Mohon tunggu...
Rahmi H
Rahmi H Mohon Tunggu... Guru - Peskatarian

Ngajar | Baca | Nulis Kadang-Kadang Sekali

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Berganti Kepercayaan

17 Februari 2018   18:21 Diperbarui: 17 Februari 2018   18:42 572
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kelas hari ini menyajikan sesuatu yang sangat inspiratif,  ini merupakan pertemuan pamungkas dari dua belas kali pertemuan yang kami lewati. Seharusnya hari ini kami berkutat dalam soal-soal sebagai ujian yang harus kami kerjakan. Tapi, kali ini tidak. 

Ibu guru yang baik hati itu justru meminta kami mengajukan satu pertanyaan yang akan berusaha dijawabnya sesuai dengan kemampuannya sebagai seorang guru. Saya tergugah. Sesuatu yang baru akan kami cicipi, jika pada ujian-ujian sebelumnya, kami menerima tumpukan pertanyaan dari guru, kali ini kamilah yang harus membuat pertanyaan itu. 

Dunia terbalik? Ah tidak, rasanya ini sungguh luar biasa. Pertemuan terakhir, memang seharusnya begini, mengingat banyak hal yang ingin kami ketahui tetapi waktu sungguh terbatas, maka segeralah kesempatan ini kugunakan sebaik-baiknya. Perasaan bahagia menyergapku seketika, harapan besar akan tuntasnya masalah yang sedang kuhadapi, kini menemukan jalannya, semoga. 

Aku menaruh harapan itu pada pendapat, saran, pandangan atau apa saja dari Ibu guru yang telah sekian bulan mengajar di kelas kami. Aku kagum pada cerita-ceritanya tentang kebebasan beragama, ia mampu menggiring akal kami pada pemahaman yang logis tapi sama sekali tidak menganggu rasa keimanan kami sebagai orang yang mengaku beriman, karena itulah aku bertekad memintanya untuk mengemukakan pandangan atas satu hal yang akan kulakukan. 

Ibu guru meminta kami menuliskan satu pertanyaan itu di selembar kertas dan menyerahkannya kembali, ia berjanji mulai besok pertanyaan-pertanyaan itu akan dijawabnya, dengan menuliskan jawaban itu dan menyerahkan kepada kami. 

Aku gembira, dengan demikian aku bisa membaca dan menyimpannya, aku yakin apa yang akan disampaikan Ibu guru akan sangat berguna bagi keputusanku selanjutnya. Satu persatu teman sekelasku mengumpulkan kertas berisi pertanyaan, termasuk aku, ketika seluruhnya telah terkumpul, Ibu guru mengakhiri pertemuan itu dengan ucapan terima kasih dan doa. 

Punggungku terhembus udara dari pendingin ruangan yang digantung tepat di dinding di belakangku. Tubuhku sedikit menahan gigil, sementara Ibu guru terus menatapku tak percaya, meski rasa kasih terpancar amat tulus di matanya. 

Pagi ini, aku memenuhi panggilannya. Aku mengerti atas alasan apa aku harus berada disini dan berbicara dengannya. Setidaknya aku tak menerima penghinaan dan penghakiman sepihak atas satu hal yang dengan sepenuh hati akan kulakukan, aku menghargai Ibu guru sebagaimana juga ia akan menghargai pilihanku, semoga demikian. 

Kedua tangannya menggenggam secarik kertas milikku yang berisi pertanyaan, aku meminta pendapatnya tentang keinginanku berganti kepercayaan. 

"Jika kau tidak keberatan, aku ingin mendengar alasan mengapa kamu akan melakukannya, percayalah, alasanmu sama sekali tidak akan mengubah pendapat yang akan kusampaikan nanti, tapi harus diakui, masalah ini amat sensitif, karena itu kita harus bisa membicarakannya bersama" Ibu guru berkata sambil terus menatapku. 

Dalam ketertundukan, aku menyampirkan salah satu ujung jilbab ke bahu, menarik nafas panjang, lalu mulai berbicara. 

"Terima kasih, Ibu adalah orang pertama yang mau mendengarkan ini, dari beberapa orang terdekat yang aku ajak bicara. Aku berkeinginan pindah agama karena cinta" Aku berhenti sejenak, mengangkat wajah, lalu menatap lekat ke dalam mata Ibu guru yang berusaha menyembunyikan keterkejutannya. 

Aku yakin, ia menganggap hal ini amat sepele, aku bisa menebak dalam pikirannya aku hanyalah anak kecil berusia tujuh belas tahun yang tak mengerti makna cinta, dan begitulah pandangan orang-orang yang menyebut diri mereka lebih dewasa dariku. 

"Kamu punya pacar? Beda agama?" pertanyaan itu terlontar begitu saja, bahkan sebelum si empunya pertanyaan menyadarinya. 

Aku tersenyum, mengangguk jujur, sambil membayangkan wajah lelaki yang amat kucintai. Aku bisa membaca pikiran siapa saja ketika mendengar pengakuanku, penilaian mereka tentu amat sederhana, seorang remaja perempuan, cantik, yang sedang jatuh cinta di masa pubertas, kini telah terhanyut di kubangan cinta yang belum dimengertinya sama sekali, bahkan ia rela berganti agama demi pacarnya, aku memaklumi penilaian itu, mereka menganggapku belum mengerti apapun. 

Tapi bukankah cinta tidak pernah sesederhana status remaja dan masa pubertas? Bukankah cinta lebih luas dari itu? Menurutku cinta lebih luas dari pengalaman-pengalaman orang dewasa yang sering diceritakan kakakku. Ibu guru meneguk air putih langsung dari botolnya, mungkin ia gelisah mendapatiku dalam ketenangan dan keyakinan yang sangat kuat. 

"Aku mencintainya bukan dalam batas-batas keagamaan yang kami yakini, aku mencintainya lebih dari itu dan pemahamanku akan cinta tidak terikat pada ajaran-ajaran kitab suci yang kami baca setiap hari, kami memahami cinta lebih dalam dari semua itu, bahwa kami sama-sama meyakini pertemuan dan perasaan kami dihidupkan oleh Tuhan yang memberi kami kebebasan untuk saling mencintai" 

Aku sengaja menegaskan pemahamanku tentang cinta, agar aku tak lagi mendengar nasehat-nasehat yang telah berulang kali disampaikan oleh ayah, ibu, saudara dan teman-temanku. Aku menaruh harap, Ibu guru adalah orang pertama yang mau mendengarkanku, meski mungkin ia tidak akan mendukung keputusanku. 

"Tapi, kami menyadari, bahwa kenyataan tidak seramah dan setulus cinta yang kami yakini. Di hadapan kami, benturan dan tekanan kian tak terkendali, tapi kami yakin bisa melaluinya, dengan menakar segala kemungkinan di bagian mana kami bisa diterima dan hidup tenang. Aku mendapati kenyataan bahwa keluarga dan teman-temannya lebih mampu menerima kami, maka aku memutuskan untuk ikut bersamanya. Keluargaku sama sekali tidak mau menerimanya, dia pernah dihina, dilecehkan  hingga dipukuli di hadapanku" 

"Bu, jujur saja, aku tidak dapat memastikan masa depan seperti apa yang akan kuhadapi nanti, karena aku percaya takdir Tuhan tak sepenuhnya dapat kuhindari, tapi aku tahu hari ini aku harus menentukan sikap sebagai bentuk tanggung jawabku atas rasa cinta yang kini menguasai pikiran dan perasaanku. Aku yakin, segalanya akan menjadi baik, selama kita menguatkan usaha dan doa agar tidak menyakiti siapapun" 

Mataku terus lekat ke wajah Ibu guru, kelegaan seketika menguat di benakku, pada akhirnya aku bisa mengungkapkan ini semua dihadapan orang yang mau mendengarkan. Terima kasih Bu guru, batinku. 

Ibu guru menarik nafas berat, ia memutar pulpen di sela jemari lentiknya, sambil melirik jam di tangan kirinya, semoga saja ia tak ada kelas hari ini aku berdoa dalam hati agar bisa berbincang lebih lama lagi dengannya. 

"Pilihan agama sepenuhnya ada pada kehendakmu, aku tidak berhak ikut campur, demikian juga dengan pemaknaanmu atas cinta dan hubunganmu dengan pacarmu, itu seluruhnya berada dalam kuasamu. Aku mohon maaf jika kamu merasa terpaksa harus mengungkapkan semuanya di hadapanku. Aku yakin keputusanmu tak akan menyakiti siapapun. Semoga Tuhan memberkahi setiap keputusan yang kau tetapkan" 

Aku menatapnya tak percaya, kata-katanya sungguh membebaskan aku dari perasaan berdosa yang selalu hinggap di pendengaranku setiap kali aku mendengar ceramah para ustadz yang berkumandang di mesjid samping rumah. 

Kini, aku merasa terbebas dari segala tuduhan kafir, munafik, bodoh dan segala macam cacian yang kerap kudengar dari semua orang yang mengenalku begitu mereka tahu bahwa aku mencintai lelaki yang tidak seagama denganku. 

Tuhan, belum sempat aku melangkah, tapi kasih dan kuasaMu kini telah nyata di hadapanku. Aku tersenyum lebar, juga Ibu guru. 

"Bu, kau orang pertama yang menerimaku di kondisi ini. Aku ingin bertanya, tidakkah kau merasa gagal telah mengajariku selama ini?" Pertanyaanku justru disambut senyum yang makin merekah. Ibu guru menggeleng tegas. 

"Aku mengajarimu tentang apa yang memang seharusnya kuajarkan, tapi aku bukan Tuhan yang harus menentukan jalan hidup dan takdirmu" 

Kesejukan seketika merayapi hatiku, keikhlasan yang dipancarkan mata dan wajah itu sungguh berbekas indah di ingatanku. Tak henti kuhaturkan terima kasih padanya, Ibu guru, orang pertama yang mau mendengarkan aku, segera aku bangkit dari kursi dan memeluknya sepenuh hati membisikan terima kasih, ia balas memelukku erat sekali, sungguh menenangkan. 

Kegembiraan ini tak dapat kutanggung sendirian, aku segera menemui kekasihku dan menceritakan kebahagian itu kepadanya. Matanya berbinar mendengar seluruh ucapanku, kami bersepakat akan mengundang Ibu guru dalam acara makan malam khusus sebagai bentuk penghargaan atas pandangannya terhadap kondisi yang kami hadapi. 

Malam itu, aku dan kekasihku bergegas menjemput Ibu guru, dalam perjalanan kami tak henti-hentinya membicarakan sosoknya yang sangat kami kagumi. Kami juga membayangkan bagaimana serunya nanti makan malam ini, aku dan kekasihku akan berbincang dengannya dalam suasana yang santai dan asik. 

Aku tersenyum-senyum bahagia sambil memainkan gawai yang sedari tadi tak lepas dari genggamanku. Tiba-tiba satu pesan masuk muncul di layar, pesan itu dari salah satu keluarga kekasihku, aku membacanya, rupanya itu adalah berita dari salah satu media online. Judul dan isi berita membuatku tak bisa bernafas, foto yang menghiasi berita itu juga membuat aku seperti kehilangan kesadaran, segera kubuka seluruh akun media sosial milikku, berita-berita itu berseliweran di setiap akun dengan judul dan isi yang kurang lebih bertujuan sama. 

Aku masih belum sanggup berkata-kata, hingga kekasihku juga mendapati hal yang sama di layar ponselnya. "SeorangGuruAgamaIslamMenyetujuiSiswanyaPindahAgama" "SiswaPindahAgama, AtasDoronganGurunya" "SiswaMurtadKarenaCinta, GuruMembela" dan sebagainya. Kami tak sempat membacanya satu persatu, yang pasti bermacam cacian dan makian terpampang di setiap lini masa. 

Aku merasa ingin pingsan ketika begitu kami tiba di pintu rumah Ibu guru. Aku yakin ia telah mengetahui apa yang terjadi. Tanpa sempat kuketuk, pintu itu terbuka, di baliknya, Ibu guru berdiri dalam balutan pakaian yang rapi dan elegan, ia mengenakan kerudung merah muda selaras dengan gaun indahnya yang menjuntai hingga mata kakinya, Ibu guru amat menghargai undangan kami, makan malam yang tidak sebegitu mewah. 

Makan malam itu berlangsung tanpa pembicaraan tentang apa yang terjadi di dunia maya, Ibu guru tak menyinggung soal itu, demikian juga kami yang diam-diam mulai menyimpan rasa bersalah atas apa yang kini menimpanya. 

Mungkin kekasihku tak sengaja menceritakan kebahagianku pada teman-teman dan saudaranya, mungkin begitulah cerita itu menyebar, hingga bahagia ini berubah petaka bagi guruku. Nama baiknya sedang dipertaruhkan. Sejujurnya kami tak menyangka pendapatnya akan berakibat sedemikian rupa. 

Makan malam dan seluruh perbincangan kami sudahi karena waktu sudah tak memungkinkan. Dalam perjalanan pulang kami bertiga membisu, aku dan kekasihku menyimpan pikiran masing-masing, sementara Ibu guru sibuk memainkan jempol di layar ponselnya, aku menatapnya dibalik spion, kuperhatikan ekspresi wajahnya sedetil mungkin. Aku tak mendapati rasa bersalah, panik, gelisah maupun kecewa di garis wajahnya yang awet muda itu, bahkan sebaris senyum tipis justru kerap menghias sudut bibirnya. Aku yakin ia telah mengetahui apa yang terjadi di lini masa. 

Aku dan kekasihku mengantarnya hingga ke ruang tamu rumahnya, kami bersalaman amat erat dan saling berucap terima kasih. Rupanya kekasihku tak bisa menahan perasaannya, 

"Bu, maafkan kami. Akibat ulah kami, Ibu jadi objek pemberitaan di semua media sosial" 

Aku menahan nafas, berharap Ibu guru tetap tenang. Sekali lagi, senyum khasnya membuat kami makin merasa bersalah, sambil mengusap bahuku ia berkata,

"agama atau apapun yang berbau agama, pasti menjadi makanan terlezat yang mengundang selera bagi mereka yang gemar menyantapnya. Bahkan pohon yang tumbuh liar di hutan akan menarik perhatian mereka jika kita menggantungkan tasbih atau menancapkan salib di salah satu dahannya, tak usah risau" Ia memelukku seolah memberiku kekuatan bahwa rasa bersalah tidak diperlukan dalam kondisi ini. 

Ada yang perlahan menitik di sudut mataku ketika mendengar ucapannya, sungguh meneduhkan. Di benak terdalam, hati kecilku bergumam, jika saja orang-orang yang mengaku beragama sanggup seikhlas ini, masihkah kita tega membunuh cinta dan kedamaian atas nama agama. 

Agama adalah kebebasan bukan penindasan. Kami pamit pulang dalam lambaian tangan yang penuh damai dari guru yang kami cintai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun