Mohon tunggu...
Hasya AimanNadhir
Hasya AimanNadhir Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Ilmu Politik

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Buzzer dan Hegemoni Isu Papua di Media Sosial

7 Januari 2022   22:09 Diperbarui: 8 Januari 2022   10:36 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Selain Kemkominfo, hoaks juga diproduksi oleh akun Twitter resmi Pusat Penerangan TNI. Akun Puspen TNI sempat mengatakan bahwa pembunuhan enam warga sipil di Deiyai yang diberitakan oleh Reuters adalah hoaks. Namun klaim hoaks oleh Puspen TNI dibantah oleh media internasional yakni Al-Jazeera. 

Selain dibantah oleh media internasional, klaim hoaks oleh Puspen TNI juga dibantah oleh Ketua Departemen Keadilan dan Perdamaian Sinode Gereja Kingmi, Yones Douw, yang memastikan bahwa memang telah terjadi penembakan enam warga sipil saat demonstrasi anti rasisme di Deiyai.

Pejabat publik pemerintah juga tak luput dalam memproduksi misinformasi dan hoaks mengenai isu Papua. Menko Politik, Hukum dan Keamanan saat itu yakni Wiranto menyebarkan informasi mengenai maklumat Majelis Rakyat Papua (MRP) yang meminta pelajar dan mahasiswa asal Papua agar kembali ke Papua. Statemen Wiranto tersebut dibantah dengan tegas oleh MRP. MRP sendiri melalui ketuanya yakni Timotius Murib mengatakan bahwa MRP tidak pernah mengeluarkan maklumat seperti itu (Abdi, 2019).

Buzzer dan Kontra Propaganda Terhadap Isu Pro Kemerdekaan Papua

Selain persoalan misinformasi dan hoaks, isu mengenai politik di Papua juga terjangkit praktik-praktik kontra narasi yang kotor. Bukan hanya di Indonesia, kontra narasi isu politik di Papua juga menyasar pengguna media sosial di luar Indonesia. 

Direktur AUT Pacific Media Centre dan editor Pacific Journalism Review (PJR) Professor David Robbie sempat mengunggah foto ilustrasi peserta demonstrasi yang mengenakan koteka di Facebook. Unggahanya tersebut dicabut secara sepihak oleh pihak Facebook. Ia menganggap bahwa pihak Facebook telah menerapkan “tirani algoritma” terhadap isu yang menyangkut gejolak politik di Papua. Tindakan pihak Facebook dianggap telah menghalangi kebebasan pers terlebih akses memperoleh informasi di Papua sangat terbatas (Ariane, 2020).

Kontra narasi terhadap gerakan pro-kemerdekaan di Papua juga dilancarkan dengan menggunakan metode-metode baru oleh pemerintah Indonesia. Investigasi gabungan yang dilakukan oleh BBC dan Australian Strategic Policy Institute menemukan sebuah praktik jaringan akun media sosial yang tidak autentik dan diotomatisasi diberbagai platform seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Instagram dalam rangka memperkuat wacana anti kemerdekaan Papua.

Di Twitter, jaringan akun bot digunakan untuk menyebarkan konten pro-pemerintah Indonesia. Jaringan tersebut menunggangi tagar-tagar yang sejatinya mewacanakan kemerdekaan Papua seperti #FreeWestPapua, #WestPapuaGenocide, #WestPapua, dan #FWPC. 

Temuan tersebut muncul setelah investigasi yang dilakukan oleh Benjamin Strick, seorang jurnalis BBC African Eye pada Agustus hingga September 2019 lalu. 

Menurut Strick, jaringan akun bot tersebut sudah mulai menunggangi tagar pro – kemerdekaan Papua sejak Juni 2019. Kesimpulan akan penggunaan jaringan bot oleh Strict dikemukakan pasca ia melakukan investigasi lebih lanjut dan menemukan bahwa foto profil yang digunakan pada akun bot semuanya adalah hasil curian dan pernah diunggah sebelumnya oleh orang lain. Keyakinan tersebut semakin kuat karena isi dan waktu cuitan di Twitter tersebut seluruhnya sama. 

Kejahatan yang dilakukan melalui akun bot tersebut yakni dengan mendorong perspektif yang membuat penasaran seperti penggunaan kalimat “Apa yang sebenarnya terjadi di Papua? Temukan jawabannya disini” dan menyertakan sebuah link yang diarahkan pada konten pro – pemerintah seperti pemberitaan pembangunan dan kegiatan pemerintah lainnya di Papua. Hal tersebut tentu mengaburkan pandangan masyarakat terhadap persoalan dan kejadian yang sebenarnya terjadi di Papua (Strick & Syavira, 2019).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun