambil menyerahkan kartu aksesnya ke Tari.
Tari kembali masuk ke gedung kantor, sedang Pak Hendra tetap berdiri di tempat. Ke mana dia sekarang akan pergi? Apa yang akan dia katakan kepada istrinya?.
Saat dia hendak melangkah, tak sengaja matanya melihat Pak Iqbal dari divisi lain sedang membawa kotak kertas fotocopy ukuran A4. Ternyata Pak Iqbal juga bernasib sama seperti dirinya. Pak Iqbal juga sudah cukup lama bekerja di tempat ini. Mereka seumuran. Dan sekarang mereka berdua adalah orang-orang kalah.
“Pulang Pak?” tanya Pak Hendra.
“Iya Pak,”, jawab Pak Iqbal. Ada kesedihan di bola matanya.
“Pulang ke arah mana, Pak?” Pak Hendra lanjut bertanya.
“Ke arah Jonggol, Pak. Saya naik bus di depan sana. Mari Pak Hendra,” kata Pak Iqbal sambil menenteng kotak kertas fotocopy-an itu bersamanya.
“Silakan, Pak,” balas Pak Hendra.