Melanjutkan ke SMU, pikiran ngalor ngidul ini naik tingkat merambah pelajaran ekonomi dan sosiologi. Waktu saya SMU, pada tahun pertama dan kedua, semua pelajaran dipelajari. Baru tahun berikutnya ada pembagian jurusan: IPA, IPS dan bahasa. Khusus untuk pelajaran ekonomi dan sosiologi, saya merasa urusan definisi suatu istilah benar-benar merepotkan.Â
Untuk 1 istilah, bisa lebih dari 3 definisi. Menurut pandangan awam saya waktu itu, intinya mah sama saja. Cuma yang 1 menekankan apa, yang lain menekankan apa.Â
Saya lebih senang sesuatu yang straight forward, to the point. Urusan definisi ini agak menjengkelkan buat saya. Padahal justru itu yang masuk jadi soal ujian.Â
Nah, saya pun berdebat dengan teman sebangku. Guru saya yang waktu itu merasa tidak diperhatikan langsung memberikan 3-point shot pakai penghapus papan tulis. Sejak itu, saya agak malas bertanya karena takut kena 3-point shot. Ngomong-ngomong, kalau generasi Z diperlakukan begini, mungkin gurunya sudah dilaporkan ke polisi kali ya.Â
Kembali ke cinta pertama saya, bumi dan antariksa. Saat itu di pelajaran fisika membahas tentang gaya tarik menarik antara benda angkasa dengan benda angkasa lainnya. Kalau tidak salah, ibu guru menjelaskan keseimbangan gaya tarik menarik inilah yang menyebabkan benda-benda angkasa tetap berada pada tempatnya.Â
Saya langsung nanya "Kalau salah satu planet tiba-tiba menyusut atau tiba-tiba berputar melambat atau malah kecepatan, collapse semua dong Bu seluruh antariksa? Teman saya yang lain ikutan nyeletuk" Memang planet bisa nyusut, Bu?" Ibu guru sayapun pusing. Wong jelasin rumus saja, masih banyak murid yang gak ngeh, ini malah ditanya macam-macam.
Kalau pas kuliah bagaimana? Berhubung saya dulu sering bolos kuliah, jadi memang pertanyaan-pertanyaan konyol tidak pernah terlontarkan saat jam kuliah.Â
Pertanyaan ngalor ngidul lebih banyak saat berinteraksi dengan teman-teman dan saat bicara dengan diri sendiri. Maklum, masa-masa ini adalah masa mencari jati diri. Jangan diikutinya bagian sering bolosnya. He he he.
Nah, sebelum miss corona datang, saya menginap di rumah teman dekat yang saya ceritakan di awal cerita. Teman saya punya 2 anak perempuan. Saya pun diminta mereka mendongeng sebelum tidur.Â
Cerita yang mereka pilih Cinderella. Disinilah saya baru merasakan apa yang dirasakan oleh guru-guru saya. "Kena deh lu sekarang. Rasain. Baru nyaho sekarang", batin saya.Â
Kebetulan anak bungsu teman saya ini cukup kritis. Saya membacakan cerita Cinderella memakai sepatu kaca yang diterimanya dari ibu peri. Langsung dong saya ditodong pertanyaan,"Memangnya kita bisa pakai sepatu kaca, Aunty? Kaca kan keras, gimana masukin kakinya? Kok sepatunya muat? Nanti jalannya gimana?Â