"Terima kasih, Ibu adalah orang pertama yang mau mendengarkan ini, dari beberapa orang terdekat yang aku ajak bicara. Aku berkeinginan pindah agama karena cinta" Aku berhenti sejenak, mengangkat wajah, lalu menatap lekat ke dalam mata Ibu guru yang berusaha menyembunyikan keterkejutannya.Â
Aku yakin, ia menganggap hal ini amat sepele, aku bisa menebak dalam pikirannya aku hanyalah anak kecil berusia tujuh belas tahun yang tak mengerti makna cinta, dan begitulah pandangan orang-orang yang menyebut diri mereka lebih dewasa dariku.Â
"Kamu punya pacar? Beda agama?" pertanyaan itu terlontar begitu saja, bahkan sebelum si empunya pertanyaan menyadarinya.Â
Aku tersenyum, mengangguk jujur, sambil membayangkan wajah lelaki yang amat kucintai. Aku bisa membaca pikiran siapa saja ketika mendengar pengakuanku, penilaian mereka tentu amat sederhana, seorang remaja perempuan, cantik, yang sedang jatuh cinta di masa pubertas, kini telah terhanyut di kubangan cinta yang belum dimengertinya sama sekali, bahkan ia rela berganti agama demi pacarnya, aku memaklumi penilaian itu, mereka menganggapku belum mengerti apapun.Â
Tapi bukankah cinta tidak pernah sesederhana status remaja dan masa pubertas? Bukankah cinta lebih luas dari itu? Menurutku cinta lebih luas dari pengalaman-pengalaman orang dewasa yang sering diceritakan kakakku. Ibu guru meneguk air putih langsung dari botolnya, mungkin ia gelisah mendapatiku dalam ketenangan dan keyakinan yang sangat kuat.Â
"Aku mencintainya bukan dalam batas-batas keagamaan yang kami yakini, aku mencintainya lebih dari itu dan pemahamanku akan cinta tidak terikat pada ajaran-ajaran kitab suci yang kami baca setiap hari, kami memahami cinta lebih dalam dari semua itu, bahwa kami sama-sama meyakini pertemuan dan perasaan kami dihidupkan oleh Tuhan yang memberi kami kebebasan untuk saling mencintai"Â
Aku sengaja menegaskan pemahamanku tentang cinta, agar aku tak lagi mendengar nasehat-nasehat yang telah berulang kali disampaikan oleh ayah, ibu, saudara dan teman-temanku. Aku menaruh harap, Ibu guru adalah orang pertama yang mau mendengarkanku, meski mungkin ia tidak akan mendukung keputusanku.Â
"Tapi, kami menyadari, bahwa kenyataan tidak seramah dan setulus cinta yang kami yakini. Di hadapan kami, benturan dan tekanan kian tak terkendali, tapi kami yakin bisa melaluinya, dengan menakar segala kemungkinan di bagian mana kami bisa diterima dan hidup tenang. Aku mendapati kenyataan bahwa keluarga dan teman-temannya lebih mampu menerima kami, maka aku memutuskan untuk ikut bersamanya. Keluargaku sama sekali tidak mau menerimanya, dia pernah dihina, dilecehkan  hingga dipukuli di hadapanku"Â
"Bu, jujur saja, aku tidak dapat memastikan masa depan seperti apa yang akan kuhadapi nanti, karena aku percaya takdir Tuhan tak sepenuhnya dapat kuhindari, tapi aku tahu hari ini aku harus menentukan sikap sebagai bentuk tanggung jawabku atas rasa cinta yang kini menguasai pikiran dan perasaanku. Aku yakin, segalanya akan menjadi baik, selama kita menguatkan usaha dan doa agar tidak menyakiti siapapun"Â
Mataku terus lekat ke wajah Ibu guru, kelegaan seketika menguat di benakku, pada akhirnya aku bisa mengungkapkan ini semua dihadapan orang yang mau mendengarkan. Terima kasih Bu guru, batinku.Â
Ibu guru menarik nafas berat, ia memutar pulpen di sela jemari lentiknya, sambil melirik jam di tangan kirinya, semoga saja ia tak ada kelas hari ini aku berdoa dalam hati agar bisa berbincang lebih lama lagi dengannya.Â