Mohon tunggu...
Helan SiNenda
Helan SiNenda Mohon Tunggu... -

belajar menulis :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Cinta Itu Pergi

11 Januari 2012   08:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:02 482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku mau hidup sama kamu Nadia."

Kata-kata itu yang selalu  kutunggu. Kata-kata itu yang selalu kuharapkan seumur hidupku. Kata-kata itu yang ingin kudengar darimu sejak awal pertemuan kita. Kini kata-kata itu jelas kudengar dari mulutmu, seseorang yang telah lama kuinginkan menjadi teman hidupku.

Jantungku berdegup cepat. Bibirku serasa kelu. Padahal hanya dengan satu kata "ya, aku mau" mimpiku bisa jadi kenyataan. Kamu menatapku dengan senyummu yang selalu kurindukan. Tapi kali ini ada yang berbeda. Mimikmu terlihat agak tegang. "Sayang, apa jawabanmu?" Perasaanku makin tak karuan. Kupejamkan mata sesaat, kutarik napas dalam-dalam, berharap jawaban yang kuberikan adalah keputusan terbaik. "Aku mau, Rangga."

Kamu langsung memelukku erat. Senyum tegangmu berubah menjadi tawa bahagia. Kamu cium keningku, hal yang paling aku sukai. "Minggu depan aku kerumahmu ya sama keluargaku." Aku mengangguk mengiyakan. Seperti katamu, minggu depannya kamu datang melamar secara resmi pada orang tuaku dengan keluarga besarmu. Selama acara senyum selalu terpancar di wajahmu. Begitu juga aku. Kebahagiaan meluap diantara kita.

Sesudahnya kita kembali sibuk dengan pekerjaan kita masing-masing. Namun kali ini kesibukan bertambah, mengurus persiapan pernikahan kita. Tinggal beberapa bulan lagi kita akan menjadi satu kesatuan secara utuh lahir dan batin, menyongsong kehidupan baru yang penuh rintangan, tiba-tiba kamu mengatakan sesuatu yang tidak kuduga sebelumnya.

"Nadia, setelah apa yang kita jalani saat ini sepertinya aku tidak siap menjalani hidup sama kamu." Jantungku kembali berdegup kencang, tapi perasaan yang kurasakan berbeda dengan saat kamu ingin meminangku dulu. Perasaan khawatir, takut, dan bingung bercampur jadi satu. Kutarik napas dalam-dalam berusaha meredam emosi yang ingin keluar.

"Kenapa kamu bilang gitu Sayang? Kamu merasa belum yakin sama aku? Kita udah setengah jalan Sayang, " kataku lemah sambil berusaha menahan tangis. Kamu berbalik menatapku. Matamu pun menampakkan kesedihan yang mendalam.

"Aku tau Sayang, tinggal sebentar lagi kita akan hidup bersama. Tapi aku takut Sayang." Kamu berhenti bicara beberapa saat, pandanganmu menerawang, membuatku makin penasaran dengan kelanjutan ucapanmu.

"Takut apa Sayang? Jangan bikin aku bingung gini donk, please ....." air mataku menetes. Jantungku semakin berdegup tak karuan. Kamu kembali menatapku sedih, kini bahkan aku bisa melihat matamu berkaca-kaca.

"Kamu tau Nad, aku ga pernah main-main sama kamu. Aku serius sama kamu, bahkan sejak awal kita bertemu aku sudah memantapkan hatiku kalau kamu adalah yang terakhir untukku. Tapi .... aku ga yakin bisa menemani kamu seumur hidup. Aku takut kehilangan kamu, Nadia ....."

Kata-katamu semakin membuatku bingung, "Kalau kamu takut kehilanganku kenapa kamu justru mau membatalkan semua? Kasih aku alasan yang logis Sayang. Aku ga mau kamu putusin ini semua tanpa alasan yang jelas. Ok? Atau ada perempuan lain dihati kamu?" mau tak mau kulontarkan juga ucapan itu. Sesuatu yang sebenarnya sangat tidak kuinginkan. Tapi aku terpaksa mengungkapkannya, aku takut kalau itu benar. Begitu mendengar ucapanku kamu terlihat terkejut tapi lagi-lagi kamu hanya menjawab lemah.

"Ngga ada siapapun Sayang, ini bukan tentang orang ketiga. Bukan juga tentang kamu. Tapi aku Nad, ada hal yang bikin aku takut. Ada hal yang ga aku mengerti. Aku juga ga tau gimana ngejelasin ke kamu. Aku cuma ga mau kamu berharap banyak Nad. Aku ga mau ngancurin harapan-harapan kamu, mimpi-mimpi kamu, perasaan kamu ke aku. Aku ga mau ninggalin luka buat kamu klo aku pergi Nad ....."kata-katamu menggantung.

"Kamu mau kemana emangnya Ngga? Kamu mau ninggalin aku? Kemana? Kenapa kamu ga mau cerita sama aku?,"tangisku pecah. Aku sudah tak mampu lagi menahan semua. Setelah kata-katamu aku makin tersiksa. Kamu memelukku erat. Kamu coba redam tangisku. Tak henti-hentinya kamu meminta maaf atas semua.

"Maaf Sayang, tapi aku ga bisa bilang ke kamu. Maafin aku."

Aku tak bisa memaksamu. Mungkin benar kamu belum yakin dengan perasaanmu. Walaupun dulu kau yang menginginkanku jadi pendampingmu. Tapi aku bisa apa? Melarangmu? Memakimu? Aku bukan siapa-siapa. Aku tak punya andil apa-apa. Aku hanya seseorang yang tulus mencintaimu, menerimamu apa adanya, tapi mungkin aku tak berhak memilikimu. Tak akan pernah.

Setelahnya kita mengutarakan niat kita mengakhiri pertunangan ini kepada keluarga besar kita. Sudah pasti respon dari keluarga kita kaget dan bingung dengan keputusan ini. Padahal persiapan pernikahan sudah 50%. Aku pun tak memberi tahu alasan yang detail kepada orang tuaku. Aku juga tak bilang pada mereka bahwa kamu yang memutuskan begitu. Aku hanya bilang kita butuh waktu untuk menjalaninya dari awal, mempersiapkan mental kita. Itupun yang aku harapkan darimu, kalau kamu cuma butuh waktu untuk mempersiapkan dirimu. Lalu kita akan hidup bersama sesudahnya. Semoga.

"Nadia, kamu lagi sibuk ga? Nanti pulang kantor jam berapa? Bisa kita ketemu?," katamu suatu siang di telepon. Aku yang sedang ngantuk-ngantuknya sambil mengetik laporan dengan malas mendadak sumringah mendapat telepon darimu.

"Haahh? Mmm, cuma lagi bikin laporan aja sih. Nanti aku pulang kayak biasa. Ketemuan dimana?" jawabku senang.

"Aku jemput kamu ya Nad. Jam 6 sore. Kutunggu didepan gedung"

Jam baru menunjukkan pukul 17.30 tapi aku sudah tak sabar ingin cepat-cepat keluar dan menemuimu. Dengan kilat kurapikan pekerjaanku. Agak tergesa aku lari menuju lift, ingin segera menyongsongmu. Begitu sampai dibawah aku segera menghampirimu yang sudah menunggu diatas motor gedemu dangan senyummu yang selalu kurindukan. Seperti biasa kamu langsung memakaikan helm ke kepalaku tanpa aku minta. Aku selalu senang dengan sikapmu yang begitu peduli padaku. Kamu selalu menolong tanpa diminta. Ahh, seandainya kamu benar-benar jadi pendamping hidupku .....

"Sudah siap?" Aku mengangguk. "Yap!"  Selama perjalanan kita hanya saling diam. Kamu berhenti ditempat yang tak asing lagi bagiku. Sebuah cafe tempat favorit kita. Kita sering menghabiskan waktu disini saat weekend. Kita langsung duduk di tempat "kesukaan" kita. Disudut cafe yang banyak terdapat foto-foto artis hollywood jaman dulu. Kamu pun langsung memesan dua gelas minuman Ice Cappuccino dan Hot Espresso. Hmm, Ice Capuccino minuman kesukaanku dari cafe ini. Sambil menunggu pesanan kita datang kita mengobrol santai. Saling menanyakan kesibukan masing-masing. Maklum, kita memang sudah tak bertemu hampir sebulan sejak kamu memutuskan hubungan kita. Pesanan datang, kita saling menikmati minuman masing-masing.

"Sebenernya tujuan kamu ngajak aku ketemuan apa?," tanyaku sambil mengaduk Ice Cappuccinoku. Kamu menyeruput minumanmu lalu menatapku.

"Aku mau pamit Nad." Deg! "Apa lagi ini?" batinku tak karuan.

"Kamu mau kemana?," tanyaku berusaha tetap tenang.

"Aku harus pergi Nad. Aku mau kamu jaga diri kamu baik-baik. Dan aku minta maaf selama ini aku belum bisa buat kamu bahagia. Mungkin ga akan pernah bisa," jawabmu dengan mimik sedih.

"Ya Tuhan, kenapa lagi ini? Apa maksudnya?," tanyaku dalam hati. "Kenapa kamu ngomong begitu? Selama ini aku udah cukup merasa bahagia deket kamu. Walaupun mungkin aku belum pantas jadi pendamping hidup kamu, tapi aku ga pernah ngerasa kamu nyakitin aku." Aku tak sanggup menahan tangis. Aku memang tak pernah bisa marah padamu ataupun merasa kesal. Karena memang kamu tak pernah menyakitiku. Keputusanmu mengakhiri pertunangan kita kuanggap sebagai pelajaran dalam hidupku. Mungkin aku memang belum siap menjadi seorang istri yang bisa mengurus keluarga dengan baik. Yah, kuhargai keputusanmu tapi aku tak bisa begitu saja membiarkanmu pergi. Tidak sekarang.

"Bukan maksudku menyakiti kamu Nad. Kamu harus tau kalau aku sayang sama kamu. Tapi itu keputusan terbaik yang aku buat demi masa depan kamu Nad. Walaupun itu berat buat aku. Sekali lagi aku minta maaf. Dan jaga diri kamu baik-baik."

Kamu mengecup keningku dan sekali lagi kamu peluk erat tubuhku. Kutumpahkan segala kesedihan yang kurasakan selama ini sejak kamu memutuskan pertunangan kita. Aku tak peduli dengan orang-orang di dalam cafe yang memperhatikan kita. Biarkan saja mereka, biarkan aku menangis dipelukanmu Sayang .....

Kamu mengantarku pulang. Sebelum aku masuk kerumah kamu membisikkan kata-kata yang tak akan pernah kulupa sampai kapanpun,

"I love you, Nadia."

"Love you too."

Kamu melempar senyum khasmu yang selalu kurindukan. Aku melihat kamu berlalu dengan motormu dari balik pagar rumahku. Sempat terbersit dalam pikiranku kamu akan pindah kerja di luar negeri seperti yang pernah kamu bilang padaku kalau atasanmu berniat menugaskanmu menangani salah satu proyek di luar negeri, masih di kawasan Asia. Mungkin itu juga yang membuatmu mengurungkan niat untuk menikahiku karena kamu tahu setelahnya kitapun tak bisa tinggal serumah. Pekerjaanmu tak memungkinkan aku untuk ikut tinggal bersamamu walaupun kita sudah berumah tangga. Ya sudahlah, biar saja. Itu hakmu. Sekali lagi aku tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa suatu saat Tuhan mengirimmu menjadi pendamping hidupku.

Aku buru-buru masuk kekamar, mengabaikan panggilan Mama dari ruang tengah. Aku juga tak ingin Mama melihat wajahku yang sembab habis menangis. Kulempar tasku keatas tempat tidur. Untuk beberapa saat aku berdiam mematung didepan kaca, memperhatikan diriku. Apa yang kurang dari diriku sehingga aku mengalami hal yang tidak mengenakkan seperti ini? Air mataku sudah hampir menetes lagi. Segera aku pergi kekamar mandi, membersihkan diriku. Setelah itu aku sembahyang. Aku berdoa pada Tuhan agar aku diberi kekuatan menghadapi cobaan ini. Agar aku diberi kesempatan kedua untuk menjalani hubungan ini bersamamu. Karena lelah aku pun langsung tidur. Aku rasa aku belum sempat bermimpi ketika tiba-tiba Mama menyergap masuk kekamarku yang memang kubiarkan tak terkunci.

"Nadia, bangun! Ayo Nadia, bangun!," Mama mengguncang tubuhku. Aku menggeliat, sedikit kesal pada Mama. Kenapa sih Mama membangunkanku disaat aku baru saja bisa memejamkan mata?

"Kenapa sih Ma?,"sahutku agak kesal.

"Rangga, Nad! Rangga .....," Mama terlihat sangat panik. Deg! Jantungku berdegup kencang. Ada apa ini?

"Rangga kenapa Ma? Ma, jawab!," kuguncang tubuh Mama memaksanya bicara. Aku merasa tubuhku gemetar. "Rangga kecelakaan, Nad. Motornya ditabrak mobil ga jauh dari rumahnya. Sekarang dia ada di rumah sakit ***. Tadi Tante Ita telepon kesini," ujar Mama gugup.

Seketika sekujur tubuhku terasa lemas. Air mataku langsung tumpah. Dengan tubuh gemetar dan pikiran kalut aku segera berganti pakaian dan bergegas menuju rumah sakit bersama Mama dan Papa. Sepanjang jalan menuju rumah sakit tak henti-hentinya aku berdoa memohon pada Tuhan supaya melindungi kamu. "Sayang, tunggu aku."

Setibanya di rumah sakit aku segera berlari menyusuri koridor menuju ruang UGD diikuti oleh Papa Mama. Begitu sampai didepan ruang UGD kulihat Ibumu menangis di pelukan Ayahmu persis didepan pintu masuk ruangan. Kuhentikan langkahku. Ibumu segera menghampiriku dan menangis sambil memelukku erat. Aku merasa bingung dengan sikap beliau. Aku berusaha melepaskan diri dari pelukan Ibumu.

'Tante, Rangga gimana? Rangga ga kenapa-kenapa kan? Tante jawab!"

Ibumu hanya menggeleng perlahan. Tangisnya tak juga berhenti. Aku melongok kedalam ruangan. Diatas salah satu ranjang terbaring tubuh yang tertutup selimut putih bernoda darah. Kuhampiri ranjang itu, disebelahnya berdiri adik perempuanmu satu-satunya yang sedang menangis juga. Begitu melihatku ia langsung menghambur kearahku dan menangis di pelukanku.

"Mas Rangga, Mba Nad. Mas Rangga udah ga ada ....."

Aku menyibak selimut yang menutupi tubuhmu. Kulihat wajahmu pucat, sebuah luka yang agak lebar menganga didahimu. Darahnya telah mengering. Seketika itu juga hatiku mencelos, serasa lepas dari tubuhku. Aku tak percaya dengan pemandangan yang kini ada didepan mataku. Kuguncang tubuhmu, kuelus pipimu, berkali-kali kupanggil namamu berharap kamu bisa mendengar dan membuka mata.

"Rangga, jangan tinggalin aku sekarang. Bangun Sayangku, bangun ......"

Keadaan saat itu sangat menyedihkan. Mama menarikku, menjauhkanku darimu, berusaha menenangkanku. "Rangga udah ga ada Nad, kamu yang sabar ya." Semua yang ada disitu larut dalam kesedihan. Bukankah baru saja kamu memelukku, mencium keningku, bilang kamu sayang padaku? Tapi kini kamu pergi. Bukan hanya sebentar tapi selamanya. Tuhan, cobaan yang Kau berikan padaku sungguh berat. Bantu aku melaluinya ya Tuhan ....

Jasadmu dibawa pulang kerumah. Dirumahmu sudah banyak orang berkumpul. Beberapa temanmu yang juga aku kenal. Mereka menyampaikan rasa duka kepadaku dan keluargamu. Aku terus berada disampingmu, tak ingin aku jauh-jauh darimu. Doaku pun tak putus mengiringimu hingga ke pemakaman. Suasana haru kembali pecah ketika jasadmu diturunkan ke liang kubur. Aku tak kuasa menahan tangis, tapi aku berusaha tetap sadar. Aku ingin melihatmu untuk yang terakhir kalinya. Doa pun dipanjatkan, dipimpin seorang tetua dari keluargamu. Selesai berdoa kami menaburkan bunga diatas pusaramu. Aku yang terakhir menabur bunga untukmu. Kuusap fotomu yang tersandar di batu nisan. Kucium nisan bertuliskan namamu. Selamat jalan Rangga, Sayangku .....

Hari pun berlalu. Aku berusaha membangun kembali semangatku sepeninggal dirimu. Berat rasanya menjalani hidupku tanpamu. Tapi aku harus bangkit, menata hidupku. Aku tak ingin terus larut dalam kesedihan, aku yakin kamu juga tak ingin melihatku bersedih. Setelah coba kuresapi apa yang terjadi waktu itu, keputusanmu untuk mengakhiri pertunangan kita, memintaku menjaga diri baik-baik adalah 'tanda' bahwa kamu akan pergi meninggalkanku selamanya. Mungkin kamu bisa merasa kalau hidupmu tinggal sebentar. Kamu tak ingin aku mencicipi kebahagiaan sesaat setelah itu jatuh dalam kesedihan karena rasa kehilangan yang teramat sangat. Mungkin kalau kita tetap pada rencana awal kita aku akan lebih terpuruk. Pilihanmu tak salah. Takdir Tuhan tak pernah salah.

Hingga sekarang pun aku masih tetap menjaga perasaanku padamu walau aku tahu suatu saat nanti aku akan membuka hatiku untuk orang lain. Aku tahu kamu akan selalu disampingku, muncul di mimpi-mimpiku. Kamu akan ada disampingku ketika aku menerima pinangan dari seseorang yang kelak jadi suamiku, ada ketika aku mengikat janji suci pernikahan dengan seseorang yang ditakdirkan Tuhan menjadi pendamping hidupku, ada ketika aku melahirkan anak pertamaku, ada ketika aku mulai mengantar anakku ke sekolah.

Yang harus kamu tahu, aku tak akan pernah berhenti mencintaimu sampai kapanpun. Aku berharap kelak kita akan dipertemukan kembali di alam yang berbeda. Di alam abadi. Semoga.

Sudah waktunya tidur. Habis sudah 'curhat'ku tentang kamu hari ini. Tapi rasa sayangku tak akan pernah habis untukmu. Malam ini kuharap kamu muncul di mimpiku. Selamat istirahat Rangga Sayang :)

Peluk dan cium,

Nadia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun