"Aku hanya bisa berjuang sampai di sini. Inilah batas ikhtiarku dan selanjutnya adalah takdir. Tuhanlah yang menentukan segalanya." Sebuah kalimat terakhir dari salah seekor sperma dalam kepasrahannya menjemput ajal.
***
Dalam keadaan tersungkur lemah. Seeokor sperma masih bertahan tepat di sisi depan Ovum, memegang rumbai-rumbai Ovum, tak mau melepaskannya. Sperma itu setengah pingsan, setengah sadar. Wajahnya carut marut. Lendir-lendir dan serpihan-serpihan potongan tubuh temannya menempel lekat di wajahnya. Ada luka kecil membentuk garis di kepala mungilnya. Sambil menangis getir sperma itu melantunkan lagu sambil menari tak sempurna.
"Oh, dimanakah kau Ovum. Gen penyempurna sejatiku. Mengapa kau menutup diri? Aku mencari-carimu, mengajakmu bergabung, menumpang Bahtera Nuh menuju kelahiran manusia-manusia merdeka, untuk cepat tumbuh tanpa ketakutan. Menarilah engkau Ovum, gendang kita tabuh bersama, bersetubuh kita, dengan nikmat yang sama."
Tiba-tiba dari dalam bola berwarna merah berlapis 'baja' tak berongga, muncul sebuah suara halus dan menyejukkan.
"Kalian memanggilku Ovum. Tetapi aku adalah setengah manusia bagi sperma yang terpesona dan memberiku cinta. Aku berjalan sendirian mencari nasib dari Ovarium menuju Uterus. Aku terseok di lembah Fallopi berteman kegilaan dan nestapa serta memanah gelombang ketakutan menuju gairah."
"Wahai putri Ovum, mengapa engkau takut? Kami bukanlah sperma jahat yang akan menakuti pikiranmu."
"AKu melihat kalian mengaliri hidup dengan penuh ambisi. Tapi itu sama sekali tak menuju hatiku. Itulah sebabnya aku mengunci diri pada gairah liar yang kalian tawarkan. Sendiri aku menenun hasrat dan birahi menjadi gumpalan selaput baja yang kugunakan sebagai tirai membatasi rasa. Aku berharap ada yang dapat melepas kekalutan cinta atasku."
Terdiam...
"Siapa kau sebenarnya wahai Putri Ovum? Apakah kau ini putri petir? Kalau ya, mintalah ibumu berhenti berteriak. Atau kau asuhan guntur? Kalau benar, mintalah ia tidur sejenak. Kami sudah terlalu menderita mengejarmu. Tapi tak ada siapapun yang memperdulikan kami. Kami merangkak sendiri."
"Bukan, aku bukan siapa-siapa. Dan kau sudah tahu namaku."