Ia menghela nafas lembut.
"Ibu sebenarnya menginginkan kamu cepat selesai kuliah saja. Bukannya malah larut ngurusin organisasi, demo sana, demo sini, kan capek, belum tentu juga berhasil"Â
Suara itu kembali menggema di telingaku. Suara yang telah berulang kali aku dengar.
"Jaman sekarang memang semua serba sulit Wik. Petani kian miskin, harga-harga tak seberapa. Coba kalo Gus Dur masih hidup, mungkin petani akan kaya raya"
Aku agak tersentak mendengar Ibu menyebut Gus Dur. Tokoh yang begitu kubanggakan, tokoh yang kerap menjadi inspirasi bagiku dan semua kawan seperjuangan. Kami mengingatnya sebagai bapak yang menjunjung tinggi toleransi.Â
Namun, aku belum pernah mendengar bagaimana keberpihakan Gus Dur kepada para petani Indonesia. Pengetahuanku tentang Gus Dur sebatas pemikirannya tentang toleransi.
Aku meluruskan punggung, lalu menatap ibu yang dengan entengnya menekan remote kontrol demi mendapat tontonan yang mungkin menurutnya layak.Â
"Bu, Ibu tahu Gus Dur?" Aku bertanya sungguh-sungguh.Â
"Iya, dia kan sempat jadi presiden, tapi tidak lama, tidak kayak Pak Harto" Ibu terdiam.
"Lalu? Menurut ibu Gus Dur itu gimana?"Â
Setengah terbata aku kebingungan menyusun kalimat yang sekiranya pantas untuk kutanyakan pada ibu, perempuan yang tidak mengerti politik, dan ini kali pertama aku mendengar ibu menyebut tentang beliau, semenjak ia gemar menonton televisi.