"Pilihan agama sepenuhnya ada pada kehendakmu, aku tidak berhak ikut campur, demikian juga dengan pemaknaanmu atas cinta dan hubunganmu dengan pacarmu, itu seluruhnya berada dalam kuasamu. Aku mohon maaf jika kamu merasa terpaksa harus mengungkapkan semuanya di hadapanku. Aku yakin keputusanmu tak akan menyakiti siapapun. Semoga Tuhan memberkahi setiap keputusan yang kau tetapkan"Â
Aku menatapnya tak percaya, kata-katanya sungguh membebaskan aku dari perasaan berdosa yang selalu hinggap di pendengaranku setiap kali aku mendengar ceramah para ustadz yang berkumandang di mesjid samping rumah.Â
Kini, aku merasa terbebas dari segala tuduhan kafir, munafik, bodoh dan segala macam cacian yang kerap kudengar dari semua orang yang mengenalku begitu mereka tahu bahwa aku mencintai lelaki yang tidak seagama denganku.Â
Tuhan, belum sempat aku melangkah, tapi kasih dan kuasaMu kini telah nyata di hadapanku. Aku tersenyum lebar, juga Ibu guru.Â
"Bu, kau orang pertama yang menerimaku di kondisi ini. Aku ingin bertanya, tidakkah kau merasa gagal telah mengajariku selama ini?" Pertanyaanku justru disambut senyum yang makin merekah. Ibu guru menggeleng tegas.Â
"Aku mengajarimu tentang apa yang memang seharusnya kuajarkan, tapi aku bukan Tuhan yang harus menentukan jalan hidup dan takdirmu"Â
Kesejukan seketika merayapi hatiku, keikhlasan yang dipancarkan mata dan wajah itu sungguh berbekas indah di ingatanku. Tak henti kuhaturkan terima kasih padanya, Ibu guru, orang pertama yang mau mendengarkan aku, segera aku bangkit dari kursi dan memeluknya sepenuh hati membisikan terima kasih, ia balas memelukku erat sekali, sungguh menenangkan.Â
Kegembiraan ini tak dapat kutanggung sendirian, aku segera menemui kekasihku dan menceritakan kebahagian itu kepadanya. Matanya berbinar mendengar seluruh ucapanku, kami bersepakat akan mengundang Ibu guru dalam acara makan malam khusus sebagai bentuk penghargaan atas pandangannya terhadap kondisi yang kami hadapi.Â
Malam itu, aku dan kekasihku bergegas menjemput Ibu guru, dalam perjalanan kami tak henti-hentinya membicarakan sosoknya yang sangat kami kagumi. Kami juga membayangkan bagaimana serunya nanti makan malam ini, aku dan kekasihku akan berbincang dengannya dalam suasana yang santai dan asik.Â
Aku tersenyum-senyum bahagia sambil memainkan gawai yang sedari tadi tak lepas dari genggamanku. Tiba-tiba satu pesan masuk muncul di layar, pesan itu dari salah satu keluarga kekasihku, aku membacanya, rupanya itu adalah berita dari salah satu media online. Judul dan isi berita membuatku tak bisa bernafas, foto yang menghiasi berita itu juga membuat aku seperti kehilangan kesadaran, segera kubuka seluruh akun media sosial milikku, berita-berita itu berseliweran di setiap akun dengan judul dan isi yang kurang lebih bertujuan sama.Â
Aku masih belum sanggup berkata-kata, hingga kekasihku juga mendapati hal yang sama di layar ponselnya. "SeorangGuruAgamaIslamMenyetujuiSiswanyaPindahAgama" "SiswaPindahAgama, AtasDoronganGurunya" "SiswaMurtadKarenaCinta, GuruMembela" dan sebagainya. Kami tak sempat membacanya satu persatu, yang pasti bermacam cacian dan makian terpampang di setiap lini masa.Â