Ternyata punya pikiran yang ngalor ngidul tak tentu arah memang merepotkan. Suka bertanya hal-hal yang gak ada juntrungannya. Ya ngerepotin diri sendiri karena frustasi tak menemukan jawaban. Ngerepotin orang lain karena dikira nantangin dan dianggap memberontak.
Saya ingat waktu saya makan bareng dengan teman baik saya di salah satu restoran Jepang. Kami makan sambal ngobrol. Waktu saya baru saja menyantap sepotong sushi, saya tiba-tiba terdiam.Â
Lalu saya ngomong, "Kok orang Jepang kepikiran ya buat sushi? Kok tahu nasinya harus digulung? Idenya darimana?" Teman saya pun terkejut mengapa tiba-tiba saya ngomong kayak gini.Â
Padahal tadi bicara hal lain yang tidak ada hubungannya dengan makanan Jepang. "Barusan kepikiran aja," jawab saya. "Ya elah, makan mah makan aja, gak usah mikirin macam-macam."Â
Eh, saya malah nyambung "Iya, penasaran. Kok orang-orang dulu tahu cara masak nasi harus begini, cara masak ikan harus begini? Dulu awalnya gimana sih sampai bisa tahu cara masak dan bumbunya apa?"
Teman baik sayapun tertawa. "Elu tuh ya, makan aja sambil mikir."
"Kagak mikirin sih. Tiba-tiba aja muncul di kepala." Berhubung dia sudah kenal saya dengan baik, dia bisa menerima pikiran ngalor ngidul saya ini.
Pernah juga saat lagu salah satu band terkenal yang liriknya "kaki di kepala, kepala di kaki" diputar di tempat makan, tiba-tiba saya membayangkan gimana ya kalau kaki di kepala, kepala di kaki. Berhubung saya senang makan, yang langsung kepikiran gimana nanti makannya ya? Pikiran ngalor ngidulpun berlanjut.Â
Apa yang terjadi kalau misalnya anggota tubuh kita berganti posisi? Kok bisa ya manusia punya anatomi kayak gini, burung kayak gitu. Gimana ya cara ngaturnya? Ha ha ha. Pusing gak ketemu jawabannya. Gak kebayang kalau posisi anggota tubuh acak kadut, kayak gimana kita jadinya.
Ternyata kalau saya telisik, pikiran ngalor ngidul saya sudah dimulai sejak saya duduk di bangku SD. Saya lupa tepatnya kelas berapa, kami lagi belajar tentang klorofil.Â
Kalau sudah pada lupa apa itu klorofil, saya ingatkan lagi kalau klorofil itu zat hijau yang digunakan dalam proses fotosintesis tumbuhan. Terus, fotosintesis itu apa? Kalau kebanyakan nanya, nanti saya gak selesai-selesai nulis cerita. He he he.Â
Nah, pas jam istirahat, saya berkumpul bersama teman-teman. Kebetulan di depan kami ada beberapa pohon dan tanaman hias. Tiba-tiba saya nyeletuk, "Kok daun warna hijaunya beda-beda ya? Itu klorofilnya sama apa beda? Atau itu karena ada yang klorofilnya banyak, ada yang sedikit?"
Bayangkan, apa gak kaget teman-teman saya. Wong lagi asyik main-main, kok nanya yang ora mutu gini. Kesambet setan apa nih anak. Ha ha ha.
Tadinya saya berencana mau tanya ke guru saya. Tapi berhubung minggu lalu sudah disemprot, saya urungkan niat saya. Minggu sebelumnya, kami belajar tentang bumi dan antariksa.
Guru saya menjelaskan bawah matahari adalah salah satu bintang. Matahari dan planet-planet yang mengitarinya, termasuk bumi, ada dalam galaksi bima sakti. Nah, selain galaksi bimasakti, masih banyak galaksi lain di ruang angkasa. Berhubung saya tertarik dengan astronomi dan sering mengamati langit saat malam hari, muncul lagi pertanyaan ngalor ngidul ala saya.Â
Saya tanya ke guru saya, "Bu guru, di ruang angkasa kan banyak planet. Tapi yang didiami cuma bumi ya, Bu? Bu guru pun menjawab "Iya, untuk saat ini, hanya bumi yang diketahui dihuni manusia"Â
"Terus planet lain apa benar-benar tidak ada penghuninya, Bu?" Saya tanya begini karena tiba-tiba ingat film Startrek.Mulai bu guru kelihatan bingung. "Sampai sekarang hanya bumi yang ada penghuninya,"Â
Lalu saya nanya lagi, "Lha, kalau cuma bumi yang dihuni, ngapain repot-repot ada banyak planet segala?"Â
Sejenak bu guru dan teman kelas pada kaget. Mungkin guru saya berpikir "Ini anak gendeng. Ya suka-suka yang ciptain lah."Â
Eh, belum lagi bu guru menjawab pertanyaan tadi, saya sudah komat kamit nanya lagi "Bu Guru, matahari kan termasuk bintang yang menyinari planet-planet di galaksi bimasakti.Â
Tadikan Ibu bilang ada jutaan bintang di ruang angkasa. Bintang-bintang lain menyinari apa ya, Bu? Kalau matahari kan jelas menyinari bumi supaya tumbuhan bisa tumbuh. Tumbuhan dimakan hewan, hewan dimakan manusia. Ibu bilang planet lain tidak dihuni manusia. Jadi apa gunanya berjuta-juta bintang bersinar?Â
Terus, kok bisa bintang-bintang membentuk rasi bintang dan beda-beda bentuknya? Gimana cara ngaturnya? Makin pusing tujuh kelilinglah guru saya.Â
Akhirnya beliau sedikit emosi dan menyuruh saya diam. Semua yang diciptakan Tuhan sempurna, begitu penjelasan bu guru. Di lain waktu kalau saya bertanya, diladenin belakangan. Daripada merusak suasana kelas. He he he.
Nah, saat naik ke kelas berikutnya, saya mempelajari tentang dunia hewan dan tumbuhan. Untung guru IPA-nya bukan guru sebelumnya. Kalau guru yang sama, mungkin bu guru sudah malas duluan mengajar di kelas saya. Di sini, saya nanya lagi. Kok burung dan ikan bisa berwarna warni? Awalnya kan cuma dari telur.Â
Warna-warnanya nempel di mana? Ha ha ha. Maklum, waktu itu kan belum belajar kromosom, DNA, dsb. Terus, misalkan burung atau ikan sama-sama ada warna birunya. Apakah zat warna birunya jenisnya sama atau berbeda?
Bagaimana dengan bunga, apakah zat warna pada bunga sama dengan zat warna pada burung atau ikan? Waduh, bu guru pun bingung. "Kita selesaikan bab ini dulu ya, biar bukunya bisa selesai dipelajari sebelum ujian akhir", Begitu respon guru saya.
Memasuki SMP, pikiran ngalor ngidul saya ini bukannya berhenti atau paling tidak berkurang, eh malah menjadi-jadi. Saat belajar siklus hidrologi, di mana air dari bumi menguap ke atmosfer, lalu terkondensasi dan turunlah hujan atau salju. Nah, kalau hujan kan biasa kita alami di Indonesia. Kalau salju bagaimana?Â
Kan musim salju itu waktunya tertentu. Apa gak berat tuh awan nampung uap air selama 9 bulan sebelum turun salju? Atau memang awan di daerah 4 musim ada khusus semacam "gudang salju"? Ha ha ha. Waduh, terpaksa pak guru berpikir keras. Saya lupa apa penjelasan beliau waktu itu.
Kalau waktu SD, saya banyak bertanya tentang IPA, di SMP pikiran ngalor ngidul ini juga merambah ke bahasa Indonesia. Benar-benar kurang kerjaan. Saat mempelajari tentang sastra Indonesia, pak guru menjelaskan tentang angkatan sastra Indonesia.Â
Saya lupa klasifikasinya seperti apa. Bagi yang berniat mencari tahu, bisa googling dulu. He he he. Untuk tiap angkatan sastra, setiap murid ditugaskan membuat resensi dari sebuah karya sastra dan hasilnya dibacakan di depan kelas. Murid-murid dibebaskan memilih judul karya sastra yang ingin dipelajari.Â
Terus terang, saya senang diberi tugas ini. Di sinilah saya menemukan kecintaan saya dengan dunia sastra. Dan muncul kekaguman dengan para sastrawan/wati yang dengan keterbatasan pendidikan dan fasilitas, dapat menghasilkan karya yang menurut saya everlasting. Tapi ada satu hal yang membuat saya kesulitan untuk menikmati karya sastra tempoe doloe, bahasanya sulit dipahami.
Dan menurut saya waktu itu, terlalu ribet diucapkan dalam percakapan sehari-hari. Saya nanya lagi ke pak guru, "Pak, memangnya orang dulu kalau ngomong mesti kalimatnya ribet kayak gini ya?" Mungkin dalam hati guru saya, "Mana ketehe, wong saya juga belum lahir waktu itu" Ha ha ha.
Melanjutkan ke SMU, pikiran ngalor ngidul ini naik tingkat merambah pelajaran ekonomi dan sosiologi. Waktu saya SMU, pada tahun pertama dan kedua, semua pelajaran dipelajari. Baru tahun berikutnya ada pembagian jurusan: IPA, IPS dan bahasa. Khusus untuk pelajaran ekonomi dan sosiologi, saya merasa urusan definisi suatu istilah benar-benar merepotkan.Â
Untuk 1 istilah, bisa lebih dari 3 definisi. Menurut pandangan awam saya waktu itu, intinya mah sama saja. Cuma yang 1 menekankan apa, yang lain menekankan apa.Â
Saya lebih senang sesuatu yang straight forward, to the point. Urusan definisi ini agak menjengkelkan buat saya. Padahal justru itu yang masuk jadi soal ujian.Â
Nah, saya pun berdebat dengan teman sebangku. Guru saya yang waktu itu merasa tidak diperhatikan langsung memberikan 3-point shot pakai penghapus papan tulis. Sejak itu, saya agak malas bertanya karena takut kena 3-point shot. Ngomong-ngomong, kalau generasi Z diperlakukan begini, mungkin gurunya sudah dilaporkan ke polisi kali ya.Â
Kembali ke cinta pertama saya, bumi dan antariksa. Saat itu di pelajaran fisika membahas tentang gaya tarik menarik antara benda angkasa dengan benda angkasa lainnya. Kalau tidak salah, ibu guru menjelaskan keseimbangan gaya tarik menarik inilah yang menyebabkan benda-benda angkasa tetap berada pada tempatnya.Â
Saya langsung nanya "Kalau salah satu planet tiba-tiba menyusut atau tiba-tiba berputar melambat atau malah kecepatan, collapse semua dong Bu seluruh antariksa? Teman saya yang lain ikutan nyeletuk" Memang planet bisa nyusut, Bu?" Ibu guru sayapun pusing. Wong jelasin rumus saja, masih banyak murid yang gak ngeh, ini malah ditanya macam-macam.
Kalau pas kuliah bagaimana? Berhubung saya dulu sering bolos kuliah, jadi memang pertanyaan-pertanyaan konyol tidak pernah terlontarkan saat jam kuliah.Â
Pertanyaan ngalor ngidul lebih banyak saat berinteraksi dengan teman-teman dan saat bicara dengan diri sendiri. Maklum, masa-masa ini adalah masa mencari jati diri. Jangan diikutinya bagian sering bolosnya. He he he.
Nah, sebelum miss corona datang, saya menginap di rumah teman dekat yang saya ceritakan di awal cerita. Teman saya punya 2 anak perempuan. Saya pun diminta mereka mendongeng sebelum tidur.Â
Cerita yang mereka pilih Cinderella. Disinilah saya baru merasakan apa yang dirasakan oleh guru-guru saya. "Kena deh lu sekarang. Rasain. Baru nyaho sekarang", batin saya.Â
Kebetulan anak bungsu teman saya ini cukup kritis. Saya membacakan cerita Cinderella memakai sepatu kaca yang diterimanya dari ibu peri. Langsung dong saya ditodong pertanyaan,"Memangnya kita bisa pakai sepatu kaca, Aunty? Kaca kan keras, gimana masukin kakinya? Kok sepatunya muat? Nanti jalannya gimana?Â
Terus, gimana sepatu kacanya bisa lepas satu? Itu kan sepatunya jatuh di tangga, pecah dong. Apa kacanya tahan banting?" Rasain rasain, rasain. Gimana saya jawabnya coba. E mama do do.Â
Gelagapanlah saya menjawab pertanyaan yang bertubi-tubi. Akhirnya saya nyerah. Saya cuma bilang namanya dongeng, ada banyak hal yang gak masuk akal. Yang penting kita ngerti kalau dari cerita Cinderella ini, kita harus jadi orang yang sabar dan tetap baik meskipun kesusahan dan dijahatin orang. "Kalau gak masuk akal, kenapa ceritanya ditulis, Aunty?" Waduh, benar-benar skakmat, kalah saya sama anak kecil.
Kejadian ini membuat saya keder kalau disuruh membacakan dongeng untuk anak-anak. Padahal maksud hati ingin menumbuhkan kecintaan pada literasi untuk anak-anak.Â
Tapi kalau ketemu anak-anak yang kritis kayak gini, bisa guncang ganjing dunia persilatan. Yang ada nanti malah buat anak-anak bingung karena apa yang dituliskan tidak sesuai dengan kenyataan. Lha iki piye? Dan saya gak mampu menjawab kebingungan mereka. Kan gak mungkin saya jawab, "Mbuh, gak ngerti aku tuh."
Keesokan harinya sebelum pulang, saya berjalan-jalan keliling kompleks dengan anak-anak teman saya ini. 4 rumah dari rumah teman saya, ada satu kavling tanah yang belum dibangun.Â
Saya mengajak mereka melihat putri malu. Baru kali ini mereka melihat putri malu. Maklum, biasanya bergerak dari mal ke mal. Saya tunjukkan kepada mereka putri malu bisa menutup daunnya saat disentuh. Anak-anak terlihat takjub.Â
Merekapun ikutan mencoba menyentuh daun putri malu. Saya cuma mengingatkan agar hati-hati, jangan sampai kena duri. Setelah kira-kira 15 menitan, si bungsu mulai mengeluarkan senjata ampuhnya. "Aunty, kok daunnya bisa nutup sendiri sih kalau dipegang? Kok rumput gak kayak gitu? Kebetulan saya tidak bawa hp saat itu. Tahu gitu kkan saya bawa biar bisa call a friend atau tanya mbah google.
Saya berusaha mengingat-ingat lagi dulu pernah belajar alasan putri malu daunnya menutup. Entah kenapa, waktu itu kok gak bisa ingat. Yang diingat cuma ini cara putri malu mempertahankan diri dari hewan yang mau memakan daunnya.Â
"Memangnya yang mau makan putri malu hewan apa? ""Biasanya hewan yang makan rumput kayak sapi, kambing", jawab saya. "Tapi kan di sini gak ada kambing sapi, kok daunnya nutup juga? Kan saya yang pegang. Saya kan bukan kambing." Kena lagi deh saya. Ha ha ha.
Waduh, ternyata berurusan dengan pikiran yang ngalor ngidul ini repot juga. Mesti panjang sabar dan rajin-rajin baca. Karena orang yang suka mikir ngalor ngidul ini suka tiba-tiba nanya hal-hal yang tak terduga, di waktu yang tak terduga. Dan biasanya pertanyaan ini muncul secara otomatis dan terus ada di kepala sampai ketemu jawabannya.Â
Kalau lagi kondisi capek, memang bisa buat emosi. He he he. Untuk anak-anak yang pikirannya ngalor ngidul dan kritis, pendekatan guru seperti pak guru Sosaku Kobayashi dalam cerita Toto Chan lebih cocok kali ya, supaya anak gak patah semangat.Â
Karena kalau pendekatan konvensional agak susah mengakomodasi hal-hal seperti ini. Sayangnya memang terbatas sekali sekolah ataupun individu guru yang ramah terhadap anak-anak yang kritis.
Mungkin kompasianer pernah ketemu orang yang pikirannya ngalor ngidul kayak saya, jangan spandeng dulu ya. Harap maklum aja kalau ujug-ujug nanya aneh-aneh.Â
Kalau kebetulan yang nanya anak sendiri, selamat berepot-repot ria. Saya gak bisa minta bantu karena sampai sekarang pun pertanyaan waktu sekolah dulu banyak yang belum terjawab. He he he.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H