Untuk semua ironi ini, saya tiba-tiba tercenung dengan komentar singkat Dwi Istiyani. Sesama alumni UIN Sunan Kalijaga dan  aktifis HMI era 90-an di Yogya. Yang kini aktif sebagai dosen di UIN Walisongo Semarang.
"Atau jangan-jangan Neo Khawarij sedang bangkit"
Benarkah demikian? Memang patut dicermati. Memang ada kemiripan-kemiripan modus. Paling tidak pada gejala-gejala awal. Â Terdeteksi jelas dari perilaku sementara orang itu. Reaktif, emosional, gemar pula menyalah-nyalah orang.Â
Lalu merasa paling benar, paling relijius, paling gigih membela agama, sambil menuding orang lain sesat. Begitu gemar mengkafir-kafirkan pun menghalalkan darah orang lain hanya karena berbeda pendapat.
Sikap dan perilaku sejenis ini, Â sejatinya bukan hal baru dalam sejarah Islam. Ini "penyakit" dan "syndrom" klasik yang belakangan kembali tumbuh subur.
Dalam sejarah Islam, perilaku macam ini direpresentasikan oleh suatu kelompok yang dikenal dengan sebutan kaum Khawarij. Inilah kaum yang disinyalir menjadi akar historis berabad lahirnya fundamentalisme dan terorisme dalam sejarah Islam.
Suatu sikap dan perilaku yang dewasa ini kembali menggejala. Termasuk dalam beragam respon berlebihan terhadap Disertasi Milk al-Yamin itu.