Perempuan itu berjongkok mengamati serumpun bunga liar yang tumbuh di sepetak tanah kosong. Disentuhnya bunga-bunga liar itu dengan penuh perasaan. Lama dia berjongkok seakan-akan sedang bercengkrama dengan bunga-bunga liar itu.
“Aneh,” batin seorang laki-laki muda yang sedang duduk di bangku kayu di taman itu. Taman ini penuh dengan beraneka ragam bunga berwarna warni. Di dekat buang-bunga liar itu tumbuh sekumpulan bunga mawar; ada yang berwarna merah, putih, merah muda, ungu, dan kuning. Di seberangnya, ada bunga bougenvile yang tak kalah semaraknya, masing-masing batang pohon setidak-tidaknya ada tiga jenis warna bunga.
Di sebelah taman ini, ada taman dengan gaya Renaissance Prancis dengan bunga-bunga yang tertata rapi layaknya taman di istana Versailles. Tidak jauh dari sana, ada taman dengan nuansa Jepang yang dipenuhi dengan bonsai-bonsai dan kolam-kolam kecil yang dihubungkan jembatan-jembatan kayu yang indah.
Lalu mengapa perempuan itu malah mengagumi bunga-bunga liar itu seolah-olah bunga-bunga liar itu telah menghipnotisnya? Laki-laki itu tak habis pikir. Matanya tak dibiarkannya beralih pandangan dari perempuan itu.
Tak lama kemudian, perempuan itu berdiri, lalu berjalan menuju ke arahnya. Si lelaki berpura-pura memandangi bunga-bunga di kanopi. Dia tak mau kalau perempuan itu tahu dia memperhatikannya dengan seksama.
“Maaf, boleh saya duduk di sini?” tanya perempuan itu.
Laki-laki itu menyahut, “Silakan!”
“Maaf kalau menggangu,” tambahnya.
“Ah, ngak apa-apa kok,” sahut laki-laki itu.
Perempuan itu duduk di sebelah laki-laki itu. Matahari sudah meninggi, udara mulai terik. Perempuan itu mengeluarkan sebotol air minum dari tas kecilnya.
“Panas ya,” katanya.
“ Iya. Untung ada kanopi bunga. Jadi ada tempat berteduh,” sahut lelaki itu.
Mereka berdua lalu terdiam sejenak. Laki-laki itu melirik dalam diam wajah perempuan itu. Ada kesedihan di kedua bola matanya. Tampaknya perempuan itu sedang memikirkan sesuatu dalam lamunannya. Lelaki itu memberanikan diri mencoba membuka percakapan.
“Maaf, saya tadi melihat kamu sedang berjongkok di sana. Kayaknya kamu sangat tertarik dengan bunga-bunga liar tadi. Biasanya orang-orang datang ke sini untuk melihat bunga-bunga di taman. Kamu justru tertarik dengan bunga liar. Kalau boleh tahu, apa ada alasan tertentu?” tanya lelaki itu. “Tapi kalau kamu keberatan menjawab, tidak ada apa-apa,” buru-buru dia menambahkan.
Perempuan itu menjawab “Aku dari dulu memang senang lihat bunga-bunga liar. Kalau kamu tanya alasannya, aku juga ngak tahu. Mungkin karena bunga-bunga liar ini mengingatkanku akan diriku sendiri”.
“Maksudmu?” laki-laki itu bertanya lagi.
“Dalam banyak hal, aku merasa diriku sama seperti bunga liar. Kamu tahu bunga-bunga liar itu tumbuh dengan sendirinya, bukan sengaja ditanam seperti bunga-bunga lain. Entah darimana benihnya datang. Bunga-bunga ini tak pernah dianggap indah oleh orang-orang. Kadang malah dianggap seperti rumput yang kehadirannya tak diinginkan,” perempuan itu menjelaskan.
Laki-laki itu cukup terkejut mendengar perkataan perempuan itu. Jarang-jarang dia bertemu dengan orang baru, langsung menceritakan sesuatu yang personal. Tapi anehnya, dia merasa nyaman dan tidak merasa terganggu. Dia malah justru ingin tahu lebih banyak tentang perempuan pencinta bunga liar ini.
“Menurutmu, apa bunga-bunga liar itu jelek?” perempuan itu bertanya balik.
“Jelek sih ngak. Cuma memang kalau dibandingin dengan bunga-bunga lain, mungkin kurang menarik ya.”
“Benarkah? Menurutku justru bunga-bunga liar itu lebih indah walaupun mahkota bunganya tidak sebesar bunga-bunga lain. Terus, warna-warnanya juga ngak kalah bagus dengan bunga-bunga lain.”
“Yang menarik buatku, bunga-bunga itu kan tidak dipelihara, tumbuh saja dengan sendirinya. Tidak disirami, tidak diberi pupuk. Tidak ada juga yang menyiangi rumput-rumput di sekitarnya. Tapi entah bagaimana, bunga-bunga liar ini justru tetap bisa berbunga warna warni. Kalau dipikir-pikir, bisa saja bunga-bunga ini tidak berbunga atau mati kekeringan misalnya.”
“Oh, aku kira aku menangkap maksudmu. Di tengah keterbatasannya dan perjuangannya untuk bertahan hidup, bunga-bunga ini justru berusaha semaksimal mungkin berbunga sejauh yang dia mampu. Itukah yang membuatmu tertarik?” ujar laki-laki itu.
“Tepat sekali. Itu yang membuat bunga-bunga liar justru lebih indah.”
“Aku jadi ingat cerita bunga mawar di novel Pangeran Kecil?”
“Kamu pernah baca novel Pangeran Kecil? Itu salah satu novel kesukaanku lho. ”
“Iya, aku dulu pernah baca. Jadi menurutmu perjuangan bunga liar untuk bertahan hidup itu yang membuat bunga-bunga itu jadi lebih indah? Semacam inner beauty barangkali?”
“Benar sekali.”
Kali ini perempuan itu mengarahkan wajahnya berhadap-hadapan langsung dengan wajah lelaki itu. Kedua pasang mata mereka beradu.
“Terus terang, baru kali ini ada orang yang memahami kenapa aku menyukai bunga liar. Biasanya orang-orang bilang aku aneh. Ngak punya sense of art. Kelihatannya kamu tipe orang yang toughtful.”
“Ngak juga. Tapi aku memang suka baca buku-buku yang perlu berpikir sedikit.”
“Aku rasa selera kita sama.”
“Terus, menurutmu apa persamaan kamu dengan bunga-bunga liar itu? Maaf kalau aku lancang bertanya,” lelaki itu bertanya.
“Apa kamu pernah merasa kamu berada di tempat yang salah di waktu yang salah? Maksudku, kamu seperti missfit? Itu yang aku rasakan. Entah kenapa aku merasa berbeda. Aku tidak bisa “masuk” ke orang-orang di sekitarku, bahkan ke keluargaku sendiri,” perempuan itu menjawab sambil menggerakkan kedua tangannya membentuk tanda petik.
“Apa kamu pernah bertanya apa arti hidup ini?” lanjutnya lagi.
“Kalau yang kamu maksud tujuan hidup, aku pernah merenungkan. Dulu, setelah lulus kuliah.”
“Kalau sekarang, apa kamu pernah memikirkannya kembali?”
“Terus terang ngak. Sekarang aku lebih mengikuti rutinitas.”
“Apa kamu merasa bahagia? Maksudku, pernahkah terlintas dalam pikiranmu ada yang salah dengan hidup yang dijalani? Hidup tidak sekedar bangun tidur, mandi, bersiap-siap pergi kerja, lalu sore pulang ke rumah, makan malam, istirahat, tidur, besok pagi bangun lagi. Begitu terus setiap hari.”
“Kadang kepikiran sih kalau lagi jenuh. Tapi ya sudah dijalani saja.”
“Tapi kamu bahagia?”
“Kalau dibilang bahagia sih ngak juga ya. Ngak semua yang aku impikan aku dapat. Tapi kalau dibilang menderita juga ngak. Setidak-tidaknya, aku bisa memenuhi kebutuhan hidup. Ya, hidup mengalir begitu saja. Memang kadang-kadang aku merasa kosong.”
“Bagaimana denganmu sendiri? Apa kamu bahagia?” tanya lelaki itu.
“Jujur, aku merasa tidak bahagia. Dalam banyak hal, ya itu tadi aku merasa missfit. Aku merasa seperti terseok-seok dalam hidup. Seperti tersesat. Tapi aku sendiri tidak tahu apa yang aku cari. Aku merasa tidak siap menjalani hidup sebagai seorang dewasa. Terlalu banyak kepura-puraan. Terlalu banyak yang aku tidak pahami.”
Lalu lelaki itu bertanya, “Apa kamu bekerja?”
Perempuan itu menjawab, “Iya, aku bekerja. Sebenarnya aku merasa dunia kerja tidak cocok denganku. Terus terang, aku muak lihat orang-orang sikut-menyikut hanya demi jabatan. Segala cara dilakukan untuk menjatuhkan orang lain. Kadang-kadang malah sampai membuat orang lain dipecat. Aku ngak habis pikir. Kok tega ya sampai segitunya."
"Aku pernah melihat orang-orang terdekatku yang dipecat ataupun disingkirkan, ditikam dari belakang. Aku sendiri pernah mengalami langsung ditikam dari belakang. Beberapa kejadian ini membuatku depresi. Itu juga yang membuatku bertanya-tanya kehidupan seperti apa sebenarnya yang kita jalani.”
Perempuan itu terdiam sejenak, lalu menghela napas. Laki-laki tidak berkata apa-apa. Hanya mendengarkan dengan seksama dalam diam. Dalam hatinya, dia mengerti apa yang dirasakan perempuan itu.
Dia pun sebenarnya jengah dengan dunia kerja yang dilakoninya. Berpura-pura manis di depan orang lain untuk menghindari masalah. Entah berapa kali dia harus membungkam dirinya sendiri untuk tidak berkomentar apa-apa walaupun dia tidak setuju. Cari aman, itulah yang selama ini dia lakukan.
“Aku bukan orang religius. Aku tidak seperti orang-orang yang percaya begitu saja apa yang dikatakan kitab suci ataupun yang dikatakan para ulama. Bagiku ada ribuan pertanyaan yang aku ingin tanyakan pada Tuhan. Kalau aku tahu cara menggedor pintu surga, pasti akan kulakukan”, katanya dengan senyum kecut.
“Tapi aku punya pemikiran pada akhirnya kita akan mati. Toh kita mati tidak bawa apa-apa, bukan? Lantas untuk apa kita harus saling menghancurkan satu sama lain hanya demi naik ke puncak? Apa kita tidak bisa ke puncak bersama-sama? Terus terang, ini yang menggangu pikiranku akhir-akhir. Aku syok, aku tidak menyangka orang dapat berbuat kejam pada orang lain. Kamu bisa bilang aku naif, tapi aku tak bisa membohongi diriku, aku benar-benar terguncang.”
“Menurutku, kehidupan orang dewasa itu kejam. Aku jarang sekali bertemu orang-orang yang benar-benar baik dan tulus. Terus terang, aku merindukan kesederhanaan dan ketulusan seperti anak kecil. Aku merasa kehilangan.”
“Kalau aku cerita dengan orang-orang yang aku kenal, pasti tanggapannya aku jangan terlalu negative thinking. Di mana-mana, kondisinya sama saja. Tidak ada yang ideal di dunia ini. Terima saja, beradaptasi, ikuti permainan.
"Aku sering bertanya-tanya permainan macam apa yang sebenarnya kita mainkan? Apakah untuk bertahan dalam permainan ini kita harus membohongi diri sendiri, menutup mata dari sekeliling?”
“Aku sudah terbiasa mendengarkan komentar orang-orang, termasuk teman-teman dekatku. ‘Namanya juga hidup’. Itu jawaban yang selalu aku dengar. Itu sebabnya aku merasa tidak cocok di dunia orang dewasa. Aku merasa seperti orang asing ,” tambahnya.
Laki-laki hanya diam mendengarkan tanpa memberikan komentar.
“Maaf, aku jadi cerita panjang lebar. Padahal kita baru kenal”
“Tidak ada-apa. Aku bisa sedikit memahami,” kata laki-laki itu.
“Kamu pernah tidak berpikir menjadi orang gila itu lebih bahagia? Setidak-tidaknya orang gila bebas menjadi dirinya sendiri. Mereka tidak perlu berpura-pura. Kadang-kadang aku iri dengan kebebasan orang gila.”
“Aku rasa kamu benar juga ya. Kadang-kadang menjaga image diri sendiri dan menjaga perasaan orang lain memang melelahkan,” jawab laki-laki itu.
“Menurutmu apa itu normal, apa itu gila? Siapa yang berhak memvonis bahwa ini gila ini tidak? Apakah saat kita berusaha menyesuaikan diri walaupun bertentangan dengan diri sendiri, itu dikatakan normal? Bukannya itu berarti kita tidak “normal” dengan diri sendiri?"
"Apakah suskes itu berarti kalau kita berhasil mengikuti jalan hidup seperti orang banyak? Bagaimana kalau kita mengambil jalan yang berbeda? Apakah ini berarti kita gila? Bukankah sukses itu kalau kita berhasil menjadi diri sendiri sesuai tujuan kita diciptakan?” perempuan itu bertanya.
“Kalau kita adakan survey, menurutmu berapa persen orang-orang di dunia yang bahagia dengan hidupnya?”, lanjut perempuan itu.
“Hhhmm. Coba ya aku pikir dulu. Mungkin hanya sepuluh persen,” ujar laki-laki itu.
“Menurutku juga begitu. Mungkin malah lebih kecil. Pertanyaannya, kalau banyak orang tidak bahagia dengan hidup seperti yang kita jalani saat ini, kenapa tidak kita hentikan saja? Kenapa kita tidak mencari model yang cocok dengan kita?”
Laki-laki berpikir keras menjawab pertanyaan yang baru saja didengarnya. Lalu laki-laki itu mencoba mengutarakan pendapatnya, “Mungkin karena kita sudah terbiasa dengan model hidup seperti ini. Mungkin banyak orang merasa ya hidup memang seperti ini. Boro-boro kepikiran untuk merubah, apa ada yang salah saja mungkin tidak kepikiran”
“Kalau kamu tidak perlu memikirkan tentang uang untuk bertahan hidup dan segala tetek bengek lainnya, apa yang akan kamu lakukan?” tanya perempuan itu.
“Hmmm. Apa ya? Terus terang aku belum pernah berpikir tentang ini.”
“Sebenarnya aku lebih senang melukis bentang alam,” laki-laki itu menjawab sambil mengingat-ingat kecintaannya pada melukis sejak masa kecil.
“Terus, kenapa kamu tidak jadi pelukis?” tanya perempuan itu lagi.
“Ya, karena jadi seniman itu penghasilannya tidak tetap. Tidak ada jaminan masa depan, kecuali kalau dia berbakat luar biasa. Kalau kamu sendiri, hidup seperti apa yang kamu inginkan?”
“Aku sebenarnya senang mengamati alam, tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan. Aku senang memikirkan mengapa yang satu begini, yang lain begitu. Aku selalu terpesona dengan beraneka ragam makhluk. Aku merasa alam sangat luar biasa dan aku merasa kecil di hadapannya. Tapi sama seperti alasanmu, menjadi ilmuwan bukan hal yang mudah. Menghabiskan waktu bertahun-tahun mengamati satu hal belum tentu dihargai.”
“Seandainya aku tak perlu memikirkan uang dan bagaimana bertahan hidup, aku akan tinggal di desa. Membaca buku-buku dan menulis apa saja yang terlintas di benakku. Termasuk hasil pengamatanku tentang alam. Dan mungkin juga puisi”, kata perempuan itu.
“Menjadi penulis sama saja tidak ada masa depannya, bukan?” tanya laki-laki itu.
“Iya, makanya aku tidak memilih menjadi penulis. Mau makan apa?” ujarnya. Lalu perempuan itu pun terdiam.
“Sepertinya aku mengerti sekarang. Kamu merasa terjebak menjalani hidup yang tidak kamu inginkan demi kemapanan hidup?” laki-laki itu kembali angkat bicara.
“Kamu benar. Demi hidup yang dianggap “normal”. Tapi sekarang jiwaku gelisah. Aku tidak bisa tidur. Selalu kepikiran, apakah hidup hanya seperti ini? Apa ada cara lain untuk hidup? Bagaimana kalau aku tinggalkan semuanya? Sayangnya aku tidak punya keberanian. Dan aku juga tidak tahu kemana akan pergi. Ini yang membuatku marah pada sendiri,” jelas perempuan itu.
Raut wajah perempuan itu semakin sedih. Sepertinya dia berusaha menahan tangisnya. Padahal kalaupun dia menangis, laki-laki itu tidak keberatan. Kadang airmata adalah cara berbicara dalam diam saat mulut tidak dapat lagi berucap.
Laki-laki itu kemudian bertanya, “Apa itu yang membuat kamu depresi?”
“Kata psikolog yang kudatangi, itu salah satu penyebabnya,” jawabnya.
“Aku sudah beberapa kali konseling dengan orang-orang yang aku anggap bijaksana sebelum bertemu psikolog ini. Jawabannya semuanya sama, aku kurang iman. Aku ngak tahu apakah aku punya iman atau tidak. Aku hanya merasa hidupku hampa. Aku belum mau mati. Tapi aku sendiri ngak tahu apa gunanya hidup,” tambahnya.
Dia lalu terdiam memandangi pavling blok di bawah kakinya. Entah apa yang dipikirkannya. Laki-laki itu hanya mengamati tanpa bicara. Dia menunggu perempuan itu melanjutkan ceritanya.
Sejujurnya dia pun mengalami hal yang sama. Dia merasa hidupnya hampa. Berkejaran-kejaran dengan waktu di hari kerja. Kadang-kadang dia harus lembur di akhir pekan. Perjalanan karirnya bisa dibilang lancar. Hidupnya bisa dibilang mapan. Tapi dia tidak merasa bahagia.
Bedanya, dia seringkali menutup telinganya dan bersikap masa bodoh kala hatinya berbicara. Kalau sedang tidak lembur, dia akan menghabiskan waktunya untuk tidur. Berharap saat bangun, dia akan melupakan kegundahan hatinya.
Tidak terasa, matahari sudah condong ke barat. Semburat kuning di langit sudah muncul. Sebentar lagi taman ini akan ditutup.
“Sepertinya sebentar lagi taman ini akan ditutup,” kata laki-laki itu.
“Iya, kamu benar. Itu orang-orang sudah pada keluar. Terima kasih ya sudah mau mendengarkan. Anggap saja ini ocehan orang gila”, ujar perempuan itu sambil tersenyum.
“Kamu pulang ke arah mana? Mau kuantar?” tanya laki-laki itu lagi.
“Tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri. Aku masih mau berjalan-jalan”, jawab perempuan itu.
“OK kalau begitu. Senang bertemu dan ngobrol denganmu.”
“Aku juga. Kapan-kapan kita bisa bertemu lagi di sini,” sambung perempuan itu.
Setiap minggu selama tiga bulan sejak pertemuan mereka, laki-laki itu mengunjungi taman itu. Sengaja dia duduk di bawah kanopi dekat bunga-bunga liar tumbuh. Berharap perempuan itu muncul dan duduk di sampingnya. Sayangnya bunga-bunga liar itu tidak ada lagi di sana. Dan perempuan itu juga tidak ada di sana.
“Sayang aku tidak tanya nama perempuan itu,” ujarnya dalam hati. Tapi dia tetap menunggu, berharap perempuan itu muncul. Sampai taman itu ditutup, perempuan itu belum juga menampakkan batang hidungnya. Akhirnya laki-laki keluar dari taman dan berjalan menuju ke lapangan parkir.
“Aku harap dia menemukan bunga-bunga liar di tempat lain”, kata laki-laki itu sambil mengarahkan pandangannya ke arah taman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H