Caci maki, tudingan, dan ancaman itu hampir pasti datang dari orang-orang yang tidak paham persoalan. Tidak punya tradisi ilmiah. Kaum sumbu pendek yang anti intelektual. Mereka itu pasti tidak mengenal siapa Doktor Syahrur. Pasti belum pernah membaca secuilpun karya-karya cendekiawan Muslim asal Suriah itu.
Semisal al-Kitab wa al-Qur'an: Qira'atun Mu'asarah" (Pembacaan Kontemporer al-Qur'an). Pasti pula belum membaca disertasi itu secara utuh. Orang-orang seperti ini biasanya hanya dengan membaca judul atau sepotong berita dan secuil wawancara saja, merasa sudah cukup memiliki kapasitas dan kompetensi untuk menyimpulkan, menyalah-nyalahkan dan menuding sesat. Lalu tiba-tiba pada kegeeran merasa paling relijius, paling taat beragama, paling punya kontribusi membela agama.
Mereka lupa kalau sikap juga perilaku serupa itu justru juga melanggar perintah agama. Menyimpulkan sesuatu tanpa dilengkapi informasi dan data lengkap, itu tak berbeda dengan prasangka. Hal yang sangat dilarang oleh agama. Â Begitu pula mencaci maki pun menuding sesat, tak kalah terlarangnya.Â
Tak pelak agama mengingatkan, bila  tudingan sesat apalagi pengkafiran terhadap seseorang  justru merupakan  kesesatan dan kekafiran itu sendiri. Begitu keras agama mengingatkan ini.
Mereka juga pasti  lupa. Kalau al-Qur'an justru memberi apresiasi besar  bagi orang-orang berpendidikan tinggi, berpengetahuan luas,  lagi memaksimalkan fungsi akal pikirannya.Â
Nabi sendiri memberi nilai lebih kepada para pemikir. Yang dengan ilmunya berusaha semaksimal mungkin menemukan inovasi-inovasi mutakhir solutif bagi problem sosial keumatan. Bukannya menyalahkan, nabi malah tetap memberi single reward bagi seorang pemikir. Sekalipun pemikirannya tersebut jelas-jelas  terbukti salah.
Tapi sayang, pada suatu kaum minim literasi nan jauh dari peradaban iqra' itu, yang berkembang bukanlah tradisi diskusi. Tapi persekusi. Pun bulliying. Yang hampir pasti dilakukan secara keroyokan. Itulah yang terjadi kini.
Karena miskin literasi, bisanya hanya memaki dan menuding orang sesat. Ironi kaum yang jauh dari peradaban Iqra'.
Padahal cara yang paling adil dan beradab untuk menghakimi sebuah karya ilmiah adalah dengan karya ilmiah pula. Bukan dengan asumsi, apalagi caci maki dan menuding sesat. Lebih-lebih ancaman dan teror psikis maupun fisik.
Menuding sesat sebuah pemikiran, sebelum membacanya secara menyeluruh, itulah kesesatan yang sesungguhnya. Bahkan kebiadaban.
Gemarlah membaca, belajarlah menulis, perbanyak diskusi, biar tak mudah emosi, tak mudah mencaci-maki dan menuding sesat suatu pemikiran. "Sesesat apapun" pemikiran itu.