Pergolakan politik di Papua memasuki ranah internet khususnya media sosial seperti Twitter dan Facebook. Selain media sosial, ranah media massa digital juga tak luput dari pembahasan seputar politik di Papua.
Mengacu pada (Ganjar, Husin, & Hendra, 2018), media sosial digunakan sebagai alat yang populer untuk mengartikulasikan politik bagi masyarakat.
Dalam konteks isu politik di Papua, Veronica Koman adalah salah satu seseorang yang sering mengamplifikasi isu mengenai pelanggaran HAM serta gejolak politik antara pemerintah pusat dan Papua. Selain menjadi alat untuk mengartikulasikan politik, media sosial juga dapat digunakan untuk memperkuat suatu wacana baik oleh penguasa maupun masyarakat.
Dalam perjalanannya, penggunaan media sosial sebagai jalan yang demokratis bagi mengemukakan pendapat atau political stand tidak berjalan mulus. Adanya framing pada berita akan terlihat pada pemilihan sumber, kutipan maupun pemilihan judul, ini menunjukkan bahwa disajikannya suatu berita tidak lepas dari adanya aspek realitas yang ditonjolkan atau dibesarkan. Indonesia sebagai negara demokratis tentu menghendaki komunikasi tanpa batas, maka dari itu seharusnya pers atau media apapun terlepas dari intervensi negara (Cangara, 2009).
Kemudian penyakit seperti hoaks dan misinformasi bermunculan yang parahnya tak jarang diproduksi oleh penguasa dalam rangka menghegemoni narasi di media sosial. Hal tersebut tentu bertolakbelakang dengan semangat demokrasi yang diharapkan terjadi pada ruang media sosial.
Berbicara mengenai misinformasi dan hoaks yang beredar mengenai isu di Papua, pemerintah terbukti turut serta dalam memproduksi misinformasi dan hoaks tersebut.
Kementrian Komunikasi dan Informasi adalah salah satu lembaga pemerintah yang turut serta dalam memproduksi hoaks. Pada 2019, Kemkominfo sempat menguji fakta cuitan Veronica Koman di Twitter.
Isi cuitan Veronica Koman mengenai pengepungan aparat dan ormas terhadap asrama mahasiswa Papua di Surabaya disimpulkan sebagai misinformasi oleh Kemkominfo.
Kemkominfo mengatakan Veronica Koman menyebarkan hoaks karena mengatakan bahwa ada dua mahasiswa Papua diculik. Stempel hoaks yang dikeluarkan oleh Kemkominfo pada cuitan tersebut dijadikan alasan mengapa pemerintah memadamkan internet di Papua.
Setelah ditelaah oleh tim uji fakta dari Tempo, ternyata Veronica Koman tidak pernah mengatakan ada penculikan. Veronica hanya berkata bahwa ada penangkapan dan itu sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Veronica Koman meminta Kemkominfo memberikan klarifikasi serta permintaan maaf terbuka karena dianggap telah melakukan pencemaran nama baik (Ningtyas, 2019).
Selain Kemkominfo, hoaks juga diproduksi oleh akun Twitter resmi Pusat Penerangan TNI. Akun Puspen TNI sempat mengatakan bahwa pembunuhan enam warga sipil di Deiyai yang diberitakan oleh Reuters adalah hoaks. Namun klaim hoaks oleh Puspen TNI dibantah oleh media internasional yakni Al-Jazeera.
Selain dibantah oleh media internasional, klaim hoaks oleh Puspen TNI juga dibantah oleh Ketua Departemen Keadilan dan Perdamaian Sinode Gereja Kingmi, Yones Douw, yang memastikan bahwa memang telah terjadi penembakan enam warga sipil saat demonstrasi anti rasisme di Deiyai.
Pejabat publik pemerintah juga tak luput dalam memproduksi misinformasi dan hoaks mengenai isu Papua. Menko Politik, Hukum dan Keamanan saat itu yakni Wiranto menyebarkan informasi mengenai maklumat Majelis Rakyat Papua (MRP) yang meminta pelajar dan mahasiswa asal Papua agar kembali ke Papua. Statemen Wiranto tersebut dibantah dengan tegas oleh MRP. MRP sendiri melalui ketuanya yakni Timotius Murib mengatakan bahwa MRP tidak pernah mengeluarkan maklumat seperti itu (Abdi, 2019).
Buzzer dan Kontra Propaganda Terhadap Isu Pro Kemerdekaan Papua
Selain persoalan misinformasi dan hoaks, isu mengenai politik di Papua juga terjangkit praktik-praktik kontra narasi yang kotor. Bukan hanya di Indonesia, kontra narasi isu politik di Papua juga menyasar pengguna media sosial di luar Indonesia.
Direktur AUT Pacific Media Centre dan editor Pacific Journalism Review (PJR) Professor David Robbie sempat mengunggah foto ilustrasi peserta demonstrasi yang mengenakan koteka di Facebook. Unggahanya tersebut dicabut secara sepihak oleh pihak Facebook. Ia menganggap bahwa pihak Facebook telah menerapkan “tirani algoritma” terhadap isu yang menyangkut gejolak politik di Papua. Tindakan pihak Facebook dianggap telah menghalangi kebebasan pers terlebih akses memperoleh informasi di Papua sangat terbatas (Ariane, 2020).
Kontra narasi terhadap gerakan pro-kemerdekaan di Papua juga dilancarkan dengan menggunakan metode-metode baru oleh pemerintah Indonesia. Investigasi gabungan yang dilakukan oleh BBC dan Australian Strategic Policy Institute menemukan sebuah praktik jaringan akun media sosial yang tidak autentik dan diotomatisasi diberbagai platform seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram dalam rangka memperkuat wacana anti kemerdekaan Papua.
Di Twitter, jaringan akun bot digunakan untuk menyebarkan konten pro-pemerintah Indonesia. Jaringan tersebut menunggangi tagar-tagar yang sejatinya mewacanakan kemerdekaan Papua seperti #FreeWestPapua, #WestPapuaGenocide, #WestPapua, dan #FWPC.
Temuan tersebut muncul setelah investigasi yang dilakukan oleh Benjamin Strick, seorang jurnalis BBC African Eye pada Agustus hingga September 2019 lalu.
Menurut Strick, jaringan akun bot tersebut sudah mulai menunggangi tagar pro – kemerdekaan Papua sejak Juni 2019. Kesimpulan akan penggunaan jaringan bot oleh Strict dikemukakan pasca ia melakukan investigasi lebih lanjut dan menemukan bahwa foto profil yang digunakan pada akun bot semuanya adalah hasil curian dan pernah diunggah sebelumnya oleh orang lain. Keyakinan tersebut semakin kuat karena isi dan waktu cuitan di Twitter tersebut seluruhnya sama.
Kejahatan yang dilakukan melalui akun bot tersebut yakni dengan mendorong perspektif yang membuat penasaran seperti penggunaan kalimat “Apa yang sebenarnya terjadi di Papua? Temukan jawabannya disini” dan menyertakan sebuah link yang diarahkan pada konten pro – pemerintah seperti pemberitaan pembangunan dan kegiatan pemerintah lainnya di Papua. Hal tersebut tentu mengaburkan pandangan masyarakat terhadap persoalan dan kejadian yang sebenarnya terjadi di Papua (Strick & Syavira, 2019).
Facebook dan Instagram juga tak luput menjadi media bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan kontra narasi terhadap gerakan pro – kemerdekaan Papua.
Dilansir dari media Al – Jazeera, pihak Facebook telah menghapus 443 akun, 200 halaman, dan 76 grup Facebook, serta 125 akun Instagram dari Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tenggara termasuk Indonesia. Selain itu, ditemukan pula pembayaran sebesar $ 300.000 atau sekitar 4,2 miliar rupiah untuk memasang iklan di Facebook.
Setelah diselidiki lebih lanjut, ternyata penyelidikan mengenai pembayaran iklan tersebut mengarah ke sebuah perusahaan media Indonesia, yakni InsightID. Perusahaan tersebut menaungi akun Twitter @West_Papua_ID yang bekerja sama dengan jaringan bot. Selain itu, akun tersebut juga mempunyai kanalnya tersendiri yakni westpapuaindonesia.com yang terhubung dengan kanal YouTube, Instagram dengan 10 ribu pengikut, dan halaman Facebook dengan 152 ribu pengikut.
Pihak Facebook sempat mengabarkan bahwa ada keterlibatan InsightID dalam penyebaran hoaks soal Papua, setelah sebelumnya sejumlah akun yang terikat dengan InsightID mengunggah sebuah klaim yang mengatakan bahwa “Konten kami membela Indonesia melawan narasi hoaks separatis Papua Merdeka”. Patut diduga kampanye tersebut dilakukan guna menggiring opini dunia internasional mengenai isu Papua.
Kampanye yang dilakukan tentu sangat efektif seiringan dengan terjadinya sulitnya mengakses informasi mengenai Papua dari media independen. Hal tersebut tentu bisa saja mempengaruhi kebijakan pemerintah negara lain dalam forum internasional PBB. Negara yang menjadi target kampanye tersebut diantaranya AS, Inggris, Swedia, Belanda, dan Jerman (Gunandha & Wijana, 2019).
Australia juga tak luput menjadi target kampanye anti kemerdekaan Papua atas Indonesia. Sebuah investigasi yang dilakukan oleh The Weekend Australian mengkonfirmasi bahwa pemerintah Indonesia berada dibalik “operasi rahasia” dengan menargetkan Australia dan negara lainnya untuk mempengaruhi opini terhadap kemerdekaan Papua dan juga menyerang aktivis hak asasi manusia di Australia.
Kampanye tersebut lebih mengarah pada pembunuhan karakter seorang pengaraca publik Australia yang vokal terhadap isu kemerdekaan Papua yakni Jennifer Robinson. Isi dari kampanye tersebut yakni tuduhan keterlibatan Jennifer Robinson dalam sebuah skandal seks.
Selain Jennifer, Veronica Koman juga menjadi sasaran dari kampanye tersebut dengan tuduhan teroris dan kriminal. Jennifer Robinson akhirnya angkat bicara mengenai hal tersebut dan mengatakan bahwa kampanye tersebut didesain untuk mengintimidasi siapapun yang mengamplifikasi isu kemerdekaan Papua (Rice, 2020).
Selain menggunakan pihak ketiga dalam melancarkan narasi pro – pemerintah, TNI juga diketahui berada dibalik sejumlah situs narasi pro – pemerintah soal Papua. Para peneliti Cyber Security dari Reuters, mengidentifikasi nomor ponsel yang terdaftar di beberapa situs berita dan terhubungan dengan Yunanto, seorang ahli operator komputer TNI.
Situs yang terafiliasi dengan TNI tersebut diantaranya berita-indonesia.co.id, koranprogresif.co.id, dan viralreporter5.com yang telah beroperasi sejak pertengahan 2017. Situs-situs tersebut mempublikasikan konten mengenai laporan-laporan positif pemerintah, militer, dan polisi serta konten berupa artikel yang mengecam para pengkritik pemerintah dan penyelidik HAM.
Redaktur dari beberapa situs yang terafiliasi tersebut mengiyakan bahwa pihak TNI membayar iklan dan mengundang wartawan dari beberapa situs tersebut untuk menghadiri acara militer. Ridwan, salah satu redaktur situs tersebut mengatakan bahwa situs dibayar oleh Pangkalan TNI di seluruh Indonesia. Selain itu, salah satu situs juga ternyata dioperasikan oleh markas Komando Angkatan Darat di Jakarta. Veronica Koman menanggapi hal tersebut dan mengatakan bahwa hal tersebut merupakan sebuah strategi yang disengaja untuk “membingungkan orang Papua” (ABC News, 2020).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H