Laki-laki berpikir keras menjawab pertanyaan yang baru saja didengarnya. Lalu laki-laki itu mencoba mengutarakan pendapatnya, “Mungkin karena kita sudah terbiasa dengan model hidup seperti ini. Mungkin banyak orang merasa ya hidup memang seperti ini. Boro-boro kepikiran untuk merubah, apa ada yang salah saja mungkin tidak kepikiran”
“Kalau kamu tidak perlu memikirkan tentang uang untuk bertahan hidup dan segala tetek bengek lainnya, apa yang akan kamu lakukan?” tanya perempuan itu.
“Hmmm. Apa ya? Terus terang aku belum pernah berpikir tentang ini.”
“Sebenarnya aku lebih senang melukis bentang alam,” laki-laki itu menjawab sambil mengingat-ingat kecintaannya pada melukis sejak masa kecil.
“Terus, kenapa kamu tidak jadi pelukis?” tanya perempuan itu lagi.
“Ya, karena jadi seniman itu penghasilannya tidak tetap. Tidak ada jaminan masa depan, kecuali kalau dia berbakat luar biasa. Kalau kamu sendiri, hidup seperti apa yang kamu inginkan?”
“Aku sebenarnya senang mengamati alam, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan. Aku senang memikirkan mengapa yang satu begini, yang lain begitu. Aku selalu terpesona dengan beraneka ragam makhluk. Aku merasa alam sangat luar biasa dan aku merasa kecil di hadapannya. Tapi sama seperti alasanmu, menjadi ilmuwan bukan hal yang mudah. Menghabiskan waktu bertahun-tahun mengamati satu hal belum tentu dihargai.”
“Seandainya aku tak perlu memikirkan uang dan bagaimana bertahan hidup, aku akan tinggal di desa. Membaca buku-buku dan menulis apa saja yang terlintas di benakku. Termasuk hasil pengamatanku tentang alam. Dan mungkin juga puisi”, kata perempuan itu.
“Menjadi penulis sama saja tidak ada masa depannya, bukan?” tanya laki-laki itu.
“Iya, makanya aku tidak memilih menjadi penulis. Mau makan apa?” ujarnya. Lalu perempuan itu pun terdiam.
“Sepertinya aku mengerti sekarang. Kamu merasa terjebak menjalani hidup yang tidak kamu inginkan demi kemapanan hidup?” laki-laki itu kembali angkat bicara.
“Kamu benar. Demi hidup yang dianggap “normal”. Tapi sekarang jiwaku gelisah. Aku tidak bisa tidur. Selalu kepikiran, apakah hidup hanya seperti ini? Apa ada cara lain untuk hidup? Bagaimana kalau aku tinggalkan semuanya? Sayangnya aku tidak punya keberanian. Dan aku juga tidak tahu kemana akan pergi. Ini yang membuatku marah pada sendiri,” jelas perempuan itu.
Raut wajah perempuan itu semakin sedih. Sepertinya dia berusaha menahan tangisnya. Padahal kalaupun dia menangis, laki-laki itu tidak keberatan. Kadang airmata adalah cara berbicara dalam diam saat mulut tidak dapat lagi berucap.
Laki-laki itu kemudian bertanya, “Apa itu yang membuat kamu depresi?”
“Kata psikolog yang kudatangi, itu salah satu penyebabnya,” jawabnya.
“Aku sudah beberapa kali konseling dengan orang-orang yang aku anggap bijaksana sebelum bertemu psikolog ini. Jawabannya semuanya sama, aku kurang iman. Aku ngak tahu apakah aku punya iman atau tidak. Aku hanya merasa hidupku hampa. Aku belum mau mati. Tapi aku sendiri ngak tahu apa gunanya hidup,” tambahnya.