Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Orang-Orang Kalah

25 Mei 2021   17:06 Diperbarui: 25 Mei 2021   22:45 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pria sedang duduk di kursi peron stasiun. Foto oleh Pexels via Pixabay.com

Pak Hendra duduk terdiam mematung di kubikelnya. Apa yang baru saja dia alami bagaikan petir di siang bolong. Dia tak pernah menyangka kejadian ini menimpa dirinya. Barusan saja dia dipanggil oleh HRD dan mendengar keputusan bahwa dia di-PHK bersama beberapa rekan kerja yang lain. Dia diminta segera membereskan meja kerjanya siang itu juga.

Sudah 25 tahun dia bekerja di perusahaan ini. Dari awal perusahaan belum sebesar sekarang ini. Dia selalu bekerja dengan giat. Itu sebabnya dia tak menyangka dia akan di-PHK. 

Tahun lalu saat awal pandemi Covid-19, beberapa orang karyawan dari divisi lain di-PHK. Umur mereka jauh di bawah umurnya dan mereka bekerja di sini belum terlalu lama, kurang dari 10 tahun.

Benar-benar di luar dugaannya. Pandemi ini meluluhlantakkan hidupnya dan jutaan orang lainnya. Tadinya Pak Hendra dan para karyawan lain berpikir PHK tidak akan terjadi lagi tahun ini. Namun ternyata, sudah satu tahun berlalu, pandemi masih ada. Perusahaan tempat dia bekerja terpaksa harus mem-PHK-kan beberapa karyawan lagi agar dapat bertahan.

Dia merasa sangat kecewa. Seolah-olah dedikasinya selama 25 tahun ini tidak dianggap berarti. "Perusahaan ini toh cukup besar dan keuangannya cukup kuat. Apa susahnya untuk tetap mempertahankan para pekerjanya? Apakah akan membuat perusahaan ini bangkrut?", pikirnya.

Yang paling menyesakkan baginya, tadi saat dia baru saja tiba di kubikelnya, bos yang selama ini dia hormati hanya melihat sekilas ke arahnya dari ruang kerjanya. Dia benar-benar kecewa. Mereka sudah bekerja bersama-sama sekitar 15 tahun. Apa salahnya dia memberitahukan Pak Hendra tentang PHK ini?

Kalaupun dia tidak boleh memberitahu secara gamblang, kan dia bisa memberi kode ke Pak Hendra untuk mencari pekerjaan lain. Pak Hendra benar-benar kecewa dan sakit hati. 

Dan sekarang tidak ada satu pun rekan-rekannya yang mendatanginya. Setidak-tidaknya berbasa-basi sedikit dengannya. Entah mengucapkan salam perpisahan ataupun mengambil foto sebagai kenang-kenangan. Dia merasa benar-benar dilupakan.

Setelah menyadarkan dirinya, Pak Hendra mencari-cari hard disk eksternal di tas kerjanya. Untung dia selalu membawa hard disk ini. Dia diminta untuk menyerahkan semua file-file kerja. Masalahnya file-file ini banyak sekali karena semua dokumen pekerjaannya selama 25 tahun ini ada di sana.

Sekarang sudah jam 2 siang. Dia tidak ada waktu untuk menyortir semua file-file di dalam komputer. Belum lagi berkas-berkas dokumen di meja kerjanya. Akhirnya dia memutuskan tidak menyortir dan merapikan file-file itu. Dia hanya akan menyimpan file-file yang perlu dan yang terbaru ke dalam hard disk.

Setelah selesai menyimpan semua file yang diperlukan, dia merapikan berkas-berkas dokumen di meja kerja dan laci. Dia tidak akan membawa satu pun berkas dokumen ini. Lalu dia menemui office boy untuk meminta tolong mencarikan kardus.

Dua orang office boy datang membantunya memasukkan berkas-berkas dokumen itu ke dalam kardus. Masing-masing kardus ditempelkan selembar kertas yang diberi informasi nama-nama dokumen di kardus itu. Lalu office boy membawa kardus-kardus itu ke gudang arsip.

Sekarang urusan file dan dokumen sudah selesai. Ada satu urusan lagi yang harus dia selesaikan, serah terima komputer dengan orang IT. Diisinya lembar serah terima komputer itu, lalu dia tandatangani. Setelah itu, dia menuju ke ruang IT.

Setelah menjelaskan duduk perkara serah terima, dia dan orang IT pun menuju ke meja kerjanya. Orang IT itu mengecek semua yang ada di dalam komputer. Dia juga mencocokan no ID komputer apakah sudah sesuai.

Sebelum orang IT mematikan komputernya, timbul keraguan di benaknya. Apakah dia perlu mengirimkan email perpisahan kepada orang-orang yang pernah berurusan dengannya bahwa dia sudah tidak bekerja lagi di sini?

Tapi sebenarnya dia malu kalau sampai orang-orang lain di luar divisinya tahu dia di-PHK. Dia merasa seperti orang yang kalah dalam hidup. “Biar saja, aku tak perlu mengirim email. Malah nanti jadi memalukan,” batinnya.

Setelah urusan administrasi selesai, dia membereskan barang-barang pribadi yang ada. Kaleng-kaleng biskuit yang masih ada isinya. Sabun pencuci muka serta sikat gigi dan odol yang dia letakkan di laci mejanya. Dua pasang sepatu dan sepasang sandal. Dimasukkannya sabun pencuci muka, sikat gigi dan odol ke tasnya. Lalu bagaimana dengan sepatu dan sandal?

Sepatu-sepatu ini masih bagus karena memang hanya dipakai saat berada di kantor. Kalau sandal, ditinggalkan saja di sini. Siapa tahu ada yang mau pakai kalau mau jumatan. Kembali dia mendatangi office boy menanyakan apakah ada kantong plastik untuk menyimpan sepatu-sepatunya. Sekaligus menawarkan sisa kue yang baru dimakan sedikit.

Setelah mendapat kantong plastik, dimasukkannya sepatu-sepatu itu ke dalam tas. Tak lupa dia masukkan jaket yang selama ini dia pakai untuk menghalau dinginnya AC. Awalnya dia ingin pergi begitu saja pulang ke rumah. Namun dia urungkan niatnya. 

Walau bagaimanapun, perusahaan tempat dia bekerja selama 25 tahun ini sudah menjadi rumah kedua baginya. Akhirnya Pak Hendra memutuskan untuk pamit kepada rekan-rekan kerjanya, termasuk bosnya yang bersembunyi di ruang kerjanya.

Pak Hendra mendatangi satu-persatu kubikel rekan kerjanya. Masker yang menutupi wajah-wajah mereka membuat Pak Hendra tidak bisa membaca ekspresi wajah mereka. 

Setelah pamit dengan rekan-rekan kerjanya, dia berjalan menuju ruangan bosnya. Dia mengetuk pintu. Si bos mendongakkan kepalanya. Dengan isyarat, dia mempersilakan Pak Hendra duduk.

“Terima kasih banyak Pak atas bimbingan Bapak selama ini”.

“Sama-sama Pak Hendra”.

“Oh ya Pak, semua dokumen serah terima sudah saya serahkan ke Tari ya, Pak. File-file masih di komputer. Saya tidak sempat meng-copy file ke server divisi. Nanti Bapak bisa minta orang IT untuk akses ke komputer saya”.

“OK, Pak Hendra”.

Pak Hendra merasa tidak ada lagi yang mau dibicarakan. Dia lalu bersiap-siap beranjak dari kursinya.

“Saya pamit ya, Pak”.

“Baik, Pak Hendra”.

Pak Hendra berjalan meninggalkan ruangan bosnya. Belum sampai di depan pintu, tiba-tiba bosnya berkata, “Tunggu sebentar, Pak Hendra”.

Pak Hendra pun menghentikan langkahnya. Bosnya beranjak dari kursi dan berjalan mendatangi Pak Hendra.

“Saya minta maaf, Pak Hendra. Keputusan ini di luar wewenang saya,” ucap si bos.

Nggak apa-apa, Pak. Saya pasrah. Mari Pak,” jawab Pak Hendra.

Setelah berpamitan, Pak Hendra berjalan menuju kubikel Tari. Berdua mereka keluar dari ruangan. Di dalam lift, mereka hanya diam. Memang selama pandemi dilarang berbicara dalam lift. 

Tapi suasana diam kali ini lebih karena rasa canggung. Setelah keluar dari lift, Pak Hendra dan Tari menuju speed gates, lalu berjalan ke arah pintu ke luar.

Good luck ya, Pak Hendra”.

“Terima kasih, Tari,” kata Pak Hendra sambil menyerahkan kartu aksesnya ke Tari.

Tari kembali masuk ke gedung kantor, sedang Pak Hendra tetap berdiri di tempat. Ke mana dia sekarang akan pergi? Apa yang akan dia katakan kepada istrinya?.

Saat dia hendak melangkah, tak sengaja matanya melihat Pak Iqbal dari divisi lain sedang membawa kotak kertas fotocopy ukuran A4. Ternyata Pak Iqbal juga bernasib sama seperti dirinya. Pak Iqbal juga sudah cukup lama bekerja di tempat ini. Mereka seumuran. Dan sekarang mereka berdua adalah orang-orang kalah.

“Pulang Pak?” tanya Pak Hendra.

“Iya Pak,”, jawab Pak Iqbal. Ada kesedihan di bola matanya.

“Pulang ke arah mana, Pak?” Pak Hendra lanjut bertanya.

“Ke arah Jonggol, Pak. Saya naik bus di depan sana. Mari Pak Hendra,” kata Pak Iqbal sambil menenteng kotak kertas fotocopy-an itu bersamanya.

“Silakan, Pak,” balas Pak Hendra.

Sebenarnya Pak Hendra ingin mengajak Pak Iqbal mengobrol. Tapi tampaknya Pak Iqbal tidak tertarik untuk mengobrol. Pak Hendra lalu melanjutkan perjalanannya menuju stasiun kereta dengan berjalan kaki. 

Pikirannya kacau. Segala macam hal muncul bersamaan sekaligus. Sesampai di stasiun kereta, dia duduk di bangku tunggu. Belum banyak orang yang menunggu kereta. Sekarang masih jam 4.30. sore.

Didengarnya pengumuman kereta menuju Bogor akan tiba 10 menit lagi. Pak Hendra masih gundah di bangkunya. Apa yang harus dia katakan pada istri dan anak-anaknya? 

Rasanya malu sekali mengatakan pada istri, terutama pada anak-anaknya, bahwa dia di-PHK. Dia merasa kalah, tidak bisa menjadi ayah yang dapat dibanggakan oleh anak-anaknya.

Di sisi lain, Pak Hendra bersyukur cicilan rumahnya sudah lunas dua tahun lalu. Yang ada tinggal cicilan motor yang baru saja dibeli tahun lalu. Tapi bagaimana selanjutnya? Apa yang harus dia lakukan? Usianya tidak lagi muda, sudah 50 tahun. Di dunia kerja yang serba cepat saat ini, dia pasti kalah bersaing dengan orang-orang yang usianya lebih muda.

Berapa lama dia harus menganggur sebelum mendapat pekerjaan baru? Bagaimana kalau uang pesangonnya habis sebelum dia mendapat pekerjaan baru? Ditambah istrinya tidak  bekerja, hanya ibu rumah tangga.  Selama ini, satu-satunya pemasukan cuma dari gajinya.

Mau buka usaha, usaha apa? Dia merasa tidak punya bakat enterpreneur dan uang pesangonnya juga tidak seberapa. Bagaimana dengan anak sulungnya yang akan masuk kuliah bulan Juli ini? Bagaimana dengan dua anaknya yang lain yang masih duduk di bangku SMP dan SMA?

Bagaimana kalau dia berpura-pura bekerja seperti biasa saja besok? Satu ide muncul dalam pikirannya. Tapi istrinya pasti tahu karena bulan depan dia tidak akan menerima gaji. 

Selama ini dia cukup terbuka dengan istrinya soal keuangan. Rasanya dia tidak tega membohongi istrinya. Lantas, apa lagi yang harus dilakukan? Dia benar-benar bingung.

Kereta menuju Bogor sudah berangkat 15 menit yang lalu. Dan sekarang, kereta berikutnya sudah tiba. Orang-orang berhamburan keluar dari kereta. Lalu segera orang-orang yang sedari tadi menunggu di peron masuk ke dalam gerbong kereta. Namun Pak Hendra masih duduk di bangkunya.

Hari sudah gelap. Sekarang sudah 10 kereta yang lewat. Pak Hendra masih tetap duduk di bangkunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun