"Sungguh Bani Hasyim dipermainkan oleh kekuasaan, tiada kekuasan yang datang dan tiada pula wahyu yang turun".
Itulah sepenggal bait puisi yang dilantunkan oleh Yazid bin Mu'awiya, khalifah kedua Bani Umayyah, yang menganggap bahwa kemunculan agama Islam hanyalah permainan kekuasaan oleh orang-orang Bani Hasyim.
Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang cerita di atas. Namun sampainya penggalan bait puisi tersebut hingga sekarang menunjukkan betapa tajamnya perseteruan antara Bani Hasyim dan Bani Umayyah.
Sebuah perseteruan yang dimulai sebelum era Islam dan memuncak pada abad-abad pertama setelah wafatnya Rasulullah.
Yang tersiar luas bahwa Bani Umayyah telah memenangi perseteruan tersebut setelah Muawiyah bin Abi Sufyan mengambil alih kekuasaan dari Ali bin Abi Thalib, dan membuka jalan kekuasaan bagi Bani Umayyah.Â
Namun sesungguhnya kisah itu belum berakhir pada beberapa dekade setelah kebangkitan Islam.
Perang Badr dan permulaan perseteruan.
Dalam penelitiannya tentang buku An Niza' Wat Takhasum Fima Baina Bani Umayyah Wa Bani Hasyim karangan Taqqiuddin Al Maqrizi, guru besar sejarah Islam Hussein Muanas meminimalisir dampak perseteruan antara Bani Umayyah dan Bani Hasyim pra-Islam, dan menganggap bahwa perseteruan yang sebenarnya dimulai pada waktu perang Badr yang terjadi pada tahun 642 Masehi.
Tatkala Atabah bin Rabi'ah pemimpin Bani Umayyah terbunuh di tangan Hamzah bin Abdul Muthalib paman Nabi Muhammad, dan empat pembesar Bani Umayyah terbunuh di tangan Ali bin Abi Talib, lalu Nabi Muhammad perintahkan untuk memenggal leher tawanan Bani Umayyah, Uqba bin Abi Maaith, walaupun ia telah memohon ampun.
Dukungan yang diberikan oleh orang-orang Bani Hasyim kepada risalah Nabi Muhammad sesungguhnya karena hubungan kekerabatan. Pamannya, Abu Thalib, selalu melindungi Nabi Muhammad walaupun ia tidak beriman pada risalah Nabi Muhammad.
Maka ketika Nabi Muhammad dikepung oleh orang-orang Quraisy, orang-orang Bani Hasyim segera berdiri melindungi Nabi Muhammad, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziah dalam bukunya Zadul Mi'ad Fi Hadyi Khairul Ibad.
Di sisi lain, sebagian dari Bani Umayyah masuk Islam karena terpaksa. Di antaranya adalah Abu Sufyan, yang masuk Islam secara paksa pada waktu penaklukan Mekkah, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam bukunya Al Bidayah Wan Nihayah.
Mahmud Abbas al-Aqqad berpendapat bahwa Bani Umayyah memiliki ambisi besar untuk mengambil kekuasaan sejak zaman Nabi Muhammad, namun mereka menahannya sampai Usman bin Affan, yang merupakan salah satu dari mereka, mengambil alih kekuasaan.Â
Dan ketika Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah, mereka pun tidak siap kehilangan kekuasaan, maka terjadilah perseteruan yang berakhir dengan naiknya Muawiyah bin Abu Sufyan ke tahta kekuasaan dan berdirinya khilafah Umayyah pada tahun 661 Masehi.
Pemberontakan Bani Hasyim
Banyak orang yang memusatkan perhatiannya pada periode permulaan khilafah Islam. Di benak mereka terpatri doktrin bahwa Bani Umayyah telah memenangi perseteruannya lawan Bani Hasyim. Tetapi pada kenyataannya bahwa perseteruan tidak berhenti di situ.
Bani Hasyim melancarkan pemberontakan lawan Bani Umayyah lebih dari sekali.
Pada tahun 680 Masehi, pemberontakan pertama dipimpin oleh Hussein bin Ali, putra Ali bin Abi Thalib, dan cucu Nabi Muhammad, dan berakhir dengan kematiannya dalam pembantaian Karbala.
Pada tahun 741 Masehi, pemberontakan Zaid bin Ali bin Hussein melawan Hisham bin Abdul Malik di Kufah. Pemberontakan tersebut didukung secara finansial oleh Imam Abu Hanifa, pendiri mazhab Hanafi. Namun dapat dikalahkan oleh Bani Umayyah yang dipimpin oleh Gubernur Irak, Yusuf bin Umar al-Thaqafi.
Pada tahun 746 Masehi, Abdullah bin Muawiyah, cucu Ja'far bin Abi Thalib, memberontak pada masa pemerintahan khalifah Umayyah Marwan bin Muhammad, setelah ia dibaiat oleh penduduk Kufah, namun dapat dikalahkan oleh Bani Umayyah yang dipimpin oleh Gubernur Irak, Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz. Abdullah bin Muawiyah akhirnya lari ke Khurasan.
Khurasan merupakan tempat perlindungan pada pemberontak.
Bani Umayyah memberi kedudukan khusus kepada orang-orang Arab daripada orang-orang yang berasal dari bangsa-bangsa lain.Â
Lebih daripada itu, penguasa Khurasan, Asyras bin Abdullah al-Salami, menerapkan pajak keselamatan jiwa kepada seluruh penduduk Khurasan, bahkan kepada yang telah masuk Islam sekalipun. Kebijakan tersebut menimbulkan keinginan di antara penduduk Khurasan untuk lepas dari pemerintahan Umayyah dengan cara apa pun.
Pada tahun 735 Masehi, muncul pemberontakan al-Harith ibn Sirij yang mendapatkan dukungan luas. Namun al-Harith bukan berasal dari Bani Hasyim tetapi dari Bani Tamim.
Dalam situasi yang tidak konduktif ini, Bani Hasyim mulai melancarkan propaganda di tengah penduduk Khurasan untuk mendukung mereka mengambil alih kekuasaan di bawah slogan "Al Ridha Min Al Muhammad -- Keridhoan dari Bani Muhammad".
Dalam melancarkan propagandanya, Bani Hasyim fokus pada peristiwa pertumpahan darah dzurriyah Nabi Muhammad yang dilakukan oleh Bani Umayyah, dan tipu daya perjanjian perdamaian yang dilakukan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan untuk mengambil alih kekuasaan yang kemudian menyerahkan kekuasaan kepada anak cucunya, serta jauhnyaÂ
Bani Umayyah dari syariat Islam.
Bani Hasyim melancarkan pemberontakan dalam dua lini yakni klan Alawi yang berasal dari keturunan Ali bin Abi Thalib dan klan Abbasi yang berasal dari keturunan Abbas bin Abdul Muttalib
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H