Namun, ia tak pandai mengingat detil peristiwa apa saja yang dialaminya di jaman itu, selain karena ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa, istri pegawai negeri sipil, ibuku juga tak pernah menamatkan pendidikan tingkat dasar, ia tak mengerti politik, aku malah tak tahu apakah ia bisa mengeja huruf atau tidak.
"Wik, kenapa tak ada lagi presiden yang menjabat begitu lama macam Pak Harto?"Â
Ia bertanya, seraya menyandarkan punggungnya di tumpukan bantal, agar sejajar denganku.
"Dilarang undang-undang Bu" jawabku datar.
"Oh gitu. Sekarang bisanya berapa lama?"
"sepuluh tahun Bu,"
Aku mendengar gumam pelan dari mulutnya, namun aku tak menjelaskan lebih panjang lagi. Tubuhku teramat lelah, betisku masih berdenyut, akibat aksi long march yang tadi siang kuikuti bersama sejumlah organisasi mahasiswa. Betapa harga kopra yang turun drastis mengharuskan kami menuntut pemerintah agar mau menaikan harganya secara wajar. Bau matahari masih menempel di kepala hingga bajuku.
Mataku sayu menatap televisi yang menurutku hanya berisi gambar-gambar tak berguna. Tetiba aku memalingkan wajah ke arah ibu, ketika tangan keriputnya lembut meraba dahiku.
"Kamu sakit Wik? Apa kelelahan saja?" Suaranya lembut penuh kasih.
Seketika senyumku merekah bahagia, menyaksikan binar matanya yang teduh dan tua. Semenjak kepergian bapak, ibu menjadi satu-satunya tumpuan yang aku punya, sebagai anak lelaki semata wayang, aku mengerti ibu amat menyayangiku, bahkan beliau mengharuskanku menemaninya sebelum tidur, sebelum ia pulas sepenuhnya di alam mimpi aku harus berada disampingnya, seperti malam ini.
"Wiki lelah Bu". Jawabku  sembari tersenyum.Â