Aku merasa ingin pingsan ketika begitu kami tiba di pintu rumah Ibu guru. Aku yakin ia telah mengetahui apa yang terjadi. Tanpa sempat kuketuk, pintu itu terbuka, di baliknya, Ibu guru berdiri dalam balutan pakaian yang rapi dan elegan, ia mengenakan kerudung merah muda selaras dengan gaun indahnya yang menjuntai hingga mata kakinya, Ibu guru amat menghargai undangan kami, makan malam yang tidak sebegitu mewah.Â
Makan malam itu berlangsung tanpa pembicaraan tentang apa yang terjadi di dunia maya, Ibu guru tak menyinggung soal itu, demikian juga kami yang diam-diam mulai menyimpan rasa bersalah atas apa yang kini menimpanya.Â
Mungkin kekasihku tak sengaja menceritakan kebahagianku pada teman-teman dan saudaranya, mungkin begitulah cerita itu menyebar, hingga bahagia ini berubah petaka bagi guruku. Nama baiknya sedang dipertaruhkan. Sejujurnya kami tak menyangka pendapatnya akan berakibat sedemikian rupa.Â
Makan malam dan seluruh perbincangan kami sudahi karena waktu sudah tak memungkinkan. Dalam perjalanan pulang kami bertiga membisu, aku dan kekasihku menyimpan pikiran masing-masing, sementara Ibu guru sibuk memainkan jempol di layar ponselnya, aku menatapnya dibalik spion, kuperhatikan ekspresi wajahnya sedetil mungkin. Aku tak mendapati rasa bersalah, panik, gelisah maupun kecewa di garis wajahnya yang awet muda itu, bahkan sebaris senyum tipis justru kerap menghias sudut bibirnya. Aku yakin ia telah mengetahui apa yang terjadi di lini masa.Â
Aku dan kekasihku mengantarnya hingga ke ruang tamu rumahnya, kami bersalaman amat erat dan saling berucap terima kasih. Rupanya kekasihku tak bisa menahan perasaannya,Â
"Bu, maafkan kami. Akibat ulah kami, Ibu jadi objek pemberitaan di semua media sosial"Â
Aku menahan nafas, berharap Ibu guru tetap tenang. Sekali lagi, senyum khasnya membuat kami makin merasa bersalah, sambil mengusap bahuku ia berkata,
"agama atau apapun yang berbau agama, pasti menjadi makanan terlezat yang mengundang selera bagi mereka yang gemar menyantapnya. Bahkan pohon yang tumbuh liar di hutan akan menarik perhatian mereka jika kita menggantungkan tasbih atau menancapkan salib di salah satu dahannya, tak usah risau" Ia memelukku seolah memberiku kekuatan bahwa rasa bersalah tidak diperlukan dalam kondisi ini.Â
Ada yang perlahan menitik di sudut mataku ketika mendengar ucapannya, sungguh meneduhkan. Di benak terdalam, hati kecilku bergumam, jika saja orang-orang yang mengaku beragama sanggup seikhlas ini, masihkah kita tega membunuh cinta dan kedamaian atas nama agama.Â
Agama adalah kebebasan bukan penindasan. Kami pamit pulang dalam lambaian tangan yang penuh damai dari guru yang kami cintai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H