Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Ketika Ibu Mengingat Gus Dur

25 Desember 2018   19:28 Diperbarui: 25 Desember 2018   20:48 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"waktu Gus Dur jadi presiden, petani cengkeh, cokelat, kopra dan lain-lain  hidupnya makmur semua. Bahkan waktu itu harga cengkeh bisa setara harga emas lho. Nggak kayak sekarang, panen cengkeh tidak menjanjikan, kopra tidak lagi berharga"

Ibu menutup pembicaraannya dengan meletakkan remote kontrol di meja samping tempat tidur, lalu merebahkan tubuhnya di ranjang. Matanya masih terus menatap televisi.

"Lho, ini keluarganya Gus Dur ya Wik?" Ibu bertanya tanpa memalingkan wajah dari televisi.

Aku menoleh, tampak di sebuah acara Ibu Sinta dan ke empat putrinya tengah di wawancarai dalam satu acara. Tapi, acara itu sama sekali tak menarik perhatianku, bukannya aku tak menyukainya. Namun, aku lebih tertarik pada sepotong cerita yang tadi ibu sampaikan.

"Gus Dur itu hebat ya Wik, meski jadi presiden hanya sebentar tapi sanggup bikin petani cengkeh kaya mendadak. Ya syukurlah, sampai kini harga cengkeh masih lumayan, walau tumbuhnya tak sesubur dulu"

Ibu kembali berkata dan suaranya kembali ditimpa iklan televisi.

Aku mengangguk tersenyum. Ibuku tak paham politik, mungkin juga tak bisa baca tulis. Tapi, hari ini, ia memberi sepenggal pengetahuan baru yang layak untuk kupelajari, Gus Dur dan jasanya pada petani Indonesia. Pengetahuan ini, mungkin hanya sepele, tak penting dan bukan termasuk baru. 

Namun, aku tak pernah menduga akan mendengarnya dari ibuku. Banyak kawan diskusi dan kawan belajar yang kerap kujumpai dalam hiruk pikuk organisasi, tapi belum pernah secuilpun mereka membincang Gus Dur dalam bingkai ekonomi. 

Bahkan, di bulan ini, haul Gus Dur diperingati, tapi, aku belum menemukan tema selain toleransi, pluralisme dan kebangsaan atau sejenisnya.

Mungkin bacaanku tergolong kurang, kemampuan belajarku termasuk lambat, hingga sepotong cerita ibu membuka pikiranku, membuka cakrawala keingintahuanku, bahwa Gus Dur tak sebatas toleransi, Gus Dur adalah pahlawan para petani. 

Terima kasih ibu, kau tak pernah belajar tentang politik, tapi pengalamanmu sebagai ibu, sebagai perempuan yang dibesarkan di keluarga petani cukup jadi pengetahuan berharga yang engkau tularkan kepadaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun