Faktor seperti perubahan iklim, berkurangnya lahan pertanian, dan penurunan faktor produksi telah menghambat pencapaian target produksi," menurut Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI)
Konotasi negatif 'impor' di Indonesia datang dari anggapan bahwa mengimpor berarti kita tidak mandiri dan ketergantungan pada negara lain. Padahal, kenyataannya lebih kompleks. Tergantung konteks dan desain kebijakan, mengimpor bisa menjadi strategi yang sengaja dilakukan sebagai solusi ekonomi.
Kok bisa?
1. Teori ekonomi di balik impor
Jika didesain dengan tepat, kebijakan impor adalah strategi untuk:
 · memenuhi kebutuhan yang tak bisa dipenuhi di dalam negeri
 · menjaga stabilitas harga, dan
 · mendukung perekonomian.
Teorinya, negara akan untung lebih besar dari perdagangan internasional jika kita fokus memproduksi barang atau jasa di mana mereka memiliki keunggulan komparatif* dibandingkan negara lain.
*Keunggulan ini bisa terjadi karena faktor alami atau buatan di negara tersebut.
Contoh Skenario
Indonesia dan Jepang sama-sama membutuhkan beras dan jagung, tapi anggaplah produksi jagung di Indonesia jauh lebih mahal daripada beras.
Menurut teorinya, Indonesia justru bisa diuntungkan jika:
· Indonesia bisa fokus pada produksi beras
· Jepang bisa fokus pada produksi jagung
· Keduanya bisa berdagang untuk membantu pemenuhan permintaan komoditas domestik dengan lebih murah atau affordable.
2. Bagaimana dengan lanskap impor Indonesia?
Biasanya, sebuah negara bisa menentukan komoditas mana yang bersifat kunci dan perlu diproduksi sendiri berdasarkan pertimbangan ekonomi dan strategis. Saat ini, Indonesia masih mengimpor banyak komoditas konsumsi dan berisiko menimbulkan ketergantungan.
Perpres tentang komoditas yang boleh impor
Peraturan Presiden No.125 tahun 2022 tentang Cadangan Pangan Pemerintah menunjukan 11 komoditas yang cadangannya diusahakan (hanya 6 yang bisa impor):
· Cadangan non impor: cabai, daging unggas, telur unggas,minyak goreng, dan ikan.
· Yang bisa impor: beras, jagung, kedelai, bawang, daging ruminansia (seperti daging sapi/kerbau), gula konsumsi
3. Tentang perjanjian dagang
Sebagai anggota WTO, Indonesia terikat aturan perdagangan internasional seperti Agreement on Agriculture (AoA) yang mendorong non-diskriminasi dan keterbukaan perdagangan, termasuk impor komoditas, salah satunya adalah gula.
Perjanjian Pertanian WTO bertujuan untuk membuka pasar (liberalisasi) seluruh sektor pertanian anggotanya. Liberalisasi dilakukan dengan mendorong pembukaan pasar melalui penghapusan berbagai bentuk hambatan perdagangan, baik tarif maupun non-tarif. Dengan membuka pasar, peran negara untuk mengatur perdagangan berkurang, sehingga membuka pintu bagi peran korporasi multinasional.
Selain itu liberalisasi industri pangan indonesia juga sejalan dengan kesepakatan lain, seperti:
1. Komitmen liberalisasi perdagangan untuk ASEAN Free- Trade Area (AFTA)
2. APEC voluntary unilateral trade liberalization yang didasarkan pada Individual Action Plans (IAPs)
4. Jadi, pertanyaan utama apakah perlu impor gula?!
Kapasitas produksi gula domestik (2023) ditopang oleh 59 pabrik gula aktif dari 24 perusahaan gula yang ada di Indonesia (belum ada penambahan pabrik sejak 2020).
Produksi dalam negeri terhambat beberapa faktor, termasuk biaya investasi yang tinggi untuk revitalisasi dan lemahnya penelitian dan pengembangan budidaya tebu. Akibatnya, impor gula menjadi kebijakan yang konsisten dilakukan setiap menteri di era berbeda.
5. Indonesia masih defisit produksi gula
Data dari CIPS menyatakan bahwa selama tahun 2015-2016, produksi gula di Indonesia masih defisit jika dibandingkan dengan kebutuhan. Pada tahun 2023 pun, produksi gula domestik Indonesia masih belum cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi. Menurut data BPS, USDA, dan National Sugar Summit Indonesia, impor gula Indonesia berfluktuasi sesuai kebutuhan domestik dan dinamika pasar internasional.
Kebijakan impor untuk alasan strategis
Mengutip Arief & Sofyan (2021), kebijakan impor-ekspor tidak selalu spesifik dalam satu komoditas. Indonesia pernah melakukan perjanjian strategis dengan India untuk 'barter' komoditas. Melalui Permendag 14/2020, Indonesia menurunkan standar gula (yang sebelumnya tinggi untuk melindungi industri gula domestik) agar bisa impor dari India. Sebagai imbalan, India mempermudah ekspor kelapa sawit Indonesia ke negaranya.
6. Apa dampaknya jika Indonesia terlalu banyak impor gula
Saat ini, Indonesia negara #1 di dunia sebagai importir gula. Skala impor sebesar ini dapat menimbulkan kekhawatiran seperti:
Harga gula untuk petani tebu atau produsen
Gula lokal bisa turun saat oversupply. Kerugian finansial dapat mendorong produsen lokal untuk mengurangi atau bahkan menghentikan produksi jika mereka tidak dapat lagi beroperasi secara menguntungkan.
 Kegiatan impor akan berdampak pada cadangan devisa negara
Impor barang mensyaratkan tersedianya cadangan devisa yang likuid untuk pembayaran. Kegiatan impor yang tidak tepat dapat berdampak negatif pada cadangan devisa.Â
3. Mengurangi pangsa pasar produsen lokal
Gula impor sering kali bersaing langsung dengan gula produksi lokal, terutama jika harganya lebih murah karena biaya produksi yang lebih rendah atau subsidi di negara pengekspor.
7. Stop impor bukan solusi'silver bullet'
Menutup keran impor tanpa kajian yang mumpuni justru dapat membawa dampak negatif, antara lain:
- Kekurangan Pasokan dan Kenaikan Harga. Kelangkaan komoditas akan menyebabkan pelambungan harga, apalagi di komoditas dasar seperti gula.
- Penurunan Efisiensi Ekonomi. Produsen domestik mungkin kurang efisien atau memiliki biaya produksi yang lebih tinggi dibandingkan pemasok luar negeri, sehingga meningkatkan biaya produksi yang kemudian dibebankan kepada konsumen.
- Keterbatasan Kualitas dan Variasi: Tanpa impor, konsumen mungkin dihadapkan pada kualitas yang lebih rendah atau pilihan yang lebih sedikit.
- Munculnya Perdagangan Ilegal: Kekurangan dan harga tinggi dapat menciptakan pasar gelap untuk barang yang dilarang diimpor, sehingga mendorong perdagangan ilegal yang sulit diatur.
- Potensi perseteruan dagang: Penutupan pangsa domestik untuk impor dapat menabrak beberapa perjanjian internasional dan memperburuk hubungan dagang serta citra Indonesia. Indonesia telah menghadapi perselisihan di isu hilirisasi dan sawit.
Kesimpulannya, kebijakan impor harus responsif terhadap perubahan domestik dan internasional, termasuk kondisi produksi, kebutuhan pasar, kemampuan produsen lokal untuk memenubi permintaan, dinamika perdagangan global, seperti fluktuasi harga komoditas, perubahan regulasi negara mitra, dan tantangan geopolitik.
#1 Kebijakan berbasis data untuk mencegah impor yang tidak diperlukan, menggunakan data inventaris, produksi,
dan kebutuhan pasar
#2 Proses tender transparan untuk menghindari korupsi dan memastikan tidak ada agenda terselubung dalam proses tender.
#3 Koordinasi penilaian kebutuhan nasional bersama instansi terkait sebelum izin impor gula diterbitkan, guna memastikan impor hanya untuk menutupi kekurangan, termasuk persetujuan Kementerian Pertanian agar tidak merugikan petani tebu lokal.
#4 Izin impor selektif hanya diberikan kepada perusahaan dengan rekam jejak baik dan sesuai regulasi untuk mencegah penyalahgunaan yang dapat merugikan negara.
Jadi, sejauh apa perlu mengusahakan swasembada vs. impor strategis?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H