Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ketika Ibu Mengingat Gus Dur

25 Desember 2018   19:28 Diperbarui: 25 Desember 2018   20:48 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu menggeser duduknya agak ke tengah ranjang, sembari menajamkan matanya ke televisi yang terletak persis di depan ranjang, meski ia kerap memicingkan kedua matanya, namun ia mengakui bahwa penglihatannya masih sangat baik.

"Kok, Pak Harto itu dulunya jadi presiden lama sekali" 

Suaranya berbisik, pertanyaan itu telah diulanginya hingga tiga kali, ia seperti menanyakan itu pada dirinya sendiri. 

Aku memperbaiki punggung yang sedari tadi bersandar pada bantal di tepi ranjang. Sayup suara ibu kudengar ditengah gema suara pembaca berita yang mengabarkan tentang Berkarya, partai yang dipimpin putra Pak Harto.

Ibuku memasang mata dan telinga begitu lekat ke televisi, ia memperhatikan tiap gambar yang lewat. Sesekali kening tuanya berkerut, mungkin berusaha memahami bahasa-bahasa politik yang dibacakan pembawa berita.

"Berapa tahun ia jadi presiden Wik?" Ia bertanya sambil menatap ke arahku, yang sebenarnya sudah ingin tidur. 

"Mungkin 32 tahun Bu". Jawabku datar
Keningnya masih berkerut.

"Kok bisa, seingat ibu belum ada lho presiden lama kayak gitu".

Suaranya pelan, ditimpa iklan lagu mars partai politik yang mengalun di kamar ini. Jam dinding tua berdentang sembilan kali. Aku menguap kecil, ingin memanggil kantuk agar segera hinggap, tubuhku meminta rebah namun mata belum sedikitpun ingin lelap.

Ibuku masih duduk tegak ditengah ranjang, matanya belum lepas dari layar datar yang telah sejam lalu ditatapnya. Tak seperti kebanyakan ibu-ibu di kampung, ibuku tak begitu senang sinetron, tapi sangat menyukai telenovela yang tayang setiap sore. Di jam seperti ini, ia gemar mendengarkan berita, sesekali reality show atau acara sejenisnya.

Mungkin karena negeri ini sedang sibuk mempersiapkan hajatan akbar pemilihan presiden nanti, maka televisi seluruhnya berisi berita-berita demikian. Ibuku termasuk manusia yang lahir di era 60an, masa ketika Pak Harto mulai memimpin Indonesia, maka ingatannya tentang presiden, hanya tertuju pada nama itu.

Namun, ia tak pandai mengingat detil peristiwa apa saja yang dialaminya di jaman itu, selain karena ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa, istri pegawai negeri sipil, ibuku juga tak pernah menamatkan pendidikan tingkat dasar, ia tak mengerti politik, aku malah tak tahu apakah ia bisa mengeja huruf atau tidak.

"Wik, kenapa tak ada lagi presiden yang menjabat begitu lama macam Pak Harto?" 

Ia bertanya, seraya menyandarkan punggungnya di tumpukan bantal, agar sejajar denganku.

"Dilarang undang-undang Bu" jawabku datar.

"Oh gitu. Sekarang bisanya berapa lama?"

"sepuluh tahun Bu,"

Aku mendengar gumam pelan dari mulutnya, namun aku tak menjelaskan lebih panjang lagi. Tubuhku teramat lelah, betisku masih berdenyut, akibat aksi long march yang tadi siang kuikuti bersama sejumlah organisasi mahasiswa. Betapa harga kopra yang turun drastis mengharuskan kami menuntut pemerintah agar mau menaikan harganya secara wajar. Bau matahari masih menempel di kepala hingga bajuku.

Mataku sayu menatap televisi yang menurutku hanya berisi gambar-gambar tak berguna. Tetiba aku memalingkan wajah ke arah ibu, ketika tangan keriputnya lembut meraba dahiku.

"Kamu sakit Wik? Apa kelelahan saja?" Suaranya lembut penuh kasih.

Seketika senyumku merekah bahagia, menyaksikan binar matanya yang teduh dan tua. Semenjak kepergian bapak, ibu menjadi satu-satunya tumpuan yang aku punya, sebagai anak lelaki semata wayang, aku mengerti ibu amat menyayangiku, bahkan beliau mengharuskanku menemaninya sebelum tidur, sebelum ia pulas sepenuhnya di alam mimpi aku harus berada disampingnya, seperti malam ini.

"Wiki lelah Bu". Jawabku  sembari tersenyum. 

Ia menghela nafas lembut.

"Ibu sebenarnya menginginkan kamu cepat selesai kuliah saja. Bukannya malah larut ngurusin organisasi, demo sana, demo sini, kan capek, belum tentu juga berhasil" 

Suara itu kembali menggema di telingaku. Suara yang telah berulang kali aku dengar.

"Jaman sekarang memang semua serba sulit Wik. Petani kian miskin, harga-harga tak seberapa. Coba kalo Gus Dur masih hidup, mungkin petani akan kaya raya"

Aku agak tersentak mendengar Ibu menyebut Gus Dur. Tokoh yang begitu kubanggakan, tokoh yang kerap menjadi inspirasi bagiku dan semua kawan seperjuangan. Kami mengingatnya sebagai bapak yang menjunjung tinggi toleransi. 

Namun, aku belum pernah mendengar bagaimana keberpihakan Gus Dur kepada para petani Indonesia. Pengetahuanku tentang Gus Dur sebatas pemikirannya tentang toleransi.

Aku meluruskan punggung, lalu menatap ibu yang dengan entengnya menekan remote kontrol demi mendapat tontonan yang mungkin menurutnya layak. 

"Bu, Ibu tahu Gus Dur?" Aku bertanya sungguh-sungguh. 

"Iya, dia kan sempat jadi presiden, tapi tidak lama, tidak kayak Pak Harto" Ibu terdiam.

"Lalu? Menurut ibu Gus Dur itu gimana?" 

Setengah terbata aku kebingungan menyusun kalimat yang sekiranya pantas untuk kutanyakan pada ibu, perempuan yang tidak mengerti politik, dan ini kali pertama aku mendengar ibu menyebut tentang beliau, semenjak ia gemar menonton televisi.

"waktu Gus Dur jadi presiden, petani cengkeh, cokelat, kopra dan lain-lain  hidupnya makmur semua. Bahkan waktu itu harga cengkeh bisa setara harga emas lho. Nggak kayak sekarang, panen cengkeh tidak menjanjikan, kopra tidak lagi berharga"

Ibu menutup pembicaraannya dengan meletakkan remote kontrol di meja samping tempat tidur, lalu merebahkan tubuhnya di ranjang. Matanya masih terus menatap televisi.

"Lho, ini keluarganya Gus Dur ya Wik?" Ibu bertanya tanpa memalingkan wajah dari televisi.

Aku menoleh, tampak di sebuah acara Ibu Sinta dan ke empat putrinya tengah di wawancarai dalam satu acara. Tapi, acara itu sama sekali tak menarik perhatianku, bukannya aku tak menyukainya. Namun, aku lebih tertarik pada sepotong cerita yang tadi ibu sampaikan.

"Gus Dur itu hebat ya Wik, meski jadi presiden hanya sebentar tapi sanggup bikin petani cengkeh kaya mendadak. Ya syukurlah, sampai kini harga cengkeh masih lumayan, walau tumbuhnya tak sesubur dulu"

Ibu kembali berkata dan suaranya kembali ditimpa iklan televisi.

Aku mengangguk tersenyum. Ibuku tak paham politik, mungkin juga tak bisa baca tulis. Tapi, hari ini, ia memberi sepenggal pengetahuan baru yang layak untuk kupelajari, Gus Dur dan jasanya pada petani Indonesia. Pengetahuan ini, mungkin hanya sepele, tak penting dan bukan termasuk baru. 

Namun, aku tak pernah menduga akan mendengarnya dari ibuku. Banyak kawan diskusi dan kawan belajar yang kerap kujumpai dalam hiruk pikuk organisasi, tapi belum pernah secuilpun mereka membincang Gus Dur dalam bingkai ekonomi. 

Bahkan, di bulan ini, haul Gus Dur diperingati, tapi, aku belum menemukan tema selain toleransi, pluralisme dan kebangsaan atau sejenisnya.

Mungkin bacaanku tergolong kurang, kemampuan belajarku termasuk lambat, hingga sepotong cerita ibu membuka pikiranku, membuka cakrawala keingintahuanku, bahwa Gus Dur tak sebatas toleransi, Gus Dur adalah pahlawan para petani. 

Terima kasih ibu, kau tak pernah belajar tentang politik, tapi pengalamanmu sebagai ibu, sebagai perempuan yang dibesarkan di keluarga petani cukup jadi pengetahuan berharga yang engkau tularkan kepadaku.

Sekelebat ide, bergaung di pikiranku, ide untuk meneliti bagaimana Gus Dur sanggup meningkatkan perekonomian negeri ini di masa jabatannya yang terbilang singkat. 

Lelahku perlahan lenyap, pikiranku seketika seperti diberi makanan bergizi, untaian ide-ide segera menari di bayangan akalku.

Jam berdentang dua belas kali, pertanda malam telah larut, aku menoleh ke samping, ibu tampak tenang dalam tidurnya, kali ini mimpi-mimpinya ditimpa suara putri-putri Gus Dur yang bergantian menjawab pertanyaan yang dilontarkan pembawa acara.

Aku mengecup lembut kening ibu, menarik selimut dan menutupi tubuhnya supaya hangat, mematikan televisi lampu, dan keluar menuju kamarku. 

Kunyalakan komputer dan mulai menulis bagian-bagian penting yang sekiranya menjadi fokus penelitianku nanti. Sekali lagi, terima kasih bu, tahun depan putramu pasti sarjana, seperti yang kau harapkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun